CEO Interview Editor's Choice

Michael Widjaja Ingin Mewujudkan BSD sebagai Perusahaan US$ 10 Miliar

Michael Widjaja Ingin Mewujudkan BSD sebagai Perusahaan US$ 10 Miliar

Michael Widjaja adalah generasi ketiga Grup Sinar Mas. Anak Muktar Widjaja dan cucu Eka Tjipta Widjaja ini menduduki posisi Group CEO Sinar Mas Land, yang membawahi perusahaan properti terkemuka PT BSD Tbk dan PT Duta Pertiwi Tbk. Di bawah kepemimpinan Michael Widjaja, kedua perusahaan properti itu digabungkan di bawah holding company Sinar Mas Land. Apa saja mimpi Michael Widjaja dalam mengembangkan Sinar Mas Land, berikut penuturannya dalam wawancara dengan Rosa Sekar Mangalandum:

Biasanya anak pemilik perusahaan sudah pisah dari orang tua sejak kecil untuk bersekolah di luar negeri. Bagaimana dengan Anda?

Sejak SD, saya tinggal dan bersekolah di Singapura. Orang tua datang menjenguk hanya sebulan sekali.

Michael Widjaja, Sinar Mas Land

Michael Widjaja

Perasaan Anda saat itu?

Sebagai anak kecil, tentu saya punya perasaan ditinggalkan. Tapi lama-kelamaan, saya belajar bahwa orang tua melakukannya untuk masa depan saya terbaik. Dari kesempatan mengenyam pendidikan di luar negeri ini pula, saya jadi punya pespektif berbeda, budaya berbeda, dan juga makin mandiri karena terbiasa mengurus berbagai hal tanpa orang tua.

Bagaimana Anda terus belajar mengatasi tantangan ini agar siap kembali ke Indonesia?

Saya sudah mengantisipasi bahwa keadaan pasti berbeda di Indonesia. Tapi, keadaan yang seperti itu dijalani saja. Saya belajar dulu tentang budaya dan bahasa Indonesia. Tinggal seatap dengan orang tua juga perlu penyesuaian karena pada dasarnya, sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil. Terkait budaya perusahaan, saya belajar lewat tindakan langsung saja.

Apa jabatan pertama Anda di perusahaan keluarga?

Saya kembali ke Indonesia pada tahun 2007. Saat itu, saya berusia 24 tahun. Saya sudah tahu bahwa saya akan dijadikan penerus usaha oleh ayah. Lalu saya bergabung ke dalam perusahaan keluarga pada pertengahan 2007 itu juga. Saya memulai karier di PT Duta Pertiwi Tbk. Saya tidak diberi posisi apa-apa, malah cuma disuruh “membayang-bayangi” (shadowing) ayah. Apa pun rapat dan pertemuan yang dihadari ayah, saya disuruh ikut seperti bayangannya. Ibaratnya, saya sekadar penonton di Sinarmas. Sampai satu tahun lebih, saya ikut ayah ke mana-mana. Menurut saya, itu bagian dari pembelajaran mengenai bagaimana perusahaan ini berjalan, bagaimana yang seharusnya, dan bagaimana akan berjalan di masa depan.

Selepas menjadi observer di Duta Pertiwi, ayah menawarkan pada saya, “Ada dua unit, Duta Pertiwi dan BSD. Kamu mau coba yang mana?” Saya memilih BSD. Lalu saya pun pindah ke sana tahun 2008, menjabat Wakil Presiden Direktur BSD.

Dipercaya sebagai wakil presiden direktur, saya merasakan beban yang sangat berat. Tahun 2008 itu, BSD sedang jaya-jayanya. Sebelumnya, keadaan BSD bisa dibilang tidak begitu baik. Saya boleh bersyukur, saya masuk saat BSD mulai menanjak ke keadaan sekarang. Di sisi lain, saya justru menyesal karena tidak sempat mengalami masa-masa sulit BSD.

Sampai dua tahun pertama, prosesnya masih pengenalan perusahaan dan orang-orang di BSD. Saya kira, yang saya alami seperti penyesuaian. Tahun 2010, saya baru betul-betul menyumbangkan wawasan dan masukan dari saya sendiri.

Apa saja suka duka menjadi CEO muda di kelompok usaha properti?

Bagi saya, membangun kota seperti BSD City merupakan pengalaman suka karena ini kegiatan menciptakan sesuatu yang bisa menjadi pusat perhatian Jakarta sekaligus berbeda. Sementara itu, pengalaman duka juga banyak.

Siapa yang jadi mentor bagi Anda pada saat-saat krisis seperti itu?

Tentu saja kakek jadi mentor bagi saya. Kini beliau sudah tidak begitu aktif dalam pengelolaan perusahaan (operating business), tapi masih aktif dalam grand masterplan.

Selain kakek, ayah adalah mentor saya juga. Saya sangat kagum padanya.

Sementara di perusahaan, Presiden Direktur BSD-lah yang jadi mentor saya. Beliau, Harry Budi Hartanto, selalu membantu lewat proses tik-tok ide. Dia sudah bekerja di perusahaan kami hampir 27 tahun. Dia tahu jauh lebih banyak hal daripada saya. Saya selalu tik-tok ide-ide gila saya dengannya. Dialah yang menanggapi dengan mengatakan, “Tidak semua bisa dilakukan karena mungkin terlalu idealis. Kita ambil bagian yang bagus lalu coba terapkan.” Tentu saja, pengaruhnya sangat besar.

Bagaimana upaya Anda keluar dari bayang-bayang orang tua?

Saya tidak punya tujuan langsung untuk menghapus bayang-bayang orang tua dari saya. Kalau terjadi, ya terjadi. Kalau tidak, ya tidak. Saya akan selalu jadi anaknya dan akan selalu seperti itu. Suka tidak suka, nama besar orang tua mempengaruhi saya dalam pekerjaan dan kegiatan sehari-hari. Kalau melihat dari sudut pandang orang lain, saya selalu dinilai dengan “embel-embel” ayah. Seandainya saya berhasil, orang akan bilang, “Namanya juga anak Muktar Widjaja.” Sebaliknya saat saya gagal, mereka menilai, “Itulah jeleknya Muktar Widjaja.”

Boleh dapat gambaran tentang interaksi Anda dengan ayah dalam pengelolaan Sinarmas?

Saya tidak sepenuhnya bebas berinovasi. Tentu saja, masih dipantau oleh ayah. Proses penerimaan ide saya untuk inovasi melalui cara diskusi dulu dengan ayah.

Kalau saya minta tanggapan dari orang tua, hasil kerja saya pasti tidak cukup baik. Ini ada benarnya pula. Siapa tahu saya terlalu berkhayal atau melupakan risiko dalam perencanaan. Semua manusia selalu begitu. Saya sudah melakukan ini-itu, tanggapannya, “Kurang bagus.” Ada saja yang kurang. Bagi ayah, tak pernah cukup. “Sudah bagus, tapi…,” begitu katanya.

Bagaimana perasaan Anda?

Tanggapan ayah bisa mengecilkan semangat saya, tapi bisa jadi pendorong pula. Tinggal menentukan sudut pandang saja. Berhubung saya gemar bermain basket, saya berkaca pada para pemain basket ternama. Mereka selalu memanfaatkan energi negatif untuk mendorong mereka maju terus. Maka, saya pun menggunakan kalimat ayah untuk mendorong saya, jadi semacam bahan bakar. Saya akui, sesekali itu juga mengecilkan saya. Saya merasa sudah berusaha semantap-mantapnya dan ayah bilang, “Tapi,…” Wah, bagaimana ini?

Maka, saya selalu mengambil Bill Gates sebagai contoh. Gates ingin belajar hal baru tiap hari. Ini berkaitan dengan salah satu nilai yang ditanamkan kakek, Eka Widjaja sendiri, terus belajar. Nilai dari kakek adalah senantiasa belajar untuk penyempurnaan.

Apa terobosan terbesar yang telah Anda lakukan untuk memajukan bisnis keluarga?

Terobosan yang saya baru saja lakukan, saya mendirikan entitas perusahaan dan brand baru bernama Sinarmas Land ini. Di bawahnya, ada PT Duta Petiwi Tbk., PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSD), sampai ratusan anak perusahaan. Proyeknya sekitar 50 proyek, di antaranya ITC. Dari ke-50 proyek tersebut, ada 15-20 proyek yang sedang dibangun secara aktif. Kalau proyek township ikut dihitung, mungkin jumlahnya lebih banyak.

Saya bertugas di BSD cukup lama, sepanjang 2008-2011. Saat itu, kantor masih terpecah. Ketika saya menangani BSD, tiba-tiba Duta Pertiwi minta dilihat. Padahal saya tidak bisa mengurus keduanya. Saya menyadari pula, selama beberapa tahun bertugas di BSD, tidak jelas apa maunya BSD. Semua dijajaki saja tanpa greater vision. Maka, kekhawatiran saya timbul.

Kemudian saya mengemukakan ide, “Ayo, gabungkan perusahaan-perusahaan properti kita.” Ada banyak faktor di balik keputusan pendirian Sinarmas Land. Alasan pertama, gaung kami sudah kalah dengan kelompok pengembang macam Agung Podomoro, Sedayu, Lippo. Kedua, saya mau memunculkan brand payung perusahaan. BSD dan Duta Pertiwi harus membentuk satu perusahaan yang menunjukkan keberadaan kuat di sektor properti Indonesia. Karena itu, saya mendirikan Sinarmas Land pada 2011.

Membentuk entitas baru bernama Sinarmas Land berarti dibutuhkan visi yang baru. Sudah sangat lama visi BSD dan Duta Pertiwi tidak diperbaharui ataupun ditinjau. Tak ada relevansinya pula. Saya dan tim membuat satu visi yang lebih relevan, yakni Sinarmas menjadi perusahaan yang relevan di pasar Asia Tenggara. Justru bukan jadi perusahaan terbesar, melainkan relevan.

Ini tidak berarti generasi kakek dan ayah dulu tidak becus menjalankan perusahaan sehingga Sinarmas tidak beres. Dengan ataupun tanpa saya, Sinarmas bisa tumbuh dan tetap jadi pemain properti besar di Indonesia. Saya tak bisa menyumbangkan pengalaman ataupun kepintaran lebih. Saya juga tidak bisa memberi pendapatan. Persoalannya hanyalah, apa Sinarmas bisa tumbuh dengan semestinya. Peran saya hanyalah memandu Sinarmas menuju satu arah dengan lebih akurat. Ada visi yang lebih besar (greater vision) sehingga semua anak perusahaan tahu sedang menuju ke mana daripada membuat sesuatu secara terpisah-pisah.

Apa perubahan yang timbul setelah Anda menerapkan terobosan itu di Sinarmas?

Mundur ke belakang, sekitar tahun 2004-2005, BSD itu apa? Saya dengar cerita dari masa itu, BSD tak punya tanah, utang berlipat ganda, sempat kehilangan Graha Telkomsel untuk bayar upah karyawan. Sampai ada yang sambil berkelakar bilang Bintaro Sonoan ‘Dikit. Saya menyesal, mengapa saya tak ada di situ saat sedang kesulitan? Kalau saja saya di sana, saya pasti belajar lebih banyak.

Tapi, saya tak bisa memutar ulang waktu. Istilah Bintaro Sonoan ‘Dikit itu sudah tak terdengar lagi. Waktu saya masuk, BSD sudah punya platform untuk mapan (mature). Perusahaan ini terletak di lokasi strategis, hanya sedikit utang, punya tanah untuk bekerja.

Hasilnya sekarang, selain branding, pendirian Sinarmas Land menonjolkan sumber-sumber daya sehingga bisa lebih kuat, misalnya purchasing. Kalau digabung, sumber daya pasti lebih kompetitif. Tentu utamanya, ada sinergi pula. Bagian dari terobosan ini adalah pemindahan kantor pusat Duta Pertiwi dari Mangga Dua ke Green Office Park di BSD.

Bagaimana pergulatan Anda meyakinkan senior dan karyawan?

Membangun kerja sama dengan karyawan yang sudah masuk perusahaan lebih dulu ya, harus dengan rendah hati. Kalau baru setahun, jangan sok jago. Itu saja. Ada banyak pengalaman menarik seputar pergulatan meyakinkan karyawan, tapi dibagikan off the recordsaja.

Tentu saja saya merasakan beban juga. Tahun 2009-2010 merupakan tahun terberat bagi saya sebab ada banyak bentrokan dengan manajemen lama. Tapi, Sinarmas bertahan karena kegigihan.

Adakah pengalaman berkesan saat berupaya meyakinkan senior dan pemegang saham?

Salah satu pengalaman saya meyakinkan karyawan senior dan pemegang saham bahwa saya mampu adalah proyek baru pembangungan The Breeze Lifestyle. The Breeze merupakan mall tanpa dinding. Proyek ini merupakan open mall dan sebenarnya mall yang murah (cheap mall). Saya mendapat inspirasinya dari negara tempat saya kuliah, AS.

Sayangnya, ide mall tanpa dinding ternyata sulit diterima. Apakah orang mau hujan-hujan dan panas-panas di mall? Tak ada senior ataupun pemegang saham yang mempercayainya, apalagi mau mewujudkannya. Saya menemui tantangan dalam hal ini. Sampai tiga tahun, ide ini tidak bisa jalan. Memang, ide-ide inovatif biasanya sulit dipercaya.

Nah, sesulit apa pun itu, saya tetap harus meyakinkan mereka. Untuk meyakinkan senior dan pemegang saham, yang jadi persoalan adalah konsep dan angka. Sebetulnya ini cara yang sangat straightforward. Ide inovatif The Breeze mungkin tidak langsung menunjukkan angka ataupun pendapatan, tapi diharapkan berpengaruh positif bagi pengembangan Sinarmas jangka panjang. Sekarang pembangunan sedang berjalan dan The Breeze akan dibuka di Green Office Park, BSD sebelum Lebaran.

Seketat apa persaingan antargenerasi ketiga untuk buktikan bahwa Anda kompeten?

Saya saling mendukung dengan sesama generasi ketiga. Kalaupun ada persaingan, hubungan antara kami merupakan persaingan sehat. Dalam dunia ini, kalau tidak ada persaingan, tidak akan ada kemauan untuk maju. Ini baik untuk menyempurnakan diri masing-masing dan mencapai benchmark. Tidak ada rasa saling iri.

Apa langkah yang Anda ambil agar perusahaan keluarga ini makin profesional?

Saya setuju bahwa, perusahaan harus semakin profesional sekalipun dibangun dari keluarga. Keluarga saya telah mengambil langkah menawarkan saham perdana (IPO) pada masyarakat, seiring mengikuti aturan Bapepam, BEI, termasuk bursa efek Singapura. Ada perusahaan keluarga saya yang sudah tercatat di bursa efek Singapura. Singapura punya ketentuan yang lebih ketat dibanding Indonesia. Dengan sendirinya, Sinarmas harus lebih profesional lagi.

Apa rencana pengembangan Sinarmas?

Mimpi saya, BSD City bisa menjadi distrik pusat bisnis (CBD/central business district) Tangerang. Jika terwujud, itu akan jadi pencapaian terbesar saya.

Sinarmas punya sangat banyak proyek tahun 2013 ini. Saya dan tim tengah mempersiapkan satu perusahaaan untuk IPO (initial public offering). Kemudian, bangun International Indonesian Expo (IIE) dengan Kompas Gramedia, untuk menjadi pameran convention terbesar di Indonesia.

Selain IIE, ada proyek The Breeze. Dalam hal ini, sudah saatnya Indonesia lebih mengeksplor SDA (sumber daya alam) yang diberikan Tuhan berlimpah-limpah, sambil berbelanja. Berbeda dengan Singapura yang berorientasi jasa (service oriented), Indonesia adalah negara yang berorientasi alam. Maka, saya tidak segan menghabiskan 20%-30% anggaran pembangunan mall saya untuk pembentukan lansekap dan kegiatan luar ruang (outdoor activities). Mungkin pengembang lain akan menyebut saya bodoh karena melakukan ini. Tapi, ini berbeda dan saya harap, orang-orang bisa menikmatinya seperti saya.

Dalam waktu lima tahun, Sinarmas Land harus mengokohkan posisinya sebagai dua atau tiga besar perusahaan pengembang di Indonesia. Sinarmas sudah bisa disebut besar sekarang. Tapi, ini tentu tergantung harga saham (stock price).

Kedua, Sinarmas ingin menunjukkan eksposur di Asia Tenggara secara keseluruhan, mengingat region ini sedang tumbuh luar biasa cepat. Ingin kuat di dua negara lain.

Ketiga, saya ingin melihat BSD jadi perusahaan US$ 10 miliar. Tergantung seberapa kerja keras saya, ini mungkin. §


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved