CSR Corner

Kelola Lahan Gambut dengan Tepat BisaTekan Emisi Karbon

Kelola Lahan Gambut dengan Tepat BisaTekan Emisi Karbon

Lahan gambut di Indonesia berpotensi menyumbang emisi karbon bagi dunia.

Pengelolaan lahan gambut yang tepat, dengan tersedianya peta gambut yang akurat merupakan salah satu upaya memenuhi target penurunan emisi karbon. Lahan gambut yang dikelola dengan benar bisa dimaksimalkan untuk perkebunan yang produktif.

Pemerintah RI telah menyadari pentingnya peta yang lebih akurat, dan bisa digunakan sebagai acuan bersama dalam menentukan sebuah kebijakan. Karena itu, tahun 2016 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2016, Tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1: 50.000.

Dalam upaya mendorong awareness perpres ini, berlokasi di Hotel Akmani Jakarta (31/10/2017) diadakan diskusi tentang pentingnya upaya restorasi dan konservasi lahan gambut dan pentingnya peta dengan akurasi tinggi untuk dijadikan acuan bersama para pemangku kepentingan yang terlibat. Pembina Yayasan Dr. Sjahrir, Dr. Kartini Sjahrir menuturkan Indonesia memiliki lahan gambut tropis yang luas.

“Lahan gambut tersebut dapat menyusut atau bahkan hilang. Karena itu, pemantauan lahan gambut secara periodik sangat diperlukan. Penyebab umum penyusutan lahan gambut di Indonesia, adalah pemanfaatan lahan gambut yang dikelola secara intensif tanpa mempertimbangkan kaidah konservasi tanah dan air. Padahal pengelolaan lahan gambut yang tepat merupakan salah satu upaya dalam memenuhi target penurunan emisi karbon,” terangnya.

Lahan gambut di Indonesia banyak ditemui di pulau-pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan dan Papua. Kebanyakan berada di daerah pesisir, hanya di Papua lahan gambut bisa ditemui di pegunungan. Tebal lahan gambut bisa mencapai 11 meter, dalamnya lahan gambut ini, menyebabkan sulitnya api dipadamkan jika terjadi kebakaran di lahan gambut kala musim kemarau. Ini bisa terlihat betapa ekonomi lumpuh dikarenakan kebakaran besar lahan gambut pada tahun 2015. Asap pun masuk ke dalam ruang hotel.

Menurut Deputi I bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut (BRG), Dr.Budi Satyawan Wardjama, BRG yang dibentuk pemerintah tahun 2016 dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan. Awalnya bekerja menggunakan data peta yang ada yang belum terupdate dan kurang memadai.

“ Ada 14 peta dan semua beda-beda, untungnya ada wali data peta tanah dan peta lahan gambut Balitbangtang Kementan. Tapi sayangnya data terakhir tahun 2011 dan belum terupdate,”ungkap Budi.

Ia menambahkan, dari peta indikatif yang ada dari KLHK (skala 1:250.000), BRG melakukan inventarisasi dan pemetaan ekosistem gambut, kemudian melakukan pemetaan skala besar dan melakukan identifikasi kondisi hidrotopografis, kerusakan gambut dan tutupan, serta sosio-ekonomis. BRG menggunakan teknologi LiDAR (Light Detection Ranging) yang dapat menghasilkan peta skala besar hingga 1: 2.500, dan mendapatkan detail kondisi yang bisa ditampilkan dengan pemodelan tiga dimensi.

Percepatan Pelaksanaan KSP pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000 bertujuan untuk terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal guna percepatan pelaksanaan pembangunan nasional.

Dalam aturan ini, pemerintah menargetkan penyelesaian peta-peta tematik bertahap sesuai rencana aksi percepatan kebijakan satu peta sampai 2019. Kebijakan satu peta bertujuan antara lain, memudahkan penyelesaian konflik, sampai tumpang tindih pemanfaatan lahan.

Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial (BIG), Dr.Ir.Nurwadjedi mengatakan BIG sudah menyelesaikan integrasi 63 peta di Kalimantan, dan target kerja BIG hingga akhir 2017 ini adalah integrasi data 82 peta di Pulau Sumatera, 81 Peta di Pulau Sulawesi, dan 79 peta tematik di Pulau Bali dan Nusa Tenggara. “ Kalau sekarang masih 1: 50.000, kedepan kita juga sudah merancang peta skala 1:5000,” ujarnya.

Kartini menegaskan, dalam membuat kebijakan apa pun pemerintah harus menggunakan data yang akurat, dan untuk memperoleh itu penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan dengan standar internasional sangat dibutuhkan,” tutupnya.

Untuk memetakan luasan dan ketebalan gambut, selama ini para ilmuwan menggunakan penginderaan jarak jauh, radar, dan pengukuran lapangan. Namun, belum ada metode yang disepakati bersama untuk mengukur ketebalan gambut. Tidak adanya kesepakatan ini telah menghambat upaya untuk membuat peta yang paling bagus, tepat waktu, dan kredibel yang dapat melacak perubahan luasan dan ketebalan gambut, serta emisi karbon terkait.

Untuk itu BIG bekerjasama dengan WRI juga mengadakan kompetisi Indonesian Peat Prize. Kompetisi ini mengajak para ilmuwan dari seluruh dunia untuk mengembangkan metode pemetaan luasan dan ketebalan gambut di Indonesia yang lebih akurat, cepat, dan ilmiah.

www.Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved