CEO Interview Editor's Choice

Strategi Sewu Segar Membangun Merek Buah-buahan

Strategi Sewu Segar Membangun Merek Buah-buahan

PT Sewu Segar mendobrak pakem pemasaran buah-buahan dengan membuat merek pada buah-buahan yang dijualnya: Sunpride untuk buah berkualitas premium, Sweety sebagai second brand untuk pasar moderen, sedangkan Sunfresh untuk pasar tradisional. Bagaimana strategi Sewu Segar membangun merek buah-buahannya – yang sejatinya merupakan komoditas? Berikut wawancara SWA, Herning Banirestu, dengan Martin Widjaja (Presdir PT Sewu Segar Nusantara yang didampingi Luthfiany Azwawie (Manajer Pemasaran dan Komunikasi).

Martin Widjaya, Gunung Sewu, Sunpride, buah segarBagaimana latar belakang berdirinya Sewu Segar?

Sewu Segar adalah bagian dari Grup Sewu. Di Grup Sewu ada divisi yang bergerak di agriculture, ada yang pemasaran dan logistik. Perusahaan ini didirikan pada 1995, di bawah PT Sewu Segar Nusantara, usianya sudah lebih dari 16 tahun. Dalam grup kami ada kerjasama dengan Delmonte Fresh, menanam pisang untuk ekspor. Pada saat itu (1995), perusahaan holtikultura masih jarang yang menanam buah untuk skala industri. Perusahaan ini terpisah dari Sewu Segar, fokusnya menanam buah. Saat itu kami menanam pisang 2.000-an hektare (ha) di Lampung. Setelah berjalan dua tahun, kami mulai ekspor ke Jepang dan Hong Kong. Tapi, tanaman kami pernah terkena hama, yang namanya Fusarium. Seluruh tanaman rusak. Dari yang ditanam 2.000 ha itu, hanya tersisa 300-400 ha saja yang masih bagus. Sudah tinggal segitu sudah tidak fisibel lagi untuk diekspor. Seperti ekspor ke Jepang, standarnya ketat, minimal sisa daunnya lima agar buahnya bisa diekspor ke sana. Kalau tidak, harus dibuang.

Karena itu, dibentuklah perusahaan PT Sewu Segar Nusantara yang khusus menjual buah sisa tersebut untuk pasar lokal. Padahal sebelumnya 100% produknya kami eskpor. Saat itu, kami tidak menyangka potensi pasar Indonesia akan menjadi demikian besar seperti sekarang. Seperti kecelakaan, kami pasarkan buah itu untuk pasar lokal, walaupun awalnya sulit. Banyak orang meragukan pisang hasil panenan kami. Ada yang mengira ini pisang plastik, pisang Filipina. Bentuknya seperti pisang Ambon tapi kulitnya mengilap. Saat itu kebetulan supermarket mulai tumbuh, seperti Hero mulai berkembang.

Mulai tahun 2004, tanaman buahnya nambah, yang semula hanya pisang, kami mulai menambah jualan melon. Ada golden melon, honey melon, juga menambah pisang mas dari Jawa Timur. Tahun 2005 kami mulai impor buah seperti apel dan pir. Dari situlah kami mulai melihat bahwa konsumen Indonesia mulai suka buah yang ada brand-nya.

Sejak awal kami sudah memakai brand Sunpride. Walaupun kami belum ada aktivitas promosi, seperti beriklan. Jadi, Sunpride bukan buah impor, tapi buah lokal, yang kami tanam di Indonesia. Brand Sunpride sudah kami register di sembilan negara. Mulai tahun 2011 sudah kami register merek tersebut di 9 negara.

Ke depan kami melihat pasar beberapa negara yang besar potensi, dan akan kami garap, seperti Singapura, Malaysia, dan Timur Tengah. Negara-negara itu kekurangan buah. Itu target yang akan kami garap di masa mendatang.

Martin Widjaya, Gunung Sewu, Sunpride, buah segarBagaimana Sunpride dibangun sebagai merek yang didedikasikan untuk buah yang merupakan produk komoditas?

Kami mulai branding Sunpride sejak tahun 2000an, walaupun belum aktif. Kami belum berpromosi, baik above the line maupun below the line. Tapi kami sudah mulai riset kecil-kecilan pada 2000-an. Hasilnya, para konsumen, termasuk yang berbelanja di pasar tradisional, lebih percaya pada buah bermerek. Mereka lebih senang buah yang ada mereknya daripada yang tidak bermerek. Buah yang ada mereknya dijamin kualitas dan keamanannya. Sebenarnya, kami mengelola tiga merek: Sunpride, Sweety dan Sunfresh. Hanya saja dua yang terakhir (Sweety dan Sunfresh) tidak terlalu kami ekspos. Sunpride untuk merek buah yang kualitas buahnya nomor satu. Dua merek lainnya sebagai second brand atau fighting brand, untuk konsumen yang lebih murah. Sweety adalah second brand khusus untuk pasar moderen. Sedangkan Sunfresh untuk pasar tradisional. Sunpride punya potensi bukan saja di Indonesia, tapi juga di pasar ekspor. Di Timur Tengah kita punya keunggulan, lead time kita lebih pendek daripada pasar dari Filipina.

Sunpride ada tiga divisi sekarang. Divisi dari grup sendiri, divisi buah impor, dan divisi buah lokal. Untuk divisi buah lokal kami sub dari petani dan pengepul di mana-mana (Sumut, Jabar, Jateng, dan Jatim). Buahnya bukan dari kebun yang dikelola kami, tapi kerjasama dengan petani. Divisi dari grup sendiri adalah grup Sewu lain yang fokus menanam atau agribisnis, yang dikelola distribusi dan pemasarannya oleh Sewu Segar dibawah merek Sunpride. Ini dibawah perusahaan berbeda. Divisi buah impor ya tentu buahnya asal buahnya impor.

Mengapa dibedakan?

Produk hortikultura apapun, secara alami akan masuk kelas A, B dan C. Karena buah dihasilkan bukan pakai mesin. Jadi ada buah yang kecilan ukurannya, ada yang kulitnya lebih kotor, dan sebagainya, sehingga ada grade-nya. Kami harus posisikan kualitas buah yang berbeda itu, disesuaikan dengan positioning konsumennya masing-masing. Contoh Sunpride adalah merek untuk pasar moderen yang kelas A dan B. Namun harus dikoreksi bukan berarti rasa dan kandungan buah merek Sweety dan Sunfresh berbeda lho. Rasanya sama manisnya, tapi yang Sweety lebih kecil. Jadi harganya lebih murah.

Sejak 2001 Sunfresh diluncurkan. Sebelumnya, buah kami yang grade B atau C tidak kami beri merek. Sejak diberi merek, penjualannya terlihat meningkat. Ini untuk wet market. Dari hasil riset pada 2000, seperti dipaparkan di atas, maka kami buatlah merek Sunfresh itu. Kami cek dua boks buah, satu bermerek dan satunya lagi tidak. Ternyata yang lebih laku yang ada mereknya. Walau kelas bawah, brand awareness-nya sangat tinggi.

Bagaimana strategi brandingnya?

Kami tentu harus punya perbedaan, kami punya standar. Jadi, kalau produk dengan merek Sunpride harus sesuai standar tertentu, seperti grade kemanisannya itu bisa diukur dengan break meter. Kemanisannya harus sekian, kalau melon besarnya harus sekian, kebersihan kulitnya harus sekian. Ada standar yang kami buat. Sebenarnya nomor satu adalah kita harus konsisten menjaga standar dari merek tersebut.

Standar itu berasal dari luar negeri atau Sewu Segar yang buat?

Kami melakukan benchmarking ke luar negeri, tapi kemudian kami buat sendiri standarnya. Sunpride punya standar sendiri untuk setiap macam buahnya. Kami juga ditanya jika kami ikut Asia Food Congress. Who make the standard, industry or you? Tiap negara punya standar berbeda, tiap manufacturer berbeda juga standarnya. Seperti di Peru, banyak manufacturer anggur, standarnya berbeda. Seperti juga Sunpride, adalah manufacturer buah di Indonesia, kami punya standar sendiri. Kami sesuaikan dengan kapasitas dan hasilnya.

Namun kuncinya bukan di situ, yang berat adalah bagaimana menjaga agar tetap mengeluarkan buah sesuai dengan standar yang sudah kami tetapkan. Karena produk alam, kami terpengaruh musim. Kalau kemarau panjang, mungkin buahnya tidak sebesar musim hujan. Kalau musim hujan, buahnya tidak semanis musim kemarau. Jadi tantangannya banyak, namun kami tetap harus punya standar.

Lalu bagaimana mengatsi kendala perubahan musim itu?

Salah satu solusi kami adalah mengeluarkan beberapa merek tadi. Jadi, apapun hasil panen kami, ada wadah untuk menampung sesuai standar masing-masing. Itulah gunananya ada beberapa merek. Apalagi sebenarnya di Indonesia kebutuhan buah masih sangat luas. Melakukan segmentasi pasar yang tepat dengan kualitas produk yang tepat. Ini yang paling penting. Kebunnya banyak teknisnya.

Karena itu, Sewu Segar fokus pada pemasaran, promosi dan distribusinya. Agar fokus, perusahaan lain di bawah grup Sewu fokus menanam saja. Menanam saja tantangannya saja sudah banyak. Tidak bisa dibayangkan kalau itu dijadikan satu perusahaan, pasti fokusnya akan hilang. Misal PT Nusantara Tropical Fruit adalah perusahaan yang khusus menanam pisang, nanas, jambu dan sebagainya.

Apa saja tantangan branding buah?

Memang hal baru di sini. Tapi saya rasa branding untuk buah tidak beda jauh dengan branding produk lain. Kita perlu jaga konsistensi kualitas produk buahnya. Dengan branding, memang bisa menciptakan brand loyalty. Contoh ada kompetitor datang, semisal merek dari Filipina, menurut survei, konsumen lebih suka brand Sunpride. Karena sudah terbentuk di benak konsumen kepercayaan akan merek Sunpride.

Merek ini kami jaga, kami bina awareness-nya ke konsumen, sehingga makin dikenal. Ini menciptakan brand loyalty. Kami tiap tahun melakukan riset, merek Sunpride awareness-nya di atas 90%, Top of mind di atas 50%. Jadi, tanpa dikasih tahu, merek buah yang ada di benak konsumen tercetus pertama kali adalah Sunpride, terutama untuk pisang cavendis-nya – walau Sunpride merek untuk banyak jenis buah lain.

Sehingga jika ada kompetitor datang dengan merek berbeda, Sunpride tetap menjadi pilihan utama. Sunfresh untuk wet market. Logo Sunfresh bundar merah, Sunpride logonya hijau oval. Memang tidak dihindari, ada konsumen mengira Sunfresh pesaing Sunpride. Tidak apa buat kami. Tapi Sunfresh dihargai di wet market.

Menariknya, mulai terlihat branding Sunpride di sekitar kita. Contoh bilboard di sepanjang Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Kami pun sudah masuk ke sosial media juga.

Sejak 2005 kami mulai berfikir serius, setelah kami punya beberapa jenis buah yang dijual, bukan hanya pisang. Kami mulai lebih banyak aktivitas below the line. Ya terutama aktivitasnya di sana, dengan menyediakan potongan buah untuk dicicipi di beberapa pasar moderen. Saya pikir below the line lebih penting. Konsumen akan percaya jika sudah mencoba kalau buahnya memang enak. Hingga tahun 2011, aktivitas marketing kami di-outsourcing, menggunakan agensi. Tahun 2012 kami sudah punya tim sendiri.(Didin Abidin Masud)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved