Editor's Choice Entrepreneur

Bali Treasures, Eksportir Alat Musik Unik

Bali Treasures, Eksportir Alat Musik Unik

Satu lagi perusahaan Indonesia yang mendunia. Adalah Bali Treasures yang dikenal sebagai eksportir produk unik, yakni pembuatan hand percussion. Produknya, antara lain, drum yang terbuat dari pipa PVC (paralon). Produknya dieskpor ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan kawasan Asia. Pemain besar alat musik di Amerika, seperti Latin Percussion dan Toka, serta Minel (Jerman) menjual produk Bali Treasures dengan merek mereka sendiri. Bagaimana lika-liku Bali Treasures mengembangkan bisnisnya, sehingga perusahaannya mampu menyedot devisa hingga US$ 25 juta per tahun? Anak Agung Alit Kartini, pemilik Bali Treasures mengungkapkannya kepada Ria Efriani Pratiwi:

Bali TReasures

Usaha Anda bergerak di bidang apa?

Kami bergerak di bidang pembuatan hand percussion, dan alat-alat musik kecil juga. Jadi bahan baku kami adalah kayu, tapi semenjak 2003, saya sudah mengembangkan dari bahan pembuatannya dari kayu ke (pipa) PVC. Karena kami ingin menekan pemakaian kayu, jadi kami tidak mau memakai kayu 100%, jadi kami sudah berinovasi dengan membuat bahan dari PVC. Dan ini sudah kami patenkan di Indonesia, AS, Cina, Jepang, Eropa, dan Thailand, untuk jaga-jaga supaya kami tidak kecolongan oleh Cina dan negara-negara lain. Produk kami lebih banyak ke (alat) musik.

Saya usaha ini bersama suami. Modal awalnya dari kocek kami sendiri, yaitu total cuma Rp16 juta; untuk kontrak art shop Rp 8 juta, dan beli barang Rp 8 juta. Pegawainya hanya saya dan suami saya, usaha kami berjalan. Karena seminggu setelah kami buka itu, ada tamu yang order barang saya 1.000 buah, yang mana harga didgeridoo (alat musik tiup suku Aborigin Australia) waktu itu Rp70 ribu per buahnya, dengan harga produksi yang hanya Rp 35 ribu. Jadi waktu itu saya masih dapat marjin 100%.

Alat musik apa yang lebih banyak diproduksi?

Kami lebih banyak memproduksi drum (jembe, yang dipukul dengan tangan), yang bisa sampai ribuan jumlahnya. Satu kontainer itu, kalau diisi drum, bisa sampai 1.500 sampai 2.600 buah. Drum yang kami kirim untuk ekspor itu, sudah ada kulit atau sarungnya. Tapi ini tergantung permintaan buyer, kalau dia mau diukir (luar drumnya), ya kita ukir; kalau dia mau dilukis, kita lukis; kalau dia minta sarung, kita kasih sarungnya.

Dalam sebulan itu bisa memproduksi berapa drum? Atau tergantung pesanan dari buyer ya?

Kalau bisa sebanyak-banyaknya. Tapi saat ini kendala kami salah satunya kan di tenaga kerja. Kalau mereka kami push sampai lembur dan sebagainya, itu jadi kendala juga buat kami. Karyawan kami sendiri ada 392 orang. 90% karyawan saya adalah orang-orang yang bermukim di sekitar rumah saya, yang menjadi lokasi pabriknya juga.

Kalau soal harga, drum yang besar itu kami jual Rp700 ribu per buahnya untuk yang wholesale atau grosir, sedangkan untuk yang ritelnya kami jual Rp1,4 juta per buah. Sementara yang untuk limited edition (drum yang ada ukiran khas Balinya) bisa kami jual antara Rp1,5 juta sampai Rp2,5 juta. Lalu, ada juga yang lebih mahal yakni hang drum, yang bisa kami jual sampai Rp10 juta per buahnya. Ini karena hang drum tersebut itu buat dari sisa-sisa drum. Tapi itu bukan tempat saya yang mengerjakan, melainkan kami membelinya dari home industry lain.

Ekspornya itu lebih banyak ke negara-negara di benua mana saja; apakah AS, Eropa, atau lainnya?

Hampir sama (banyaknya ekspor ke AS dan Eropa). Ke Asia (misalnya Cina dan Jepang) juga banyak. Jadi market-nya itu AS, Eropa, dan Asia. Jadi kami sebenarnya sudah mengekspor ke lebih dari 75 negara, dan rata-rata kami kirim itu 20 sampai 25 kontainer sebulan. Kalau setahun dikalikan saja dari jumlah kontainer per bulan itu. Satu kontainer itu bisa berisi antara 1.500 sampai 2.000 buah drum, tergantung dari besar-kecilnya kontainer itu. Kalau 20 pit itu 1.000-1.500 buah. Kalau 40 sampai 40 high cube itu sekitar 2.600 kapasitasnya. Jadi rata-rata ekspor kami per tahunnya US$25 juta, dan akhir tahun lalu ekspor kami juga kurang lebih sebesar itu.

Untuk tahun ini, apakah ekspor perusahaan Anda ditargetkan naik juga? Dan sampai semester pertama 2013, nilai ekspornya sudah berapa?

Kita targetkan kalau bisa naik di tahun ini. Sejauh ini (sampai bulan September 2013), nilai ekspor kami sudah hampir mendekati US$25 juta tersebut. Tahun ini, kami juga menargetkan ingin bisa mengirim 28 sampai 29 kontainer per bulannya.

Tadi kan Anda bilang kalau sekarang ada perubahan dari bahan pembuatan dari kayu ke PVC. Jadi kalau dilihat secara kualitas, bagaimana PVC bisa dibandingkan dengan kayu?

Itu hampir sama. Malah lebih bagus PVC. Karena itu tahan pecah, biar dibanting atau apa, tidak masalah. Jadi kekuatan materialnya kalau PVC itu lebih luar biasa daripada kayu. Kayu itu kan riskan sekali, kalau kita tidak open (dari packaging dalam kontainer), maka dia akan moulding atau pecah kalau sampai di luar negeri. Kalau PVC, begitu kita beli dari distributor, sudah langsung bisa kita bentuk dan kerjakan. Jadi itu sudah bisa langsung kita proses, amplas, dan sebagainya.

Kalau diekspor ke luar negeri seperti itu, ketika dijual lagi oleh pihak sana, pakai merek Anda sendiri atau merek mereka?

Itu pakai brand customer kami. Tapi kami sendiri juga punya brand yang namanya Drum Factory. Dan ini sekarang baru dipasarkan di Indonesia, karena kami sudah punya paten di Indonesia. Yang ambil merek kami (sendiri) ini adalah MG Music dari Indonesia. Kalau yang kami ekspor itu memang khususnya yang merupakan brand permintaan dari vendor kami. Tapi sebenarnya brand kami sendiri, Drum Factory, juga diekspor. Jadi seperti buyer-buyer besar, mereka sudah punya brand sendiri, dan mereka meminta kami untuk memakai brand mereka. Tapi untuk buyer-buyer kecil seperti yang mintanya hanya satu sampai dua kontainer, maka itu memakai brand kita. Jadi dari buyer atau merek kecil (campur-campur, ada di seluruh dunia negaranya) itu hanya berkontribusi 10% dari keseluruhan penjualan produksi kami.

Merek besarnya apa saja?

Toka, Latin Percussion (LP), dan Minel. Toka dan LP adalah merek dari AS. Sedangkan Minel dari Jerman.

Bagaimana cerita awalnya dulu itu bisa memiliki perjanjian dengan mereka sebagai buyer?

Pertama, buyer saya itu Toka, dan mereka lihat website kami; ini sekitar tahun 2000. Terus kita lewat email komunikasinya. Setelah dari email, terus mereka order ke kita. Kita dicoba dulu antara dua sampai tiga bulan, nah, setelah itu turun purchasing order (PO) penuh untuk setahun. Setelah itu, Minel yang juga brand besar, juga melirik produk kami, dan juga mau beli dari kami.

Dari merek-merek besar yang tadi disebutkan, mana yang menjadi buyer terbesar Anda?

Yang Common Music Corporation, dari AS, yang merupakan produsen Toka. Produk mereka semua dari Bali Treasures. Boleh dibilang, kalau Toka itu 90% adalah produk kami. Sedangkan Minel, 30%-35% dari merek drumnya adalah produksi dari kami. Secara kontribusi terhadap keseluruhan penjualan produk kami, Common dengan brand Toka-nya berkontribusi sebesar 60%, Minel 20%, dan yang kecil-kecil itu 10%-20%. Dari semua produk yang kami kirim ke mereka, yang berbeda antara satu sama lain kebanyakan ya dari desainnya, sedangkan bentuknya hampir sama.

Perkembangan ekspor perusahaan Anda seperti apa sampai saat ini? Apakah terus bertumbuh daripada tahun-tahun sebelumnya?

Jadi tidak ada masalah (ekspor). Dari dua kali bom Bali, krisis ekonomi 2008, tidak menimbulkan masalah berarti bagi kami. Jadi syukur, perusahaan kami ini berkembang dengan baik.

Apa tantangan yang Anda hadapi selama menjadi eksportir sampai saat ini?

Tantangan ada di bahan baku ya. Terutama kayu, makanya kami berusaha menekan pemakaian kayu seminim mungkin, dengan beralih ke PVC. Dan kami sudah menjelaskan kepada buyer kami tentang susahnya mendapatkan kayu, dan sebagainya, jadi kami menggunakan PVC ini mulai dari 2003. Bali Treasures ini sendiri berdiri tahun 1998, dan kita masih pakai (bahan baku) kayu sampai 2003 itu. Memang produksi kayu sekarang ini berkurang sekali, jadi kami sekarang pakai kayu hanya 20%-25% dari keseluruhan produksi kami. Kalau dulu (pakai kayu) 100%, sekarang 75% produk kami memakai PVC.

Kami memang tidak terlalu kesulitan untuk memproduksi drum dari PVC. Sedangkan di negara lain belum ada yang bisa bikin dari bahan PVC seperti kami. Karena sejak kami menciptakan produk dari PVC ini, sudah berbagai orang mencoba, tapi mereka tidak menemukan metode seperti yang kami pakai. Itu kami bersyukur sekali. Kami perlu waktu setahun dalam mencoba produksi menggunakan PVC tersebut, supaya jadi produk yang benar-benar kuat. Karena pertama kali kami pakai, pipanya meleleh, jadi memang (waktu itu) banyak kendala di lapangan.

Memang Anda mendapatkan atau membeli PVC-nya dari mana?

Ada distributor PVC di Denpasar, yaitu Maspion. Kami memakai yang merek Wavin, karena ketebalannya yang lebih tebal untuk dipakai sebagai drum. Kami beli (PVC)nya per truk; satu truk bisa berisi sampai 500 batang PVC. Per bulan itu, bahan baku kita bisa mencapai nilai Rp200 juta. Batangan PVC itu ada yang besar dan kecil, jadi harganya ada yang paling mahal Rp300 ribu per batang, ada yang Rp200 ribu, lalu harga yang di bawah itu. Karena kami minta ketebalan yang spesial.

Anak Agung Kartini,

Anak Agung Alit Kartini,pemilik Bali Treasures

Jadi itu PVC-nya dilebur atau bagaimana proses pembuatannya?

Ya, kurang lebih seperti itu. Tapi saya tidak bisa menjelaskan itu lebih lanjut, karena menyangkut paten kami.

Sejauh ini, menurut Anda, pasar ekspor itu semenarik apa; khususnya untuk alat musik seperti ini? Lalu persaingannya dengan produsen/eksportir lain seperti apa?

Sejauh ini, kami tidak dapat persaingan begitu banyak. Karena produk kami itu benar-benar unik, dan di Indonesia sejauh ini belum ada perusahaan yang membuat drum dalam scope yang sebesar kami. Di samping itu, kualitas barang kami itu benar-benar kami jaga. Jadi jika dibandingkan dengan kualitas-kualitas produk orang lain, punya kami jauh lebih bagus. Kalau boleh kami bilang, Bali Treasures ini sudah sangat terkenal, khususnya di dunia musik, baik di AS maupun seluruh dunia.

Dulu asal muasalnya ingin memproduksi perkusi, khususnya drum, itu kenapa?

Dulu, pertama kali, kami bergerak di bidang handycraft. Kami jual keramik, dan lain-lain. Tapi lama-kelamaan, kami banyak dapat input dari buyer kami, kenapa kamu tidak spesifik jual (alat) musik saja. Jadi dari sanalah mulai saya dan suami membeli drum dan didgeridoo, dan dijual lagi ke customer. Tapi lama-lama costumer mulai komplain bahwa mutu barang yang saya jual tidak bagus. Hal itu karena dulu saya belinya semacam trading. Nah, akhirnya saya bikin tempat produksi sendiri, sehingga hasil produksinya jauh lebih tinggi kualitasnya (daripada membeli dari orang lain). Karena pada saat kami mengerjakan produk kami itu, pada setiap langkahnya, baik dari pemotongan, pembersihan, bubut, dan sebagainya, kami lakukan quality control.

Untuk ke depannya, apa Anda ada keinginan untuk membuka pasar ekspor baru?

Kami, pada dasarnya, sudah (ekspor) ke semua negara ya. Misalnya Rusia, Malta, Israel, Barbados, Slovenia, juga sudah kami masuki. Bahkan itu negara-negara yang saya tidak tahu, ha..ha..ha.

Berarti dari pemerintah sendiri tidak begitu mempersulit bagi eksportir ya?

Kalau kami tidak pernah mengalami hambatan berarti dari sisi pemerintah. Kami malah banyak dibantu, misalnya dari pembuatan form A, dan lain sebagainya.

Kalau proses pengiriman ekspornya sejauh ini bagaimana? Apa langsung dari Bali, atau dikirim ke Jakarta dulu?

Tergantung. Kalau untuk menekan cost, ya lewat Surabaya (atau tidak ke Jakarta). Karena lebih dekat. Kalau misalnya 40 sampai 40 high cube itu yang lewat Surabaya. Tapi yang 20 pit itu kita kirim langsung dari Bali. Kami pakai truk yang ada di Bali untuk mengirim ke Surabaya.

Apa keunggulan dari produk Anda sendiri, sehingga bisa menjadi pemain cukup besar di pasar ekspor alat musik perkusi ini?

Keunggulan produk kami itu, pertama unik, kedua kami selalu lakukan quality control sehingga kualitas barang kami benar-benar terjaga. Di samping produk ini bisa dipakai untuk main musik, juga bisa dipakai sebagai drum circle untuk manula, selain itu juga bisa untuk anak-anak di sekolah.

Strategi unik apa yang Anda lakukan untuk menembus pasar ekspor?

Strategi kami ya di kualitas itu. Kalau kami dikritik para buyer, kami terima. Itu kami pakai sebagai pengalaman dan pembelajaran. Karena dulu, terus terang, ketika kami kirim satu kontainer, barang saya itu moulding. Jadi setiap hari saya belajar dan belajar, juga terus berinovasi untuk membuat hal-hal unik. Waktu satu kontainer itu moulding, saya berpikir bagaimana caranya supaya tidak terjadi lagi, maka saya bikin oven. Waktu pertama kali bikin oven itu, kami pakai kayu bakar, lalu (pakai) gas, dan lama-lama kami sudah memakai tenaga matahari.

Kalau dulu itu bagaimana caranya membuka jaringan ke luar negeri?

Kami kan punya website dan email. Lalu kami datang ke show atau pameran juga. Tapi kami memang tidak ada kenalan khusus di luar negeri. Jadi waktu pertama kali customer datang ke art shop saya, dan setiap hari ada yang datang, jadi promosinya lebih melalui mulut ke mulut. Memang kebanyakan yang datang ke art shop kami adalah buyer. Jadi waktu itu, posisi art shop saya ada di Tegalalang; kebetulan sekali waktu nilai US$ meningkat pada 1998, dan Soeharto turun sebagai Presiden, nah, itulah momen untuk perusahaan saya. Banyak buyer yang datang ke tempat saya, dan memesan didgeridoo sampai 1.000 buah. Dari sanalah awal mulanya. Yang menjadi buyer kami, pada awalnya, berasal dari banyak negara, misalnya Perancis, Inggris, AS, dan lain-lain. Mereka tertarik terhadap produk kami, karena waktu itu cara penjualan produknya adalah kita jejerkan di jalan, jadi mereka langsung tertarik untuk masuk ke art shop kita.

Lalu, Anda sering berpartisipasi di pameran yang mana?

Itu saya ke sana cuma melihat, karena saya tidak punya stand, tapi buyer besar tersebut yang bikin stand. Jadi saya ikut di sana hanya untuk melihat bagaimana perkembangan produk kami di sana. Kalau di Indonesia, kami pernah ikut pameran yang diadakan BRI, Gugus Kendali Mutu (GKM). Sementara yang di luar negeri itu, kami pernah ikut serta Music My Say yang di AS, Frankfurt (Jerman), dan sebuah pameran di Shanghai, Cina. Pameran-pameran di luar negeri itu memang khusus pameran (yang berhubungan dengan) musik, sedangkan yang di Cina boleh untuk semua produk, tapi ada satu bagian yang khusus musik.

Ada inovasi untuk produk baru tidak untuk ke depannya?

Kami sedang membuat didgeridoobox, swirldidgeridoo, yang kalau bisa akan kami buat dari bahan PVC juga.

Bisa dijelaskan lebih lanjut soal ukiran yang ditampilkan pada luaran drum yang Anda produksi tersebut?

Kami memang fokus kepada ukiran Bali, dan sudah kami buat dari dulu. Jadi kayak (ukiran) Rama-Shinta, yang mana pengerjaannya rumit sekali. Selain ukiran Rama-Shinta (yang menceritakan epik Ramayana) , kami juga buat (ukiran) topeng, The Village (yang menceritakan bagaimana kehidupan orang kampung di Bali), dan lain-lain. Untuk ukiran khas Bali ini adalah inisiatif kami sendiri, kemudian baru kami coba tawarkan kepada customer. Kalau yang seperti ini kan limited edition, karena pembuatannya susah dan memakan waktu lama, jadi itu (produk alat musik yang dihias dengan ukiran khas Bali) pergerakannya untuk ekspor tidak begitu banyak, dan justru yang produk dari PVC itu yang banyak diekspor. Karena yang PVC itu hanya kita kasih kain sarung di luarnya. Tapi cover-nya tetap pakai kulit kambing, yang kami dapat dari Jawa. Kalau kulit kambing sih dapatnya tidak masalah, kayu saja yang susah.

Dukungan seperti apa yang Anda harapkan dari pemerintah supaya terus bisa mengembangkan ekspornya?

Kalau untuk pemerintah, saya harap mereka bisa mempermudah pengadaan bahan baku. Terus (harga) bensin juga tidak naik terus. Karena kalau bensin naik, semua bahan juga ikut naik harganya. Jadi sejak bensin naik di tahun ini, saya juga sudah kelimpungan. Lalu, pemerintah juga harusnya bisa mempermudah perizinan ekspor, serta harus lebih mensosialisasikan lagi kalau ada peraturan-peraturan baru mengenai ekspor. Jadi kalau ada peraturan baru, sebaiknya disosialisasikan selama enam bulan atau setahun sebelum diterapkan. Kalau dari Pemda biasanya kooperatif kepada eksportir seperti kami, sedangkan aturan-aturan baru itu kan datangnya dari pemerintah pusat.

Misalnya aturan tentang Nomor Induk Kepabeanan (NIK) dan SPLK. Kalau SPLK itu sebenarnya berdasarkan permintaan dari buyer, karena mereka ingin tahu dan bisa melacak asal sumber dari kayu atau bahan-bahan lain yang kita pakai. Jadi pemerintah pusat harus lebih aktif mensosialisasikan peraturan tentang ekspor, karena kan kalau ekspor itu tidak hanya berhubungan dengan satu lembaga saja, tapi beberapa misalnya Bea Cukai, Kementerian Perdagangan, dan sebagainya. Sementara pajak ekspor itu 0%, dan ini sangat-sangat membantu bagi kami eksportir. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved