CSR Corner zkumparan

Penjamah Makanan Harus Divaksinasi Tifoid & Hepatitis A

Penjamah Makanan Harus Divaksinasi Tifoid & Hepatitis A
Di Indonesia, penyakit demam tifoid bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat

Demam tifoid (tifus) dan hepatitis A banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas yang mendalam dari higiene pribadi dan sanitasi lingkungan seperti, higiene perorangan dan higiene penjamah makanan yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat‐tempat umum (rumah makan, restoran) yang kurang serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat.

Beberapa penyakit dapat ditularkan melalui makanan / minuman (foodborne diseases), antara lain demam tifoid dan hepatitis A. Cara penularan adalah melalui fekal‐oral yang artinya makanan/minuman yang terkontaminasi feses (tinja) yang mengandung bakteri/virus dikonsumsi secara oral (dimakan/diminum) oleh konsumen.

Di Indonesia, penyakit demam tifoid bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata‐rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan kematian antara 0,6 ‐ 5 %1. Dewasa ini penyakit tifoid harus mendapat perhatian yang serius karena permasalahannya yang makin kompleks sehingga menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan.

Penyebab demam tifoid adalah kuman Salmonella Typhi. Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang tercemar dengan feses manusia. Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali (sehingga tidak terdiagnosis) dan dengan gejala yang khas (sindrom demam tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi.


Kejadian Luar Biasa (KLB) tifoid dilaporkan terjadi di berbagai daerah misalnya pada 2009 Januari hingga Oktober, sebanyak 2.700 kasus tifoid tercatat di Dinas Kesehatan Kota Pontianak. Jumlah kasus suspek demam tifoid di DIY pada tahun 2017 sebanyak 6,589 kasus dan pada tahun 2018 sebanyak 6,344 kasus.

Menurut Dr Kristoforus, dokter spesialis penyakit dalam dari Klinik Vaksinasi inHarmony, penyakit yang ditularkan melalui makanan cukup banyak ditemukan. Di Indonesia tidal ada rating atau penilaian rumah makan yang bersih. Awareness masyarakat juga masih rendah, bahkan yang sudah dinyatakan berisiko pun sulit melakukan vaksinasi.Vaksin Hepatitis A yang seharusnya diberikan dua kali, maka hanya sekali dilakukan. Padahal vaksin lengkap dua kali untuk perlindungan jangka panjang.

“Di lapangan, orang hanya peduli untuk vaksin pada bayinya karena merupakan program pemerintah. Sebaliknya, vaksin pada orang dewasa kesadarannya belum tinggi. Maka salah satu pendekatan adalah ke perusahaan-perusahaan untuk membuat program buat karyawan,” ujar Dr Kristoforus.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor 75/MENKES/SK/V/2003 tentang Persyaratan Higene Sanitasi Jasaboga, yang dimaksud dengan penjamah makanan adalah orang yang secara langsung berhubungan dengan makanan dan peralatan mulai dari tahap persiapan, pembersihan, pengangkutan dan penyajian.


Peran penjamah makanan sangat penting untuk pencegahan transmisi penyakit melalui penerapan keamanan makanan (food safety) yang sesuai standar. Selain itu, pemberian imunisasi/vaksinasi bagi penjamah makanan dapat dilakukan sebagai salah satu upaya pencegahan agar penjamah makanan tidak menjadi sumber infeksi.

Pemberian imunisasi pada penjamah makanan penting dalam upaya pencegahan. Meski demikian, upaya keamanan makanan (food safety) tetap harus dilaksanakan, seperti higene –sanitasi perorangan dan lingkungan, penerapan ABTKK (Analisa Bahaya dan Titik Kendali Kritis) serta upaya keamanan makanan lainnya.


Menurut pedoman pengendalian demam tifoid, Kemenkes RI No 364/MENKES/SKNI2006 pemberian vaksin tifoid pada penjamah makanan merupakan salah satu prioritas. Hepatitis A infeksi hepatitis virus merupakan sebuah fenomena gunung es, di mana penderita yang tercatat atau yang datang ke layanan kesehatan lebih sedikit dari jumlah penderita sesungguhnya.

Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, jumlah orang yang didiagnosis hepatitis di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan gejala‐gejala yang ada, menunjukan peningkatan 2 kali lipat apabila dibandingkan dari datatahun 2007. Infeksi hepatitis A disebabkan oleh virus hepatitis A, dan merupakan penyakit endemis di beberapa negara berkembang.

Penularannya melalui sumber penularan umumnya terjadi karena pencemaran air minum, makanan yang tidak dimasak, makanan yang tercemar, sanitasi yang buruk, dan rendah. Sekitar 2,9 juta, atau 1,2% penduduk Indonesia mengidap hepatitis menurut data tahun 2013.

Lima provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi secara berurutan adalah NTT, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Ace. Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah hepatitis B (21,8 %) dan hepatitis A (19,3 %).

Beberapa kejadian luar biasa KLB hepatitis A dilaporkan terjadi di berbagai wilayah Indonesia, misalnya di Bogor (Jawa Barat) pada tahun 1998; Jember dan Bondowoso (Jawa timur) pada tahun 2006; Tangerang pada tahun 2007, Yogyakarta pada tahun 2008 dan Ngawi (Jawa Timur) pada tahun 2009. Pada September 2018 KLB Hepatitis A di DIY dilaporkan terjadi pada 50 orang dan Januari 2019 pada 30 orang.

Hepatitis A juga telah menyerang masyarakat Pacitan, Jawa Timur, bahkan Bupati Indartato telah menetapkan status KLB pada 25 Juni 2019. Kementerian Kesehatan RI menduga KLB hepatitis A itu disebabkan karena air bersih yang tercemar. KLB Hepatitis A di Kabupaten Pacitan, tersebar di 9 Puskesmas, yakni Sudimoro, Sukorejo, Ngadirojo, Wonokarto, Tulakan, Bubakan, Tegalombo, Arjosari, dan Ketrowonojoyo. Total kasus 957 orang dan tidak ada kematian16. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur per Senin 1 Juli menyebutkan warga yang terinfeksi virus ini mencapai 975 orang.

Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan pengobatan yang baik berarti melaksanakan pencegahan yang baik pula. Kedua ungkapan ini berlaku juga untuk tifoid dan hepatitis A, di mana kegiatan pencegahan lebih efisien dan tanpa risiko yang membahayakan‭. Caranya, pencegahan ‭ ‬melalui ‭ ‬kebersihan ‭ ‬lingkungan, ‭ ‬terutama ‭ ‬terhadap makanan ‭ ‬dan ‭ ‬minuman serta menjalankanan ‭ ‬Perilaku ‭ ‬Hidup ‭ ‬Bersih ‭ ‬dan ‭ sehat ‭ ‬dan ‭ ‬dengan ‭vaksinasi‭1,2,4.. ‭ ‬Vaksinasi ‭ ‬penjamah makanan penting dilakukan untuk memberikan perlindungan diri dan mencegah penyebaran.

Satu ‭ ‬dosis ‭ ‬vaksin ‭ ‬tifoid ‭ ‬dapat ‭ ‬memberikan ‭ ‬perlindungan ‭ ‬minimal ‭ ‬dua ‭ ‬tahun, ‭ ‬pemberiannya diulangi tiap tiga tahun‬. Vaksin hepatitis A dua dosis dengan jarak 6‐12 bulan dapat memberikan perlindungan jangka panjang.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved