Editor's Choice Entrepreneur

Anak Muda Perintis Bisnis Sofa Beanbag

Anak Muda Perintis Bisnis Sofa Beanbag

Menggeluti bisnis yang belum banyak pemainnya tidaklah mudah. Di satu sisi menjadi peluang pasar yang menjanjikan, tetapi di sisi lain perlu kerja keras untuk membangun pasarnya. Kondisi ini dialami Gary Sangitan ketika membesut bisnis beanbag dengan merek Bottom Dock (BD) Beanbag. Melihat ceruk pasar yang masih menganga lebar, pria kelahiran Jakarta 8 Februari 1989 ini agresif menjajakan produknya agar digandrungi pelanggan.

Gary Sangitan

Gary Sangitan

Beanbag adalah sofa tanpa rangka yang bisa diduduki secara fleksibel mengikuti lekuk tubuh penggunanya sehingga nyaman diduduki. Kursi yang material isinya menggunakan biji styrofoam itu sangat cocok dipakai sebagai sofa untuk bersantai ria. Apalagi, warnanya beragam sehingga tambah menarik. Membuka bisnisnya pada April 2012, hingga saat ini Gary sudah menciptakan belasan varian beanbag, di antaranya Alona, Classic, Triangle, Bigsofa, Ottoman dan Little Menhir.

BD Beanbag besutan Gary pun diserap pasar. Selain pelanggan perorangan, produk tersebut juga diminati pelanggan perusahaan. Sebut saja, Café Jimbaran Deck di Intercontinental Midplaza Hotel, Jakarta; Brainstorming Room Allium Airport Hotel, Tangerang; Telunas Beach Resort, Batam; dan Omah Gili Resort, Lombok. Kini lulusan Bisnis Administrasi Universitas Atma Jaya Jakarta ini sanggup memproduksi 40 unit beanbag per bulan dengan harga Rp 375 ribu-3,3 juta/unit.

Sejatinya tidaklah mudah bagi pria berkaca mata ini untuk bisa mengibarkan bisnis beanbag. Maklum ia membesut bisnis ini saat baru lulus kuliah di 2011. Belum banyak pengalaman bisnis yang ia miliki. Namun, karena mempunyai niat yang kuat jadi pengusaha akhirnya terbukalah jalan baginya untuk fokus membesarkan BD Beanbag. Hal ini pun didukung latar belakang keluargnya. Ayah Gary, Tony Sangitan, adalah pengusaha garmen yang juga turut membentuk Gary menjadi pengusaha. Saat awal mendirikan bisnisnya, sang ayah turut membantu. “Sebagai orang tua, saya membebaskan anak saya mengikuti insting bisnis yang ingin dijalankan. Tetap saya pantau pada awalnya dan sekarang pun masih,” ujar Tony.

Gary Sangitan2

Sejatinya, Gary membulatkan tekad terjun menggeluti bisnis beanbag setelah jalan-jalan ke luar negeri, saat masih menganggur setelah lulus kuliah. Ia melihat, banyak beanbag di luar negeri yang dibuat ala kadar-nya. Hal ini mendorong dirinya membuat beanbag yang modelnya sesuai dengan selera pasar. “Akhirnya, saya bulatkan tekad membuat Bottom Dock,” ujar Gary yang mulai memproses pada akhir Desember 201.”Saya mulai menyusun rencana, memikirkan brand, dan sebagainya,” lanjut Gary yang kebetulan mendapat ilmu pemasaran dalam kuliahnya.

Tahun pertama memulai bisnis, Gary masih bergantung pada pegawai garmen ayahnya. Jadi, untuk tenaga produksi ia masih meminta tolong karyawan sang ayah. Namun, sekarang sudah memiliki karyawan sendiri. Masalah desain, pria yang memiliki kerja sampingan sebagai fotografer ini dibantu seorang desainer yang mampu menuangkan kreasi Gary ke dalam sebuah desain yang siap diproduksi.

Untuk mempromosikan produk, Gary banyak memanfaatkan media sosial. Sebagai generasi muda, ia menilai media digital akan menjadi jalan ampuh mendekati pasar. “Pertama kali jual, dalam sebulan terjual 10 saja sudah hebat banget. Itu pertama jualnya di pertemuan keluarga. Saya bilang, diskon nih, yang penting lu beli, barang keluar dan orang tahu brand Bottom Dock,” ujarnya mengenang.

Para pelanggan itu kemudian ia foto, tentu saja bersama beanbag-nya. Foto-foto itulah yang diunggah di Facebook (FB) karena waktu itu Gary belum memiliki website sendiri. Selain di FB, Gary pun agresif menjual produknya secara online melalui situs Kaskus. “Di Kaskus kan jualan kita bisa dikatakan bagus kalau sudah direkomendasikan. Dari situ saya berikan diskon gede-gedean 10% beli dan gratis antar ke Jakarta,” ujarnya mengungkap strategi penjualannya.

Selain berpromosi melalui media online dan media sosial, Gary juga rajin mengikuti sejumlah pameran. Terakhir, ia mengikuti pameran Handmade Movement di Lotte Avenue, Ciputra World, dan bazar para ekspatriat.

Pesanan pun mulai berdatangan. Ketika Gary belum memiliki workshop di Jakarta Selatan seperti saat ini, ia banyak menerima pesanan secara online. Namun, terkadang ada pelanggan yang ingin melihat dulu produknya. Nah, karena waktu itu belum memiliki workshop, Gary rajin menyambangi rumah per rumah calon pelanggan sambil membawa contoh produk, sekaligus menampung apa yang menjadi keinginan calon pelanggan karena produknya bisa dipesan secara customized.

Ia menargetkan dalam jangka pendek bisnisnya bisa meningkat 25%. Adapun untuk jangka panjang dalam 1-2 tahun lagi harus jadi pemimpin bisnis beanbag di pasar Indonesia dan kalau bisa di Asia. “Dan ada rencana mau ekspor juga. Tujuan pertama ke Belanda, karena memang ada kakak saya di sana. Jadi, saya mau buka pasar ke sana,” ungkap Gary tentang obsesinya.

Sang ayah pun berpesan agar Gary terus berinovasi untuk mendapatkan ide baru dan menciptakan produk-produk penunjang lainnya yang sejalan dengan ide awal pengembangan bisnis beanbag. Kemudian, terus memperluas jaringan yang sudah ada agar bisa mendapatkan posisi istimewa di mata konsumen. “Hal penting lainnya adalah jangan pernah malu untuk terus belajar, tidak hanya kepada orang tua atau orang dekat, namun juga kepada pebisnis lain, orang asing ataupun pesaing yang memang memiliki kemauan lebih di atas kita,” kata Tony.(***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved