CSR Corner

Agribisnis Jagung Klaten: Belajar Dulu, Dijual Kemudian

Oleh Admin
Agribisnis Jagung Klaten: Belajar Dulu, Dijual Kemudian

Menanam jagung itu mudah. Menjual, menjadikan jagung sebagai komoditas bisnis itu yang susah. Permasalahan ini dihadapi petani tradisional di Indonesia sejak lama. Meskipun mereka sudah biasa melempar jagung ke pasar tradisional, problemanya semakin rumit ketika memasuki ranah industri. Harga beli industri yang lebih tinggi sebetulnya sangat memotivasi petani jagung. Namun menyamakan spesifikasi minimum industri dengan hasil panen ternyata dirasakan sangat berat. Masalah ini dialami petani Klaten sejak lama, dan tengah dipecahkan oleh Aqua Lestari.

Kerjasama Cargill diresmikan Muhammad Yunus

Sejak tahun 2010, Aqua Lestari mengedukasi petani sub daerah aliran sungai Pusur agar tidak hanya menanam padi begitu saja. Para petani diajarkan menanam padi organik serta rotasi penanaman dengan jagung dan kedelai. Hasilnya, Cargill memborong 40 ton jagung sedangkan Sari Husada memborong kedelai. Aqua Lestari pun mendorong terbentuknya Koperasi Layanan Pengembangan Agribisnis Pusur Lestari untuk mengakomodasi produktifitas dan jalur bisnis petani.

“Spesifikasi Cargill itu tinggi, awalnya kami kesulitan mengikuti. Aflatoksinnya tidak boleh lebih dari 50PpB, kadar air juga harus di bawah 15%,” kisah Purwoto, salah satu anggota kelompok tani LPA Pusur Lestari. Aflatoksin merupakan senyawa toksik dari fungi (jamur) yang terdapat pada tanaman termasuk jagung, kedelai, dan singkong.

Purwoto menuturkan bahwa sebelum mengenal Cargill hasil panen jagung di desanya memiliki kandungan aflatoksin yang sangat tinggi, mencapai 150 PpB. Kadar air pun melebihi 26%. “Kami dikasih solusi. Jagung kalau sudah siap panen jangan langsung dipetik. Agak dimiringkan, terus dibiarkan kering di pohon. Setelah itu dikeringkan lagi pakai mesin drying,” lanjut Purwoto, “dulu kadar air 21% saja sudah dijual. Kami tahunya ya feeling saja, jagungnya digigit.”

Rencananya, Cargill akan memborong setidaknya 150 ton jagung tiap masa panen atau empat bulan. “Yang 12 ton sudah dibawa,” ungkap Agus Susanto, salah satu manajer LPA Pusur Lestari untuk Unit Produksi. “Saat ini kami baru bisa memenuhi sekitar seperlimanya,” Agus melanjutkan. Di sekitar Kecamatan Ceper sebetulnya terdapat 300 hektar lahan yang mampu menghasilkan 300 ton jagung. Namun diakui Agus untuk menghasilkan jagung sesuai keinginan Cargill tidaklah mudah.

Manajer Community Eco Centre Kali Pusur, Aris Budi Prasetyo mengatakan, “Dari 300 ton yang didampingi, 168 ton sudah berhasil.” Ia pun berharap ini akan menjadi langkah awal agar jagung mereka bisa memasuki pasar di segmen yang lebih baik.

“Sebetulnya minat petani sini itu besar, hanya yang muda yang susah diajak karena mereka masih pragmatis. Kerja di pertanian itu kurang keren, kalau kerja di pabrik itu pendapatannya lebih besar,” tutur Aris, Selasa (23/10).

Ditanya tentang pengaruh terhadap kesejahteraan keluarganya, Aris mengaku belum merasakan. “Tapi saya yakin setelah ini, kami bisa match mengikuti seleksi dari Cargill, mungkin akan terasa. Ini masih baru. Wong buat kami itu selisih harga Rp 100 saja sudah kacek (berarti) kok,” lanjutnya.

Diakui Racmat Hidayat, Corporate Affairs Director Cargill, bahwa masih ada tantangan yang harus dihadapi Cargill dan petani lokal. “Terutama di perlakuan paska panen, karena petani belum terbiasa dengan industri. Kalau sudah bekerja sama dengan industri kan spesifikasi tidak bisa dikompromi,” ungkapnya.

Meski demikian, potensi petani bekerja sama dengan industri sangat besar. “Mereka hanya perlu didampingi agar lebih sustainable, tidak hit and run. Awal komitmennya tinggi, tapi setelah banjir pergi,” pungkasnya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved