CEO Interview Editor's Choice

Mempersiapkan Generasi Penerus di Bisnis Keluarga

Mempersiapkan Generasi Penerus di Bisnis Keluarga

Dr. AB Susanto kerap menjadi konsultan bisnis keluarga untuk mempersiapkan regenerasi kepemiminan bisnis, dari generasi pendahulu ke generasi penerus. Generasi pendahulu mesti mempersiapkan generasi penerus untuk menjadi pemimpin bisnis di perusahaan keluarganya. Bagaimana cara mempersiapkannya, founder dan owner kantor konsultan The Jakarta Consulting Group itu memaparkannya kepada Gustyanita Pratiwi:

Apa pendapat Anda tentang fenomena anak enterpreneur yang menjadi CEO?

Secara umum pada beberapa perusahaan keluarga yang telah mempersiapkan generasi penerusnya dengan baik, saya melihat suatu ekskalasi keprofesionalan yang cukup tinggi. Terutama bagi generasi penerus yang sudah disekolahkan dengan baik. Ada yang di dalam negeri, ada yang di luar negeri. Kemudian waktu masa suksesi pun direncanakan, tidak asal, seperti kantor kami sering memberikan coaching kepada mereka sehingga lebih siap menghadapi hal itu dan hasilnya lebih bagus.

Tapi, memang ada beberapa yang ketinggalan, karena bayang-bayang orang tuanya terlampau kuat. Menjadi penerus orang yang sukses itu kan tidak mudah juga. Dia harus mempunyai kiprah yang melebihi, baru akan dicatat. Kalau tidak, dia masih ada di bawah bayang-bayang orang tua.

Yang saya tekankan adalah bahwa generasi penerus itu tidak boleh kita paksa untuk menjadi seperti kita sendiri. Karena memang manusianya berbeda. Kalau kita paksa seperti generasi yang terdahulu, jadinya dia cetakan generasi pendahulu yang kerdil. Tapi kalau kita mengakui keunikan dari pribadinya, talentanya, maka dia bukan hanya menjadi lebih baik, tapi juga akan mempunyai kinerja yang lebih menonjol. Bila ditinggal, generasi penerus ini kan sebetulnya mempunyai pilihan. Pilihan dia juga banyak berkiprah dan mau dikenal masyarakat luas atau dia mau berkiprah tapi jangan terlampau kelihatan. Ini kan masih ada dalam dunia keluarga, pendapat seperti itu. Ini saya tidak bisa mengatakan benar salah. Itu sangat tergantung personalitasnya.

Kami kebetulan memang di sini mempunyai banyak program konsultasi untuk masa transisi perusahaan keluarga, menggarap para pendahulunya, termasuk menggarap para penerusnya. Ini memang hal yang selalu diminta adalah confidentialitasnya. Kerahasiaan ini dalam bisnis keluarga nampaknya masih sangat penting. Karena mereka pun kalau sudah ada perbaikan besar-besaran tidak ingin terlampau nampak di luar. Berbeda kalau ada restrukturisasi BUMN, itu kan orang pada tahu. Wah lagi ada proyek misalnya Rekayasa Industri, Pelindo 2, dll, orang tahu kan? Tapi kalau dalam perusahaan keluarga biasanya memang ada kecenderungan untuk jangan terlampau diungkapkan. Tapi saya bangga lho, banyak sekali pada enterpreneur-enterpreneur ini.

Dalam fenomena ini sering ada stigma bahwa generasi pertama itu yang membangun, generasi kedua menikmati dan generasi ketiga menghancurkan. Bagaimana pandangan Anda?

Generasi pertama membangun. Itu sudah tentu, dan itu mereka kerja keras, investasi waktu, perasaannya, banyak sekali. Generasi kedua, itu biasanya membesarkan, menikmati. Karena apa? Karena dia, pertama, mulainya tidak dari dasar lagi. Sudah di atas. Jadi dia lebih mudah kan. Kedua dia dibekali dengan ilmu. Biasanya generasi kedua itu sekolahan, jadi cukup punya bekal, kemampuan manajerial yang baik, atau kemampuan teknis yang baik. Kemudian dia masuk ke dalam satu organisasi yang sudah tertata. Barangkali perlu kita lihat, dan generasi kedua itu kan sebetulnya sudah anaknya orang kaya, jadi agak lumayan kan ya. Generasi pertama itu sudah jadi orang kaya, tapi dia dulu bukan anak orang kaya. Jadi tentu attitude-nya berbeda ya. Dan yang lebih repot itu generasi ketiga, yang dikatakan cucunya orang kaya. Kenapa ada mitos generasi ketiga ini bisa terlampau dimanja? Dan itu bahaya, kalau generasi ketiga itu di samping terlampau dimanja, yang kedua adalah sudah masuk ke dalam cabang-cabang keturunan yang lebih luas lagi, di mana sudah bukan hanya saudara kandung, tapi sudah saudara keponakan, dll, sehingga masalah sama rata, sama rasa menjadi kurang. Yang lebih ditakutkan adalah rasio daripada emosi.

Perusahaan keluarga itu kan biasanya lebih mementingkan masalah heart, sedangkan kalau yang perusahaan publik lebih mementingkan head. Tentang heart vs head ini?

Itu adalah tarik-tarikan yang ada. Setiap perusahaan keluarga itu kan mempunyai ciri mementingkan heart, emosi, dan di samping itu juga lebih melihat ke dalam (inward looking). Kalau perusahaan yang bukan nonkeluarga, itu lebih mementingkan kepala, lebih rasio, bukan lagi emosi. Dia bermanfaat enggak untuk organisasi? Apa kontribusinya? Seberapa jauh kontribusinya? Itu yang ditanyakan. Kalau tidak memberikan kontribusi ya walaupun keluarga, ngapain? Jadi itu perusahaan yang sudah cenderung ke arah terbuka/profesional ya seperti itu. Lalu dia juga cenderung outward looking, dia melihatnya keluar. Bisa menjalin kerja sama dengan siapa, yang menguntungkan? Jadi itu adalah inti dari perbedaan keduanya.

Sekarang, perusahaan keluarga pun mempunyai pilihan, dia mau pure keluarga, pure emosi, pure heart saja, atau dia sudah mulai ke tengah, di samping heart ada campuran head juga. Ini biasanya pada generasi yang tambah ke bawah, unsur headnya akan lebih kuat. Kalau generasi pertama pure emosinya. Kedua barangkali, masih emosinya tapi sudah geser sedikit. Tapi ketiga adalah lebih kuat ke headnya.

Antara perusahaan keluarga satu dan yang lainnya berbeda, masing-masing punya pilihan, ada yang 100% menyerahkan kekuasannya itu pada anaknya, ada yang sebagian dipegang profesional, misalnya anaknya itu belum terlalu cocok tersebut itu bagaimana?

Itu yang kita sebut dengan masa transisi. Karena acapkali ada orang tuanya yang sudah cukup lanjut usianya dan dia merasa anaknya belum siap. Mungkin waktu anaknya lahir, dia usianya sudah 35 tahun, di usia 35-40 tahunan, berarti kan anaknya masih muda. Atau biarpun demikian anaknya masih belum siap, sehingga perlu ada jembatan. Sementara itu ada orang luar yang nonkeluarga yang mengambil alih tanggung jawab untuk masa transisi. Nanti dengan harapan kembali lagi.

Dalam perusahaan keluarga ini acapkali kita kombinasikan pada waktu yang senior masih ada, tapi sudah mulai merasa belum mengundurkan diri, lalu para generasi penerus ini diberikan kawan, kompanyon, yang mengikuti bersama-sama. Ini juga bagus. Jadi dia memang mendapatkan arahan dari orang tuanya, tapi juga dari orang dalam, yang profesional yang tahu mengenai perusahaan tersebut. Mungkin untuk jangka waktu 3-4 tahun, nanti baru setelah itu dia jalan sendiri. Tetapi yang saya usulkan generasi seniornya, barangkali harus berani mengurangi. Karena kalau generasi yang seniornya masih ada terus, generasi penerus kan tidak akan kebagian kesempatan untuk mengambil keputusan besar karena semua orang masih menanyakan kepada yang senior, enaknya bagaimana. Hal semacam ini sebenarnya paling bagus, adalah yang senior sangat mengurangi bukan hanya keterlibatannya, tapi juga kehadirannya.

Artinya jika maksimum profesional hanya memegang level GM misalnya, berarti untuk yang profesional belum bisa naik jenjang?

Sebetulnya di perusahaan keluarga, kami malah banyak menganjurkan sampai level direktur/direktur utama itu boleh diserahkan ke profesional, karena keluarga di Indonesia biasanya perusahaannya bukan satu, tapi beberapa, sehingga barangkali perlu dibuat holding-nya. Anak-anak ini kalau memegang sebagai satu perusahaan, nanti mereka menganggap ini perusahaan saya. Padahal semua milik bersama. Dan kalau dibagi, ada yang mengatakan perusahaan saya kecil, kamu kok besar, yang satu sudah jalannya bagus, yang satu baru mulai, sehingga lebih bagus nantinya itu semuanya berada di holding. Lalu yang anak-anak perusahaan ini diserahkan ke profesional. Dengan demikian profesionalnya juga mempunyai jenjang karier yang cukup tinggi. Karena kalau tidak, mereka merasa, saya kok stag sampai di sini.

Ada yang seringkali karyawan-karyawan itu dengan kehadiran si anak pemilik yang baru kemarin sore itu menyepelekan, kadang anaknya ini karena belum terlalu paham, itu bagaimana?

Ya itu benar. Mengapa kami selalu mengatakan untuk ada perencanaan karier individual bagi masing-masing generasi penerus. Karena orangnya macam-macam kan? Sehingga dia tentunya kami berikan bekal supaya bukan hanya dia datang tidak tahu apa-apa, belajar. Dia akan dihormati kalau dia datang, juga membawa ilmu, dia akan mempunyai ekspertis mengapa saya itu sering mengatur kawan-kawan yang baru pulang dari sekolahnya, dari luar negeri, misalnya London, saya minta untuk sebelum kembali, katakanlah perusahaannya asuransi kerugian, saya bilang kamu maganglah. Dimana? Di Lyoid. Lyoid kan perusahaan asuransi terbesar di dunia. Maganglah, tiga bulan juga tidak apa-apa.

Saya minta dia tidak bekerja, karena kalau bekerja, seringkali dia hanya disuruh ini disuruh itu. Tapi kalau magang, bisa melihat dengan cara apa saja, bicarakan dengan perusahaannya, sehingga nanti waktu kembali, dia bukan hanya seorang MBA, tapi pernah tahu, sehingga pada waktu duduk pun di sini dia tetap harus belajar situasi Indonesia, situasi pekerjaannya, tapi juga tidak dipandang sebelah mata. Mengapa saya mempunyai program membantu mereka, harus saya buatkan program acceptance itu, penerimaan yang jelas. Dan diberikan tugas yang tidak menjadi wakil. Tugasnya harus jelas. Tingkatannya pun manajer boleh, kepala seksi boleh, direktur, terserah, tapi intinya yang bisa disalahkan atau dibenarkan. Bisa dipuji atau dicerca. Itu berarti dia punya tanggung jawab sendiri. Dengan itu, dia harus bisa menjadi dan salah satu mata rantai dari organisasi. Setelah orientasi, biasanya tiga bulan, saya akan pasang di satu tempat dengan tanggung jawab yang jelas.

Dari sekian nama generasi penerus, boleh dicontohkan siapa yang sudah layak disebut keluar dari bayang-bayang orang tua dan banyak prestasi yang telah diukirnya?

Saya agak menemui kesulitan kalau menyebut nama. Banyak sekali yang alumnus dari kami. Jadi kalau saya menyebutkan nama, takutnya nanti ada yang merasa, nama saya disebut kok yang lain tidak. Apa saya kurang bagus, dll. Tapi kalau sekedar tips saya rasa banyak lo anak-anak generasi pendahulu yang kemudian cukup berhasil menurut saya. Misalnya dari Dexa Medika itu kan ada satu namanya Ferry itu ya lumayan. Itu bukan hanya mengambil alih tapi juga membesarkan lebih lanjut. Kan banyak contoh-contoh anak-anak yang cukup berhasil. Di Mayora, ada Andre, saya rasa ada beberapa yang bisa dilihat.

Kesimpulannya, apa yang harus dilakukan generasi penerus ini supaya dia bisa keluar dari bayang-bayang orang tua?

Saya sering membuat peta. Peta bahwa sebetulnya, pada usia tertentu, biasanya setelah usia 35 tahun, itu kalau dia dipersiapkan dengan baik, dia akan mulai matang. Matang jika sudah memimpin secara benar, mungkin 1-2-3 tahun ya, lalu dia akan mempunyai kiprah sendiri. Kiprahnya sendiri barangkali akan berbeda dari orang tuanya karena katakanlah mungkin anaknya lebih global. Anaknya lebih sesuai dengan zamannya, lebih banyak menggunakan teknologi. Kalau orang tuanya lebih banyak ke hal-hal yang konvensional. Dan kekuatan network–nya yang ada. Karena orang tuanya sudah tua. Tapi jangan meremehkan generasi muda.

Generasi muda yang disekolahkan, mungkin sekolahnya malah sekolah bagus, banyak ngumpul dengan kawan-kawan unggulan, anak-anak orang-orang unggulan dari seluruh penjuru dunia. Dia network–nya luas sekali. Dan itu kalau dia manfaatkan akan menjadi luar biasa. Menjadi pemain yang ulung. Dan ini saya amati sedang terjadi. Bagi mereka yang berhasil, biasanya kawan-kawan usia 35 ke atas itu mulai menemukan jati dirinya, serta dia akan membawa organisasi sesuai dengan arah yang dia inginkan. Kalau tidak terlampau dipegang oleh orang tuanya. Coba amati generasi penerus yang sudah 35, itu mulai bergerak, nanti mungkin di usia 40 karya-karyanya sudah nampak jelas. Mereka mulai mengembangkan kiprahnya sesuai dengan maunya sendiri. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved