CEO Interview Editor's Choice

Masukan Customer Menjadi Bahan Inovasi Produk Asuransi Cigna

Masukan Customer Menjadi Bahan Inovasi Produk Asuransi Cigna

Wacana mengenai “ledakan” kelas menengah Indonesia baru menyeruak sejak 2 sampai 3 tahun terakhir setelah Indonesia “dianugerahi” pertumbuhan perekonomian yang relatif stabil di tengah krisis finansial yang terjadi beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Signifikannya pertumbuhan kelas menengah Indonesia menjadi daya tarik dan tantangan baru bagi para perusahaan dengan meninjau ulang strateginya untuk meraup untung sebanyaknya dari “kegilaan” konsumsi kelas menengah.

CEO Cigna Indonesia, Christine Setyabudhi

CEO Cigna Indonesia, Christine Setyabudhi

Namun, tidak begitu dengan perusahaan asuransi Cigna. Sejak 2001, ketika berbagai produk asuransi dari berbagai perusahaan asuransi hanya melayani segmen kelas atas, Cigna sudah mulai menggarap segmen kelas menengah yang disebutnya sebagai segmen mass market. Untuk menunjang tujuannya menyasar segmen mass market, Cigna meninggalkan cara pemasaran melalui agensi dan beralih ke affinity marketing dengan menggunakan metode telemarketing. Telemarketing dianggap jauh lebih efisien dan efektif untuk menggarap segmen kelas menengah yang jumlahnya banyak itu, ketimbang menggunakan agensi.

Oleh karena fokus untuk menggarap segmen kelas menengah telah dilakukan sejak 2001, maka Cigna tidak melakukan banyak perubahan dalam strateginya pada 2013 mendatang. Selama ini, strategi Cigna selalu bersandar pada 4 pilar yang menopang oprasi bisnisnya, yaitu understanding customer, customer insight, experience,dan culture of organization. Keempat pilar ini dirangkum dalam tujuan organisasi yang ingin menjadi customer centric organization. Karena itu pula, strategi, produk, layanan, dan pemasaran Cigna bersandar pada 4 pilar tersebut.

Pada 2013, Cigna akan meluncurkan, setidaknya 4 produk asuransi baru yang inovatif untuk segmen keluarga, eksekutif, senior, dan anak-anak. Namun, Christine Setyabudhi, CEO Cigna Indonesia, enggan merinci lebih lanjut mengenai produk-produk tersebut karena alasan masih belum diluncurkan. Mengenai pemasaran, Cigna juga tetap fokus untuk mengoptimalkan saluran andalan mereka, yaitu telemarketing dan juga affinity marketing.

Pasar kelas menengah merupakan fokus segmen yang digarap Cigna. Hal dapat dilihat dari kontribusi kelas menengah yang mencapai lebih dari 80% terhadap penjualan. Pada 2013 mendatang, Cigna menargetkan pertumbuhan penjualan sebesar 24%, dengan pertumbuhan total premi sekitar 20% dan profit sebesar 18%. Target ini diakui Christine cukup agresif di tengah makin ketatnya persaingan dan banyaknya kompetitor sementara kue di pasar tidak berkembang.

Lebih rinci mengenai strategi Cigna pada 2013, berikut wawancara Denoan Rinaldi dengan CEO Cigna Indonesia, Christine Setyabudhi di kantornya, di Menara Kadin, Jakarta:

Apa peluang bisnis paling menarik tahun 2013 yang terkait dengan perusahaan dan bisnis Cigna?

Saya ingin mengupas sedikit latar belakang Cigna karena hal ini akan memberi gambaran mengapa Cigna pada dua tahun terakhir dan pada 2013 memutuskan untuk fokus ke arah ini. Cigna sudah ada di Indonesia sejak 22 tahun lalu. Namun baru benar-benar beroperasi di Indonesia sekitar 18 tahun. Misi kami secara global adalah membantu orang-orang yang kami layani untuk meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan rasa aman dalam kehidupan mereka. Tujuh tahun pertama, sejak 1994-2001, model distribusi kami fokus menggunakan agensi. Namun setelah itu kami memutuskan untuk melakukan transisi bisnis dengan mengubah model bisnis kami ke affinity marketing.

Jadi, pada 2001 kami memutus agensi dan kemudian menggunakan metode affinity marketing. Affinity marketing adalah model di mana model bisnis kami dilakukan berdasarkan kemitraan. Hal ini merupakan terobosan yang cukup besar untuk Cigna karena saat itu kami juga merasa bahwa penetrasi asuransi di Indonesia juga masih sangat rendah, di mana perusahaan asuransi yang menggunakan agensi hanya masuk ke segmen pasar atas. Dan saat itu, bancassurance juga belum terlalu berkembang.

Kami melakukan suatu terobosan karena kami ingin benar-benar menghidupkan misi kami di negara ini dan melakukan penetrasi yang lebih dalam pada basis pelanggan yang akan kami layani. Dengan mengganti model ke affinity marketing, kami juga mengganti saluran distribusi kami, dari agensi menjadi telemarketing sebagai saluran utama distribusi kami. Secara total kami mengubah bisnis kami melalui terobosan di mana kami mengganti saluran distribusi kami dari keagenan.

Persiapan ke arah itu kami lakukan sejak tahun 2000. Saat itu banyak orang meragukan kemampuan kami untuk menjual produk asuransi kami ketika kami mulai menerapkan telemarketing sebagai satu-satunya saluran distribusi kami.

Jadi, model bisnis kami bermitra dan menggunakan saluran distribusi telemarketing. Mengapa konsep ini sangat kami yakini, meskipun untuk memulainya sangat tidak gampang? Hal itu kami yakini bahwa belum banyak perusahaan asuransi yang menggarap middle market. Kami mulai bemitra dengan institusi finansial karena kami melihat institusi finansial merupakan suatu complimentary partner buat kami. Misalnya, mereka memberi kredit ke nasabah mereka, kami yang memberi perlindungannya. Kemudian, jika mereka memiliki saving base, kami berikan semacam insurance gimmick di dalamnya. Sebetulnya, kami memelopori edukasi tabungan pendidikan di Bank Niaga saat itu. Jadi, pada waktu mereka menabung Rp 100 ribu tiap bulan, di dalamnya sudah ada asuransi.

Jadi, itulah konsep yang kami jalankan. Kami berupaya masuk segmen pasar yang lebih rendah dari segmen atas pada saat itu atau kelas menengah. Cara paling cepat untuk masuk ke segmen kelas menengah ini ialah dengan menggunakan “kendaraan”. Jika menggunakan agensi, harus mengetuk pintu rumah satu per satu dan komisi untuk agen juga cukup tinggi. Sementara, dengan telemarketing, hanya dengan menggunakan telepon, kami dapat menjangkau banyak orang. Mitra memberi kami database nasabahnya. Jadi, bermitra dengan satu bank besar membuat kami punya akses ke beberapa juta customer base mereka. Hal itu yang kami pikirkan saat itu. Saat itu kami juga merupakan pionir di affinity marketing dan juga telemarketing.

Namun, memang saat itu pasar masih sepi. Telemarketing belum banyak yang melirik. Kami mulai dengan 6 tenaga telemarketing saat itu. Dalam sepuluh tahun pertama, hingga 2011, kami benar-benar menjadi pemimpin di affinity marketing dan telemarketing, dengan tenaga telemarketing sekitar 1.000 tenaga dan 28 mitra affinity marketing. Prestasi kami bisa dilihat dari CAGR (compound annual growth revenue) untuk total premi kami sekitar 30%, tepatnya 29,6%, dalam 10 tahun terakhir dan untuk laba sebesar 45,3%. Jadi, kami menjadi besar karena benar-benar konsisten membidik pasar kelas menengah melalui affinity marketing dan telemarketing. Produk yang dijual sejalan dengan karakteristik saluran kami, yaitu produk yang sederhana dan affordable, yang dapat dijangkau oleh konsumen kelas menengah.

Sejak 2007 hingga saat ini, kami mengalami kompetisi yang luar biasa. Pada 2007, mungkin baru ada lima perusahaan asuransi yang memiliki saluran telemarketing. Namun saat ini, mungkin, terdapat 18 perusahaan asuransi yang menggunakan tenaga telemarketing dan affinity marketing, meskipun mereka tidak meninggalkan saluran agensi mereka. Dalam kondisi dengan tingkat persaingan yang tinggi ini, kami tetap merasa sebagai leader karena kami fokus pada saluran affinity marketing dan telemarketing. Kami juga selalu memperbaiki diri kami dari sisi sistem, inovasi produk, layanan, dan operasi, yang benar-benar mengarah ke affinity marketing dan telemarketing ini.

Selain itu, Cigna juga menjadi satu-satunya perusahaan asuransi jiwa yang mendapat peringkat “Excellence” dari Majalah Infobank selama 10 tahun berturut-turut, sejak tahun 2002. Hal ini disebabkan karena konsistensi kami. Perusahaan asuransi lain tidak bisa bisa mendapatkan peringkat “Excellence” selama 10 tahun terakhir karena komponen investasi mereka yang cukup besar, sangat rentan terhadap krisis keuangan yang terjadi di belahan dunia lain. Sementara komponen investasi kami cukup kecil, produk yang sederhana dan affordable. Itu kekuatan Indonesia terhadap krisis keuangan dunia, yaitu kekuatan Indonesian middle class economy yang akan saya bahas selanjutnya.

Jadi, latar belakang, pengalaman, cerita sukses, dan sejarah kinerja kami menguatkan strategy imperative kami di Indonesia, terutama terkait hal yang akan kami lakukan ke depannya. Pertama, pertumbuhan Cigna yang konsisten disebabkan karena produk kami yang murah dan benar-benar murni untuk asuransi. Maka kesadaran orang-orang akan perlunya asuransi makin tinggi di tengah ancaman krisis tidak bisa diduga kapan datangnya. Kedua, kami juga melihat bahwa proporsi kelas menengah Indonesia yang konsumtif, cukup besar. Tujuh puluh persen ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi domestik. Cigna merasakan sekali hal ini.

Strategi 2013?

Jadi dengan apa yang kami sudah jalani selama 11 tahun, sejak kami turnaround bisnis ini, pada 2013 kami akan memantapkan untuk penetrasi ke pasar Indonesia, khususnya ke pasar kelas menengah atau mass market. Bagi Cigna, hal ini bukan hal baru karena kami sudah melakukan sejak 11 tahun lalu, sebelum maraknya wacana tentang the booming of the Indonesia middle class. Sebetulnya, strategi kami pada 2013 tidak terlalu banyak berubah karena platform, infrastruktur, dan sistem operasi kami sudah mengarah ke mass market.

Cristine Setyabudhi, Cigna Life, Asuransi, Jiwa

Cristine Setyabudhi

Jika sejak 10 tahun lalu sudah membidik kelas menengah, apa yang akan makin diperdalam atau difokuskan pada 2013?

Memang terdapat perbaikan yang terus berlangsung. Namun saat ini kami juga harus lebih jeli karena kompetitor yang menggunaan telemarketing sudah 18 perusahaan lebih. Kue pasar asuransi ini sudah diperebutkan oleh banyak pihak karena gaung mengenai pertumbuhan signifikan kelas menengah. Jadi, strategi besar Cigna ke depannya adalah kami menuju ke customer centric organization. Hal ini merupakan bangunan utama kami yang di dalamnya terdapat 4 pilar, yaitu understanding your customer, customer insight, experience, culture.

Bagaimana strategi dari sisi produk?

Mengenai produk, jika dilihat dari pilar pertama, kami bentuk empat hal sejak 2011, yaitu customer advisory board yang mana tiap enam bulan mereka kami kumpulkan untuk ditanya mengenai perkembangan Cigna dari kacamata customer. Kemudian, sejak 2011 itu kami juga membentuk real time transactional survey. Caranya yaitu dengan melakukan survei kepada pelanggan yang datang atau menghubungi service center kami di mana secara total terdapat 50.000 pelanggan yang datang ke service center kami tiap bulannya. Begitu mereka selesai menghubungi service center kami, mereka akan dikirim sms, email, dan interactive voice recording system, yang langsung meminta pelanggan tersebut memberi rating dari 1-10 terhadap layanan yang baru saja Cigna berikan. Jika mereka memberi rating 5, yang berarti jelek, pelanggan akan ditanya sarannya untuk memperbaiki layanan yang dianggap masih kurang. Jadi, survei dilakukan sesaat setelah pelanggan menerima layanan sehingga ia tidak lupa dan emosinya masih bisa ditangkap ketika survei dilakukan. Hal ini kami lakukan sejak 2011. Kemudian, setiap bulan kami lakukan pengelompokkan data dari customer dan mencari top 5 masalah berdasar input dari customer dan dibuat perbaikannya. Dan untuk mengembangkan sistem dan sebagainya sesuai dengan customer centric ini, kami investasi cukup besar.

Jadi, inovasi dan strategi dari sisi produk dilakukan berdasarkan survei ini?

Kami investasi untuk customer centric organization yang kami mau tuju, mulai dari transactional survey.

Butuh berapa lama untuk menindaklanjuti top 5 temuan survei?

Top 5 baru hanya isunya saja, misalnya berkaitan dengan produk yang pelanggan tidak sukai, service-nya, turnaround time dalam menyelesaikan service, atau cara menjual produk kami. Top 5 issues ini merupakan area yang harus kami perbaiki.

Selain itu kami juga ada perbaikan dalam key performance indicator. Misalnya, program untuk menyelesaikan masalah pelanggan dalam satu kali telepon. Kami menyebutnya “one and done”. Jadi, sekali pelanggan menghubungi kami, maka kami harus bisa menyelesaikan masalah pelanggan tersebut dalam satu kali hubungan telepon itu. Jika sebelumnya tingkat keberhasilan program ini hanya 60%, maka ke depannya akan kami tingkatkan menjadi 75%. Terdapat beberapa pelanggan yang harus kami hubungi kembali karena, misalnya, jika mereka komplain mengenai klaimnya, sementara surat-suratnya tidak lengkap, maka kami juga tidak bisa melakukan one and done.

Selain hal customer advisory board dan real time transactional survey yang terdapat dalam pilar “Understanding Customer”, kami juga melakukan survei Net Promoter Score yang dilakukan langsung ke customer kami dan customer kompetitor kami. Konsultan yang melakukan survei ini merupakan konsultan global, bukan dari Indonesia karena jika dari Indonesia, gampang kongkalingkong. Setiap tahun, konsultan global ini akan menghubungi ratusan customer Cigna dan customer 4 kompetitor kami. Kemudian konsultan itu akan melakukan rating dan akan dilihat posisi Cigna serta perbaikan yang terjadi.

Kami juga melakukan survei untuk mitra bisnis kami. Cigna mungkin merupakan satu-satunya di antara perusahaan asuransi yang melakukan hal ini. Konsultan global itu akan menghubungi 28 mitra bisnis kami, dari mulai jajaran direktur hingga tim operasi, dan ditanyakan mengenai Cigna dalam menangani hubungannya, produknya, training-nya, dan lainnya. Itu kami lakukan agar kami mengetahui tingkat kepuasan mitra bisnis kami.

Terakhir, setelah NPS, kami juga melakukan product acceptance test. Jadi, pada waktu kami akan meluncurkan produk, kami panggil customer council (berbeda dari customer advisory board) yang akan ditanya mengenai produk yang akan diluncurkan. Biasanya kami melakukan FGD terhadap delapan kelompok customer.

Itu tadi mengenai pilar “Understading Customer”. Mengenai pilar kedua, yaitu “Customer Insight”. Setelah mengetahui customer insight, kemudian kami masuk ke tahap bagaimana mengembangkan produk dan mensegmenkan customer. Kami lakukan seminar produk inovasi berdasarkan input dari customer. Dari hasil ini, sebetulnya terdapat tiga produk yang inovatif dan sesuai dengan customer di mana sudah kami luncurkan pada 2011 dan 2012.

Misalnya, Cigna Second Life yang khusus diperuntukkan bagi orang dengan usia 55 tahun ke atas, tanpa pemeriksaan kesehatan. Banyak orang tua yang mengatakan bahwa mereka sulit untuk masuk asuransi setelah diperiksa kesehatan saat usia itu. Di Cigna, kami guarantee acceptance, pasti diterima. Selain itu juga ada Cigna Easy Care yang menggunakan sistem kartu karena jika menggunakan product hospital, ketika mau masuk RS selalu harus menyetor DP. Meskipun bisa di-reimburse ke perusahaan asuransi, tapi tidak semua orang bisa bayar di muka. Jadi artinya, pemegang kartu Easy Care tidak perlu DP jika masuk RS. Hal ini yang juga kami dapatkan dari customer. Kemudian ada juga Cigna Early Stage Cancer. Produk ini juga merupakan masukan dari customer yang mengeluhkan biasanya orang baru mendapatkan setelah meninggal atau sudah sampai tahap critical illness. Mengapa tidak ketika terdeteksi dini sehingga penderita punya uang untuk bisa berobat. Early Stage Cancer kami luncurkan pada 2012.

Jadi sudah ada 3 produk yang sudah kami luncurkan berdasarkan customer insight yang sudah kami lakukan sejak 2011. Untuk 2013, kami baru saja menyelesaikan rancangan inovasi produk pada November lalu. Jadi, seluruh masukan customer kami tampung tiap tahun untuk dibuat perbaikan atau inovasi produk pada tahun berikutnya.

Untuk 2013, terdapat 4 produk inovatif yang akan diluncurkan. Namun, saya belum bisa memberi tahu karena masih belum diluncurkan. Empat produk tersebut diperuntukkan bagi 4 segmen, yaitu segmen keluarga, eksekutif, senior, dan anak-anak. Rencananya, pada 2013 paling sedikit terdapat 4 produk yang akan diluncurkan.

Mengenai pilar ketiga, yaitu Experience, kami mau melayani kelas menengah yang karakternya sangat value for money. Mereka tidak ingin buang uang tidak karuan, namun mereka tetap mau sesuatu yang nyaman. Meskipun murah, mereka tetap mau dilayani secara individu dengan suatu layanan yang baik. Nah, kami mau memberikan layanan seperti itu untuk msayarakat kelas menengah. Untuk itu, kami menerapkan strategi customer value management (CVM) yang benar-benar mengelola value untuk pelanggan.

CVM memang sangat teknis. Kami mendapat data dari customer melalui telemarketers tiap bulan. Dalam 1 tahun, pada 2012, kami menghubungi 12 juta customer dan pada 2013 kami targetkan mencapai 15 juta pelanggan. Jadi kami lakukan penetrasi ke pasar dengan manjangkau masyarakat sebanyak mungkin. Tentunya, orang yang kami hubungi berasal dari segmen yang berbeda. Ketika kami meghubungi customer yang menjadi nasabah bank internasional dan bank lokal, segmen mereka sangat berbeda. Kami juga sadar bahwa value for money-nya dan perlakuannya berbeda maka kami juga memperlakukan dan melayaninya dengan berbeda. Cara kami melayani customer yang berbeda ini melalui CVM.

Yang kami lakukan sebenarnya bukan hanya segmentasi. Kalau hanya segmentasi demografi, perilaku, dan sejenisnya, kami sudah lampaui itu. Kami masuk dengan apa yang disebut profiling dan modeling. Jadi kami melakukan profiling customer dan kemudian profil pelanggan ini kami buat model untuk mengetahui jenis produk yang mereka butuhkan. Hal dilakukan berdasarkan data transaksi dari bank dan asuransi. Jadi kami lakukan propensity modeling, yaitu memodel agar dapat mengetahui keenderungan orang mengatakan iya atau mau menerima tawaran produk seperti apa jika dihubungi pada jam berapa. Jadi sudah seperti mesin analisis.

Dengan analisis “mesin” ini, jika kami bisa menghubungi 1 juta orang, akhirnya kami tidak perlu menghubungi orang sebanyak itu. Berdasarkan analisis itu, kami menemukan bahwa success rate kami hanya 15%. Jadi kami hanya menghubungi 15% orang dari jumlah itu. Jadi, itu strategi Cigna melalui CVM bahwa akhirnya kami tidak perlu menghubungi banyak data karena dengan modeling ini, ketika kami masukkan analisis ke 1 juta data customer, maka akhirnya berguguran. Kami menyebutnya sebagai waterfall analysis. Berdasarkan analisis ini, dari 1 juta orang, mungkin hanya 150 ribu orang yang berhasil kami dapatkan.

Nah, kami menuju ke customized offer dan efisiensi. Jadi kami tidak perlu juga berakhir dengan ribuan telemarketing karena hanya membuang biaya telepon. Namun kami sudah investasi di telemarketing sangat besar. Mulai dari SDM yang sulit dicari, software, dan lainnya. Investasi sudah kami mulai sejak 2011. Namun pada 2012 kami juga menambahkan investasi. Kami berharap pada 2013 kami lebih canggih dalam menyasar pasar kelas menengah.

Pilar terakhir, yaitu kultur atau budaya organisasi. Budaya organisasi yang customer centric bisa saja hanya di mulut saja. Namun belum tentu bisa dilakukan dari hati. Untuk membangun budaya yang customer centric, diperlukan waktu yang sangat panjang. Di Cigna sendiri kami memperlakukan orang kami sendiri dengan baik. Pada akhirnya ketika pegawai kami happy, maka mereka akan melayani customer dengan baik. Jadi mulai 2010, kami, melalui konsultan dari Amerika, melakukan employee engagement survey (EES) kepada 1.200 pegawai Cigna Indonesia. Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa happy pegawai Cigna di Indonesia dalam bekerja. Hasilnya, tingkat happiness Cigna Indonesia merupakan yang terbaik di antara Cigna Internasional.

Untuk memiliki budaya perusahaan yang customer centric organization, butuh waktu lama karena melibatkan pegawai dari tingkat atas hingga ke bawah. Dalam rangka itu kami mulai dari EES sehingga kami tahu keluh kesah pegawai yang nantinya akan dilakukan tinjauan terhadap hal yang dikeluhkan tersebut. Hal ini selalu kami perbaiki.

Sebagai bagian dari kultur yang melayani, kami juga lakukan hal ini ke customer. Sejak 2011, kami juga lakukan terobosan dalam layanan. Misalnya Speedy Claim yang melayani klaim pelanggan hanya dalam 30 menit jika semua dokumennya lengkap. Lalu kami juga ada layanan Claim on Saturday, yang mungkin merupakan layanan pertama kali di antara perusahaan asuransi. Terkait layanan ini, setelah kami survei, banyak pelanggan yang senang karena biasanya orang sulit meninggalkan pekerjaan pada hari kerja. Kami juga buat e-newsletter melalui email ke pelanggan yang isinya tips kesehatan.

Sebetulnya, masih banyak yang harus kami lakukan. Namun, pada 2013 secara keseluruhan yang harus dilakukan adalah bagaimana kami mewujudkan cutomer centric organization dan tetap merasa bahwa mass market adalah customer kami.

Berapa besar kontribusi kelas menengah terhadap total penjualan?

Sekitar 80% karena kami memang sudah bermain di segmen ini.

Bagaimana target pertumbuhan penjualan pada 2013?

Rencana kami, penjualan kami ingin tumbuh cukup agresif, yaitu sekitar 24% karena kami sudah membuat business plan 2013. Untuk sales lebih ke new business. Untuk total premi, target pertumbuhannya sekitar 20% dan pertumbuhan profit sekitar 18%. Target ini tergolong cukup agresif karena basis kami sudah besar dan kompetitor kami makin banyak sementara kue di pasar tidak berkembang besar. Jadi kami berharap strategi customer centric ini benar-benar akan membuat customer tahu bagaimana memilih asuransi yang baik.

Apa produk dan strategi andalan untuk membidik peluang bisnis tahun 2013, bukan hanya pada segmen kelas menengah, tapi secara keseluruhan?

Produk kami cukup customized. Setiap mitra bisa melakukan kustomisasi agar spesifik dengan nasabahnya. Mengenai produk kami yang sedikit lebih mahal atau masuk ke segmen yang middle up, itu terjadi karena permintaan dari mitra yang merasa bahwa customer-nya sudah bukan di level middle low, tapi middle up.

Berarti strategi andalannya di 2013 untuk mencakup semua segmen adalah fokus kepada customer?

Ya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved