CEO Interview

Ismed Hasan Putro, “Raja Daging” RNI Ingin Berbasis Amanah dan Barokah

Ismed Hasan Putro, “Raja Daging” RNI Ingin Berbasis Amanah dan Barokah

Isu daging masih terdengar santer dalam pemberitaan. Namun kali ini tidak ada kaitannya dengan kasus suap daging impor yang lalu-lalu, melainkan munculnya produk daging kemasan baru berlabelkan “Raja Daging” keluaran PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) pada 26 Juni 2013 di pelataran parkir Waroeng Rajawali, Jl. Denpasar Raya Kav D III, Jakarta.

Berbeda dengan daging ‘bermasalah’ yang dijual dengan harga selangit akibat skandal suap, Direktur Utama RNI, Ismed Hasan Putro seolah membawa kabar gembira di tengah-tengah kenaikan harga bahan makanan pokok, termasuk daging yang terjadi selama sepekan. “Raja Daging” diklaimnya dengan harga Rp 70 ribu saja. Apa latar belakang RNI sebenarnya? Berikut reportase yang berhasil diliput Swa Online :

Ismed Hasan Putro (kanan) mengangkat produk daging kemasan RNI “Raja Daging” (26/06)

Berapa jumlah sapi yang dihasilkan RNI per tahun?

Sejak Juli 2012, RNI telah mengembangkan sapi terintegrasi yang dikenal dengan Program Sapi Tebu (Sate), Sapi Sawit (Sasa), Sapi Teh, Program Petani Mitra Binaan Plasma), Kemitraan dan Sarjana Masuk Desa (SMD). Selain melakukan fattening dan breeding, sebentar lagi RNI juga akan mengembangkan pemotongan dan teknologi makanannya. Lokasi peternakan sapi kami berada di PG Jatitujuh dan PG Subang, Jawa Barat yang berkapasitasnya 4250 ekor per bulan.

Selain bentuk investasi lainnya perkebunan sawit mitra Ogan dan Laskar dengan kapasitas 1100 ekor per bulan, Kebun Teh Mitra Kerinci 300 ekor per bulan, KSO dengan BUMD di Banyumulek, NTB, berkapasitas 3500 ekor per bulan dan Rumah Pemotongan Hewan di NTB dan PG Jatitujuh dengan kapasitas masing-masing 100 ekor per bulan. Jadi, jumlah yang dihasilkan RNI dalam setahun mencapai 222.000 ekor per tahun.

Juli nanti RNI akan berkontribusi dengan 3 jenis sapi yaitu simental/limousin yang beratnya rata-rata 600-800 kg, serta sapi Bali, Lombok, dan NTT, yang beratnya antara 250-350 kg. Dan itu akan kami isi untuk pasar Jakarta, khususnya 500-600 ekor per bulan. Daging sapi ini kami upayakan harganya berbasis amanah dan barokah. Karena itu harga jualnya tentu lebih manusiawi dan lebih nasionalis. Harga terendahnya adalah Rp 70 ribu. Harga ini 20 ribu lebih murah dibandingkan dengan harga daging yang diimpor.

Kenapa dijual dengan harga segitu?

Saya bisa hari ini mendeklarasikan bahwa daging ini saya jual dengan harga Rp 90 ribu. Kalau saya jual segitu, berarti saya akan laba sekitar Rp 25 ribu/kg. Tetapi saya tidak punya keberanian dan nyali seperti jenis ‘daging sapi yang sedang marak dibicarakan’. Saya kembali ke basis yang saya mampu, yaitu amanah dan barokah sehingga harganya saya patok Rp 70 ribu. Harga ini bisa terjadi karena kami memotong mata rantai distribusinya sehingga terjadi efisiensi.

Harga ini sangat rasional, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta melindungi kepentingan peternak. Saya bisa jual Rp 60 ribu, tapi nasib peternak akan sangat terganggu. Karena 1 sapi yang mereka kembangkan sekarang harganya secara otomatis akan anjlok. Dampak ekonominya akan sangat besar pada kesejahteraan masyarakat petani dan peternak sapi yang ada di beberapa daerah. Jadi intinya RNI mampu dan sanggup tanpa back up pemerintah maupun kuota untuk menjual senilai Rp 70 ribu. Distribusinya nanti akan melalui koperasi di pasar-pasar dan jalinan Rajawali Mart, serta Waroeng Rajawali yang sudah ada di depan pintu (Gedung RNI).

Saya berharap ini bisa menjadi inspirasi bagi pemegang kekuasaan. Kami sekarang ini dalam posisi “Iso ning ora kuoso”, sementara ada yang “kuoso ning ora iso”. Kami bisa menurunkan harga Rp 70 ribu, tapi tidak kuasa secara nasional atau secara masif. Sementara “sing kuoso, ora iso” menurunkan Rp 70 ribu rupiah karena ada margin Rp 30 ribu, yang kalau diturunkan menjadi hilang.

Apakah ini akan menguntungkan?

RNI memang belum begitu banyak jumlah sapinya. Tetapi kami punya keyakinan dan optimisme, bahwa kami mampu melakukan hal itu. saya berharap ke depan, akan banyak anak bangsa yang tersadarkan. Sudah cukuplah selama 10 bulan, bangsa ini terjerat dengan harga daging Rp 90 ribu/kg. Sementara harga beli di Australia hanya Rp 20 ribu/kg. Jadi ada disparitas sebanyak Rp 70 ribu. Sangat luar biasa.

Selama 10 bulan tidak ada upaya maksimal, langkah konkret, kebijakan yang faktual untuk membuktikan bahwa harga daging bisa ditekan sampai Rp 70 ribu. Semua sebatas pada wacana, akan, akan, dan akan. Puasa hanya tinggal 2 minggu lagi. Sampai ini Bulog yang ditugaskan pemerintah untuk impor daging belum ada tanda-tandanya. Sementara harga daging sesuai dengan kebutuhan Ramadan pasti akan meningkat.

Insya Allah harga daging bukan akan turun kalau kebutuhan akan meningkat. Lantas pertanyaan besarnya, sing kuoso iso opo ketika masyarakat muslim bangsa ini membutuhkan jumlah daging yang sangat besar. Terlepas dari itu, saya mengatakan bahwa, yang kami kembangkan saat ini merupakan bagian dari komitmen yang dalam perspektif bisnis, bukan lagi penugasan dari Kementerian BUMN, tapi betul-betul sudah kami kalkulasi secara bisnis amat sangat menguntungkan.

Alasannya apa kok bisa menguntungkan?

Dengan populasi penduduk 240 juta orang, konsumsi daging sapi kita hanya 1,8 kg per tahun. Filipina 7 kg per tahun. Malaysia 15 kg per tahun, Australia dan New Zeland 35 kg per tahun. Jerman dan Swedia itu 65 kg per tahun. Dengan konsumsi hanya 1,8 kg, kita sudah krisis daging sapi. Bagaimana kalau kita meningkatkan konsumsi itu menjadi 7 kg seperti Filipina? Maka bangsa ini akan amat sangat krisis daging sapi. Pada titik itulah saya tersadar bahwa oh bukan hanya gula yang menjadi prospek bisnis RNI ke depan, tapi juga daging sapi. Jadi basis itulah yang kemudian saya sadari betul karena laba kami masih lebih kecil dibandingkan yang laba Rp 18 triliun, maka saya dengan ikhlas menggandeng BRI. Kami bersinergi melakukan program KKPE dan KUPS.

Saat ini, sapi yang ada di Indramayu dan Majalengka, itu nantinya akan dimiliki oleh masyarakat 80%. RNI hanya akan mengembangkan induknya sebanyak 20%. Nanti akan ada 15 ribu ekor sapi yang setiap akhir tahun akan berkembang menjadi 45 ribu ekor sapi.

Apa kelebihan program seperti itu?

Yang saya tekankan adalah sapi itu nantinya 20% akan dimiliki oleh masyarakat, sehingga secara tidak langsung akan betul-betul mensejahterakan rakyat, utamanya masyarakat miskin yang berada di sekitar pabrik dan kebun kami. Ada 2 target saya dengan adanya program KKPE dan KUPS bersama BRI. Pertama, saya ingin mengentaskan kemiskinan masyarakat di situ, meningkatkan produktivitas mereka, mengangkat derajat hidup mereka, di sisi yang lain saya ingin mengamankan masyarakat itu dari hasrat untuk mengganggu pabrik atau kebun tebu saya. Karena selama ini frekuensi kebakaran tebu di sekitar kebun saya yang ada di Majalengka dan Indramayu serta Subang itu sangat tinggi. Karena masyarakatnya menganggur. Mereka miskin.

Tidak ada manfaatnya BUMN untung besar kalau ternyata masyarakat di sekitar kebun dan pabrik tetap dalam kondisi miskin. Itu akan menjadi ancaman sosial. Berbasiskan perspektif itulah, maka saya berfilosofi bahwa bisnis RNI, terutama sekali pada pengembangan sapinya, itu harus berpedoman pada pertumbuhan yang bersifat intensif. Harus melibatkan masyarakat. Karena fungsi utama BUMN adalah selain berkontribusi pada laba dan pajak untuk diberikan pada negara, juga mensejahterakan masyarakat. Kami bukan swasta yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, saya selalu menekankan kepada para sarjana yang sekarang sedang kami himpun untuk menjadi tenaga penyuluh dan pengembang bagi masyarakat desa untuk menggerakkan desa.

Dalam perspektif yang lebih ideologis, saya mengatakan masyarakat desa misalkan ada 200 orang, kalau mereka punya penghasilan sebulan, 1,5 juta ditambah dengan tabungan 1,2 juta, maka dia akan punya penghasilan 2,7 juta. Desa itu akan bergerak. Nah, kami akan mengarahkan ke depan seperti itu. kalau ada kebutuhan sekitar 450 juta yang berputar di desa itu, maka uang itu kami harapkan 50%, bisa dikembangkan lagi untuk lele dan ayam. Lele di bawah, ayam di atas. Kotoran ayam akan dimakan oleh lele sehingga produktivitasnya tinggi dan akan sangat bermanfaat. Tapi sapinya itu akan menjadi deposito jangka panjang karena penghasilannya untuk bulanan. Jadi arah kami ke situ.

Kenapa dalam menggerakkan usaha ini Anda melibatkan masyarakat?

Karena sekali lagi, sekian puluh tahun, RNI tumbuh dengan pabrik-pabrik yang diganggu terus oleh masyarakat. Kenapa? Karena masyarakatnya tidak sejahtera. Pada titik itulah, maka saya tidak hanya melibatkan masyarakat untuk sejahtera, tapi juga para sarjana kita yang berbasiskan peternakan dan pertanian, kita kirim ke desa yang ada di sekitar kebun untuk menjadi sarjana penggerak desa. Jadi dengan basis yang dimiliki RNI, direkap oleh BRI, sekarang ini, kami sudah menghimpun 20 sarjana untuk menjadi penggerak desa yang nanti akan kami tambah menjadi 40 orang. Inilah yang nanti akan kami lakukan dalam kurun waktu 1-2 tahun ke depan. Berbasiskan itu, sekali lagi saya katakan, teman-teman yang menjadi tim sapi, jangan patah semangat. Walaupun saya bentak-bentak, saya gedor-gedor, yakinlah bahwa ini sangat bermanfaat bagi kepentingan bangsa kita ke depan untuk bisa swasembada daging.

Kalau swasembada sapi apakah bisa terealisasi?

Swasembada daging, mudah-mudahan bisa. Tapi swasembada sapi agak sulit. Bentangan lahan kita sangat terbatas. Pembiayaan untuk membiakkan sapi juga sangat tinggi. Kalau saya diminta Kementerian mengembangkan pedhet, maka pedhet itu harus disubsidi per ekor 5 juta. Itu sangat mahal. Tidak rasional. Ada sedikit rasionalitas yang ditawarkan oleh BUMN untuk membeli lahan 1 juta ha di Australia, tapi RNI tidak ingin kemaruk, karena kami berprinsip amanah dan barookah. Kami mengajak agar BUMN yang dipimpin oleh Pak Menteri itu menjadi konsorsium saja. Tidak usah diadu satu bikin proposal, satu bikin proposal.

Jadi dalam konteks ini saya sedikit berselisih ideologi dengan Meneg BUMN. Saya tidak mau diadu. Saya maunya kita sinergi saja. Karena kekuatannya akan besar. Dan kita belum tahu bagaimana bumi Australia jika kita investasi ke situ. mungkin ramah pada saat mengundang, tapi ketika di dalam, kendala regulasi bisa saja terjadi. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved