CEO Interview

Gebrakan Prajogo Pangestu di Star Energy

Gebrakan Prajogo Pangestu di Star Energy

Kiprah Star Energy dalam bisnis energi terbarukan, khususnya energi listrik dari tenaga panas bumi (geothermal), sudah memasuki usia dua windu. Sejak tahun 2000 perusahaan yang tergabung dalam grup bisnis milik pengusaha Prajogo Pangestu ini memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Wayang Windu dengan kapasitas terpasang 227 MW.

Langkah terbarunya yang strategis adalah mengakuisisi aset PLTPB milik Chevron di Indonesia dan Filipina. Namun, untuk aksi bisnis ini, Star Energy tidak sendirian, melainkan melalui Konsorsium Star Energy, yang terdiri dari Star Energy Group Holdings, Star Energy Geothermal, AC Energy (terafiliasi dengan Ayala Group Filipina) dan EGCO (Thailand).

Prajogo Pangestu

Prajogo Pangestu, Pemilik Star Energy (Foto: Dok. Star Energy)

Yang pasti, melalui akuisisi tersebut, Star Energy akan mendapat tambahan kapasitas dari dua proyek panas bumi Chevron di Indonesia, yaitu di Salak dan Derajat, dengan kapasitas 648 MW, plus tambahan kapasias dari aset panas bumi Chevron di Filipina sebesar 277 MW. Dengan begitu, total energi panas bumi yang dioperasikan Star Energy menjadi 1.152 MW, sehingga menjadikannya sebagai operator PLTPB terbesar di dunia.

Lalu, bagaimana sebenarnya target jangka panjang Star Energy? Wartawan SWA Kemal Effendi Gani dan Yosa Maulana berkesempatan mewawancarai Preskom PT Barito Pacific Tbk. Prajogo Pangestu, selaku pemilik Star Energy.

//Mengapa Anda tertarik masuk ke usaha energi terbarukan, khususnya geothermal? Dan bagaimana pengalaman Anda selama ini?//

Menurut saya, energi terbarukan ini penting. Green, clean, dan tidak merusak lingkungan. Dan potensinya sangat besar. Menurut Bank Dunia, potensi geothermal di Indonesia sekitar 29 ribu MW. Kita sudah mengetahui hal ini sejak 70 tahun lalu. Dan selama 70 tahun, yang digarap baru 1.400 MW. Kalau dibandingkan potensinya, artinya baru sekitar 5% yang digarap. Berarti 95% masih berupa potensi.

Nah, ini mesti ada perhatian lebih khusus. Sebab, potensi ini bersembunyi di kaki-kaki gunung tinggi. Contohnya yang kami punya, Wayang Windu, berada 1.800 meter di atas permukaan laut. Cuacanya 18-20 derajat celcius kalau malam. Untuk menempatkan dan memindahkan alat-alat berat, misalnya untuk drilling, infrastrukturnya kan belum ada. Jadi mesti membuat infrastruktur jalan dan jembatan supaya alat-alat berat itu bisa ke atas dan ke bawah gunung. Pinggangnya gunung itu bisa 100 meter dalamnya. Itu jurang. Jadi mahal bangun infrastukturnya.

Dan, kalau sudah dapat, juga belum tentu bisa tepat. Kalau ternyata (panas buminya) kering, ya berarti dana US$ 10 juta sia-sia saja. Itu diluar pengangkutan alat-alat berat tadi. Risikonya memang tinggi sekali.

//Tapi setelah lubang yang potensial ditemukan, kan berikutnya lebih mudah? //

Kalau sudah dapat, uap panas itu kan bisa inclining. Dalam satu tahun bisa berkurang 10%. Kalau ada orang bilang itu bisa untuk seumur hidup kalau sudah ketemu lubangya, itu enggak betul.

Jadi kalau kita misalnya punya 227 MW, tiap tahun turun 10%, jadi sekitar 23 MW steam hilang. Rata-rata penurunannya 8, 10 atau 12% per tahun. Jadi kita harus cari lagi, yang berada 1500 sampai 2000 m di bawah permukaan tanah. Tiap tahun kita harus drilling, supaya produksinya tetap bisa eksis di 227 MW. Kalau enggak ya lama-lama juga habis steam-nya. 8-10 tahun bisa habis.

//Masih ada 95% lagi potensi yang belum digarap. Apakah Anda tertarik untuk ekspansi lagi?//

Ya, kami kan mencari terus. Tetapi, Indonesia kan besar, dari Sabang sampai Merauke. Contohnya, di Halmahera ada potensi 1.000 MW. Namun, di situ tidak ada pemakainya. Kalau kita cari datanya di PLN, mungkin di daerah itu hanya perlu 40 MW saja. Itu sudah cukup untuk satu Halmahera. Jadi, kami mesti cari user-nya siapa. Karenanya, biasanya kami cari tempat yang banyak pemakainya, misalnya ada industri. Atau contoh lain, Ternate atau Nusa Tenggara Timur, kebutuhannya hanya 5-10 MW. Ini sayang sebetulnya, punya potensi besar dan bisa digarap lebih mudah, tetapi pemakainya tidak banyak.

PLTPB

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Wayang Windu, Pangalengan, Bandung Selatan, Jawa Barat

//Kalau begitu kondisinya, lantas bagaimana rencana pengembangan bisnis ini ke depan? Mana yang mau diprioritaskan dalam waktu dekat?//

Ke depan, kami masih berputar di Sumatera dan Jawa. Wayang Windu akan kami ekspansikan. Ini kan ada unit 1 dan 2. Masih ada lagi unit 3 dan 4 yang akan digarap. Kalau itu semua dikembangkan, totalnya bisa sampai 400MW.

Di Sumatera kami sudah mulai mencoba, tapi medannya nggak gampang. Medannya berat.

//Lalu, apa visi jangka panjang Star Energy?//

Visi jangka panjang Star Energy di bidang panas bumi adalah memperkuat kapabilitas dan kapasitas nasional dalam bidang energi, khususnya energi ramah lingkungan, sebagai salah satu penghasil listrik berbasis panas bumi terbesar di dunia.

//Ada rencana menggarap sumber daya lain, misalnya tenaga angin atau air?//

Ada sih. Kami sedang pelajari juga energi yang berasal dari solar (panas matahari). Yang berbasis air juga sedang kami pelajari. Soalnya, yang ada di sini juga relatif tidak bisa terlalu besar, hanya 8 sampai 12 MW. Dan prinsipnya, harus ada penggunanya juga. Istilahnya “ada gula, ada semut”. (Riset: Armiadi Murdiansyah)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved