CEO Interview

Jefri: Pertumbuhan Pembiayaan AMV Dua Kali Lipat

Jefri: Pertumbuhan Pembiayaan AMV Dua Kali Lipat

Jefri R. Sirait diangkat sebagai Dirut di PT Astra Mitra Ventura (AMV) sejak September tahun lalu. Lulusan tahun 1989 dari Fakultas Kehutanan IPB, Bogor ini memiliki perjalanan karier yang menarik. Dia bukan saja dikenal di pembiayaan, tapi pengalaman kariernya membuatnya dikenal di bisnis otomotif, kayu lapis, dan menariknya lagi sempat memimpin perusahaan penangkapan ikan laut lepas.

Karier Jefri di Grup Astra berawal di PT Sumalindo Lestari Jaya (1990-2002) sebelum perusahaan kayu lapis ini diambil alih oleh Grup Hasko. Lalu ia bergabung dengan sebuah perusahaan China di bidang penangkapan ikan laut lepas. Tahun 2004, ia kembali ke Grup Astra di PT Serasi Auto Raya atau dikenal dengan Sera. Selama 11 tahun di sana, lalu ia dipercaya memimpin AMV, anak usaha Grup Astra yang fokus pada pembiayaan UKM.

Selain pandai mengelola bisnis pembiayaan, dia juga memiliki pengalaman investasi pribadi dan jaringan luas di bisnis. Kini, Jefri juga dipercaya memegang jabatan Ketua Amvesindo (Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia) yang baru didirikan sekitar lima bulan lalu. Di tangannya, baik AMV maupun asosiasi diharapkan ekosistem yang kondusif antara perusahaan modal ventura, pebisnis startup, baik di bidang teknologi maupun di bidang kreatif lainnya, bersama pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan dapat terbangun.

Berikut petikan wawancara SWA Online dengan Jefri di Cilandak Town Square selepas dia mengurus Amnesty Pajak di KPP Pratama Jakarta Cilandak pada Kamis (29/09):

Jefri R. Sirait, Dirut PT Astra Mitra Ventura

Jefri R. Sirait, Dirut PT Astra Mitra Ventura

Bisakah diceritakan sekilas tentang Anda? Bagaimana bisa memimpin AMV?

Karier saya berwarna. Saya dikenal sebagai orang kehutanan, pernah bekerja di bisnis kayu lapis, tapi juga dikenal di penangkapan ikan. Seelam 11 tahun di otomotif, di Sera, sekarang saya dikenal di pembiayaan. Sebagai profesional, saya bukan orang yang hanya mengandalkan dengan gaji saja. Saya dari kecil sudah biasa cari uang. Selain tidak bisa gaya dengan hanya mengandalkan uang gaji, saya juga bisa membantu orang lain. Makanya selain bekerja sebagai profesional, saya juga tertarik investasi di beberapa bisnis. Ada minimarket, pembenihan ikan, kebun singkong dan sebagainya, tidak enak kalau saya ungkap semua hahaha. Belakangan saya sedang tertarik investasi di startup. Dalam setiap investasi saya, selalu gabung dengan teman-teman, karena berisiko kalau sendiri.

Bagaimana Anda melihat bisnis pembiayaan saat ini? Apa peran AMV di sana?

Secara industri, modal venture menurut saya bisnis yang penuh tantangan. Porsi industrinya, modal ventura memang untuk SME (small medium enterprise). Sebagai venture capital, harus berbicara terhadap bisnis-bisnis yang exponential growth dan punya investor yang sophisticated, pintar dan cerdas, bahwa usaha tersebut bisa dikembangkan dengan cara pandang dan cara kerja mereka (investor). Bisnis ini menarik di level SME, karena kalau naik di atasnya sudah private equity.

Kalau melihat kondisi di Indonesia, sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2015 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Modal Ventura menguraikan sejumlah fungsi usaha baru yang dapat dijalankan pelaku industri, meliputi pembiayaan melalui pembelian surat utang yang diterbitkan pasangan usaha pada tahap rintisan awal (startup) atau pengembangan usaha, pembiayaan usaha produktif dan kegiatan jasa berbasis fee. Ini yang terbaru, kita diminta melakukan transformasi. Endorsement OJK untuk mengubah cara kerja konvensional venture capital ditantang hari ini. Secara regulasi banyak hal yang dimudahkan.

Saya melihat Indonesia sudah ada PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia dan PNM. Soal ini saya tidak akan bicara lebih jauh. Terlihat mereka lebih ke pembiayaan mikro. Ini bisa dilihat akhirnya 60 persen listed venture capital yang ada di OJK, sebagian besar dari mereka, melakukan pembiayaan di SME, sehingga inilah kelasnya. Mereka berusaha bermain di equity masing-masing. Kemudian mereka meminjam, sekitar 50-60 persen menggunakan dana dari bank.

Sementara dalam pertarungannya, bank sendiri juga melakukan pembiayaan terhadap SME. Sementara dari data pembiayaan SME semester kemarin hampir 20 persen atau sekitar Rp 800 triliun dari bank, sehingga kompetisinya tidak ada benang merahnya. Pertarungannya ada di rate bunga, sehingga dibutuhkan kecerdasan venture capital di sini.

Jumlah UMKM di Indonesia memang besar, yang tercatat 50 juta, sedang data dari kredit perbankan yang registered itu 13 juta, yang lainnya ke mana? Data tahun lalu, dari Rp 1.600 triliun pembiayaan di Indonesia, hanya Rp 600 triliun yang bisa di-cover sektor jasa keuangan. Sehingga yang terjadi selebihnya pinjaman dari sector tidak formal, pinjaman dari luar bank atau venture capital.

Apa sebenarnya tantangan pembiayaan di UMKM? Bagaimana AMV mengambil peran di sana?

Tantangannya memang pada SME itu sendiri, banyak yang belum memiliki pencatatan keuangan yang rapi dan baik. Ini penting buat akses ke lembaga pembiayaan formal. Dan dalam venture capital juga tidak bisa masuk membiayai usaha berdasarkan feeling saja. Data NPL pelaku venture capital hampir 14 persen, tinggi, perbankan sekitar 5,6 persenan. AMV masih lebih baik angka NPL nya dibawah 2 persen. Tapi harus diingat, kalau lihat industrinya begitu, jangan kita kalap melihat semua begitu, bahwa NPL modal ventura tinggi semua.

Jadi kalau dilihat posisi begini, peraturan baru (Peraturan OJK No 35) mendorong kita membangun ekosistem baru. AMV harus berkontribusi di sini, di sector yang kami kuasai, yang kami mengerti. UMKM di Indonesia itu 70 persen yang mereka butuhkan adalah modal kerja. Hanya 27-30 persen investasi, jadi tidak berkembang, padahal kami inginnya investasi yang tinggi, modal kerja mengikuti.

Maka itu kita harus melihat persis keadaan ini ada di mana tantangannya, apakah investasi barang-barangnya terlalu besar, apakah Departemen Perindustrian harus menyiapkan mesin yang dibuat dan diproduksi sendiri, itu ekosistem sifatnya. Menurut saya ini memang challenging. Perusahaan yang dibiayai haruslah yang mempunyai pertumbuhan yang eksponensial. Kedua, kita sebagai venture capital harus mencari investor yang smart, bukan saya menanam modal saja.

Kuncinya di pendiri startup atau UMKM. Kami posisinya mendorong dengan pengalaman yang kami miliki: membuka pasar, karena kami perusahaan besar bisa sharing knowledge bagaimana membaca data. Kami juga punya jaringan mencari pembiayan lebih mudah, sehingga bisa memberikan rekomendasi UMKM yang dibiayai karena kami punya nama. Jadi dalam konteks ini modal ventura adalah pendamping UMKM, sampai posisi mana mereka bisa established.

Venture capital kalau ditempati oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas mestinya atraktif. Harusnya sebagai pemain di bisnis ini, kala industri turun, kita justru naik. Itu yang AMV lakukan. Mengantisipasi saat turun, apa sih bisnis yang sustain, bukan yang bumping. Walaupun kami juga tahu ada faktor eksternal, kejelian melihat forecast itu penting, bagaimana 3-4 tahun kedepan bisnis tersebut. Atau tahun depan sekalipun, ini yang harus kita dengan pintar membaca.

Bagaimanan AMV bisa menjaga NPL nya rendah? Apa strateginya?

AMV itu pembiayaan yang fokus di bisnis yang similar dengan bisnis Astra. Artinya kami memahami bisnis yang kami biayai. Astra itu di otomotif dan perkebunan, wajar dong kami fokus di UMKM yang mendukung kedua industri itu. Kalau kami bermain di petani plasma, benar dong. Lalu Astra juga bermain di IT, melalui Astragraphia, kami bermain di UMKM yang terkait IT.

Grup Astra ini besar, kami bisa menciptakan captive market untuk pasangan usaha AMV. Contohnya beberapa waktu lalu, ada mitra AMV yang bergerak dalam pembuatan baut, selama ini support hanya untuk pabrik mobil, padahal komponen itu juga digunakan di furniture atau produk lain. Selama ini mereka cari sendiri pasarnya, padahal mitra AMV lain yang membutuhkan baut juga.

Ketika mendapat pasar baru, mereka tumbuh, otomatis modal kerja nambah, invest mesin baru, mereka kembali ke AMV, pendampingan seperti inilah yang kami lakukan. Dalam pembiayaan yang ditanam adalah “emotion account” nya, harus dimiliki. Inilah yang dilakukan AMV terhadap pasangan usaha. Harus diketahui, kami dibutuhkan apakah duitnya saja? Atau memang ada sisi lain, itulah yang kita cari sisi lain, penetrasi beberapa hal yang harus kita kuasai. Kata kunci venture capital harus punya kemampuan dari para investor officer-nya mengerti bisnisnya, agar bisa membantu pasangan bisnis untuk berkembang.

Bagaimana AMV membangun ekosistem untuk berkembang? Apakah hanya ekosistem otomotif atau terkait bisnis Grup Astra saja?

Tidak, otomotif one of that. Kami menggarap tentu bisnis lain. Salah satu mitra AMV kami yang membuat briket arang, yang digunakan untuk grill, tapi juga untuk shisha dengan flavor. Kandungan es nya tinggi, itu teknologi, kami menyukai teknologi yang digunakan. Middle east kaya dengan shisha, tapi sebenarnya shisha itu sudah jadi life style bahkan di Eropa. Di tengah kebun sawit Grup Astra itu banyak cangkang kelapa sawit, bayangkan jika kami melakukan injek pabrik-pabrik di tengah usaha mereka, ada produk ikutan dari limbah. Row material itu hampir 60 persen. Ini yang kami kasih jalan. Persoalan SME itu hanya tiga yaitu modal, market dan pengetahuan terhadap produknya. Inilah yang didampingi AMV terhadap mitra-mitranya.

Mitra-mitra AMV ada beberapa kelompok yaitu otomotif semua dengan turunannya (tapi yang sifatnya masih kecil, rep), workshop atau bengkel dua roda dan empat roda, terkait dengan sawit, IT dan penjualannya, bisnis yang terkait dengan properti dan infrastruktur. Kami mendampingi hingga established, dari vendor kelas C menjadi kelas A, supplier dan rekanan. Itulah eksositem yang dibangun. Tapi sekali lagi kami dibatas tertentu, begitu mereka sudah bankable mereka harus “dilepas”. Standar bankable aturannya itu 20-25 persen dari total equity. Omset UKM itu batasan menurut UU hanya Rp 50 miliar per tahun. Aturan inilah yang kami dorong di asosiasi untuk perubahan UU yang sudah lama sekali. Usul saya harusnya ukuran UKM itu Rp 100-150 miliar. Saat ini yang dibiayai AMV mulai dari Rp 100 juta juga bisa, tapi rata-rata yang dibiayai Rp 1,5 miliar per pasangan usaha. Berapa yang sudah kami biayai, itu rahasia saja ya.

Sumber pembiayaan AMV bagaimana? Apakah masih dari bank?

Kami terbuka dari mana saja sumber mana saja. Selalu melihatnya dari matching fund. Indonesia punya beberapa lembaga pembiayaan. Ada tantangan hari ini, ada sumber pembiayaan yang namanya venture fund. Inilah yang sedang bangun untuk ekosistem, saya di asosiasi ada komite untuk membangun ini. Mudah-mudahan akhir tahun ini ada satu member yang bisa digeneralisasi (di venture fund ini, rep). Venture fund ini akan menjadi salah satu alternative sumber dana yang lebih atraktif diluar bank. Ini selaras dengan Peraturan OJK Nomor 35 yang baru itu.

Apakah AMV membiayai startup juga?

Startup itu bukan sekadar perusahaan berbasis internet. Salah kaprah tentang startup ini harus diluruskan. Startup itu perusahaan yang berbasis teknologi, maksudnya di sini, mengutip Morgan Stanley, setiap company berbasis teknologi lebih atraktif dibanding company yang tidak punya teknologi. Itu yang dilihat. Kenapa? Teknologi itu mendorong perusahaan lebih murah, lebih simpel proses produksinya, atau lebih cepat prosesnya. Apa yang kami lakukan dalam Pokja Kementrian UKM dan Koperasi, mereka bilang UKM pun startup. Tapi UKM yang berbasis teknologi yang dikedepankan. Saya bisa ambil contoh, usaha kebon singkong, dengan teknologi pertanian yang semula panen hanya 50 kilo bisa berlipat-lipat sekali panen. AMV melirik startup yang technology based itu.

Setelah setahun memimpin, bagaimana hasilnya di AMV? Apa targetnya ke depan?

Saya tidak boleh narsis sendiri. Teman-teman di AMV saya lihat melakukan pekerjaan lebih tekun dan lebih paham pasar, lebih dekat dengan pasar. Laporan keuangan Juli menunjukan kami sudah bisa mencapai nilai investment dua kali investment AMV tahun lalu. Tapi AMV dalam sepuluh tahun terakhir pertumbuhan grosir investasi rata-rata 11 persen, tapi tahun ini pertumbuhan investasi AMV mencapai 16 persen. Tahun depan pipeline kami sama. Kami sekarang lebih fokus pasar yang akan kami bidik, dilihat bisnis yang atraktif yang mana, memilih calon debitor yang ngeyelan atau yang mau mendengar dan sebagainya. Kualitas investasi itu penting, meski productive loan bukan hal yang salah. Kalau kami memberikan pembiayaan dengan pendampingan juga, kami bisa memiliki intimacy dengan mitra usaha. Bukan berarti mereka tidak pintar. Smart investor itu penting, go and see, baru lah dibiayai.

Saya melihat UKM itu personal dulu, bukan foto atau powerpoint presentasi saja. Mereka harus never give up, penetrasi tinggi, yakin dengan passionnya. Inovasi yang membuat UKM berbeda dibanding yang lain, mereka yang kami pilih. Tahun depan, kami akan main 20 persen dari investment di equity, secara pertumbuhan pembiayaan targetnya 150 persen.

Saat ini pembiayaan AMV 70 persen lebih di otomotif, tahun depan rasionya akan digeser otomotif jadi 50 atau 60 persen, sisanya akan lebih menyasar UKM technology based, karena ada banyak perusahaan kreatif juga di dalamnya.

Total perusahaan yang kini dibiayai ada 150 perusahaan, kalau pun nambah tahun depan sekitar 20 perusahaan saja. Banyak malah sering mempersulit. Lagi pula mereka tidak selamanya bersama AMV, kalau sudah bankable yang dilepas. Top 10 pasangan usaha di AMV itu kontribusinya 40 persen, sebentar lagi mereka exit karena sudah bankable. Mereka malah kami lamar untuk ikut jadi sumber pembiayaan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved