CSR Corner Corporate Action

Penyandang Hemofilia Butuh Dukungan Pemerintah

Penyandang Hemofilia Butuh Dukungan Pemerintah

IMG_0708

Memperingati hari Hemofilia sedunia pada tanggal 17 April 2015 , Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) dan Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) mengajak masyarakat Indoesia untuk lebih meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai hemofilia.

Di Indonesia, hanya 1 dari 24 penyandang hemofilia yang dapat terdiagnosis karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan terhadap gejala dan penanganannya. Hemofilia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan dari ibu.

Kelainan darah yang dimaksud adalah tidak adanya faktor pembekuan darah, yaitu protein pembekuan darah yang berfungsi untuk membekukan darah saat terluka. Terdapat 2 tipe hemofilia. Pertama hemofilia tipe A, yaitu kurangnya faktor 8, jumlah penderitanya sebanyak 83%. Kedua hemofilia tipe B, yaitu kurangnya faktor 9, jumlah penderitanya lebih sedikit dibanding tipe A, yaitu sebanyak 17%.

Sebagian penyandang hemofilia adalah laki-laki, sedangkan perempuan bertindak sebagai pembawa dan penerus gen hemofilia. Penyakit ini merupakan penyakit katastropik, yaitu tidak bisa disembuhkan dan pengobatannya berlangsung seumur hidup.

Populasi penduduk Indonesia tahun 2014 lalu sekitar 250 juta jiwa. Perkiraan penyandang Hemofilia di Indonesia adalah 25 ribu jiwa, namun hanya 1.025 jiwa saja yang berhasil terdiagnosis Hemofilia. Prof. dr. Djajadiman Gatot, SpA (K), Ketua HMHI mengatakan hal ini terjadi karena kurangnya fasilitas dari pemerintah untuk mendiagnosis Hemofilia, sehingga mengakibatkan pasien terlambat atau bahkan tidak terdiagnosis.

Di Indonesia sendiri masih banyak tantangan mengenai Hemofilia. Dari segi medis, kurangnya tenaga medis dan fasilitas untuk mendiagnosis Hemofilia. Selain itu dosis faktor 8 dan 9 concentrate tidak mencukupi kebutuhan dan harganya sangat mahal. Infeksi yang terjadi setelah transfusi darah kerap terjadi, seperti penularan Hepatitis B, C dan HIV.

Dari sesi psikologis, terdapat stigma dari keluarga dan masyarakat. Prof. dr. Djajadiman mengatakan “pasien dan keluarga perlu mendapatkan pengetahuan yang mendalam agar mereka memahami betul dan mengerti bagaimana menghadapi penyakit ini. Pengobatan dan perwatan hemophilia ini berlangsung seumur hidup, sehingga menganggu rutinitas sehari-hari. Terutama bagi penyandang hemophilia anak-anak. Jadi, mereka sangat membutuhkan dukungan keluarga agar dapat tumbuh dewasa dengan normal,”

“Penyandang hemophilia itu manusia normal kok. Meskipun aktivitas fisiknya terbatas untuk menghindari benturan atau luka. Mereka bisa bekerja, kuliah, menikah, dan mempunyai anak,” kata DR. Dr. Tubagus Djumhana Atmakusuma, SpPD-KHOM, PTHDI. Pengobatan hemofilia melalui pemberian faktor konsentrat VIII, IX atau faktor VII membutuhkan biaya yang sangat tinggi tergantung kondisi perdarahannya. Sebagai gambaran, pengobatan faktor 9 untuk penyandang hemophilia dewasa dengan pendarahan ringan membutuhkan 5 veil (500 iu) untuk waktu 1X24 jam. Harga 1 veilnya adalah Rp 6 juta, jadi untuk 5 veil membutuhkan Rp 30 juta. Dan jika pendarahan masih berlanjut maka prosesnya akan diulang kembali. Satu-satunya asuransi yang menanggung biaya perawatan hemofilia adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS.

Peringatan hari Hemofilia Sedunia yang diadakan pada 17-19 April 2015 di Hotel Aryaduta Karawaci ini mengajak keluarga dan lingkungan sekitar untuk meringankan beban anggota keluarga penyandang hemofilia ketika menjalani pengobatan dan menghadapi tantangan sepanjang hidupnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved