Editor's Choice Youngster Inc. StartUp

Berempat Besarkan Bank of Blood

Berempat Besarkan Bank of Blood

Sebuah nilai pembeda yang mencuat dalam bisnis menjadi jurus ampuh agar cepat dikenal masyarakat. Begitu pun yang dilakukan oleh empat anak muda lulusan Unversitas Pelita Harapan Jakarta yang mengibarkan bendera Bank of Blood. Melihat namanya jangan disangka bisnis mereka adalah bisnis berbau darah atau terkait dunia kedokteran. Bisnis mereka adalah bisnis minuman susu dengan keunikan pada kemasannya yang berbentuk seperti kantong darah.

Jessica Meilya & Aldrich Zuriel

Jessica Meilya (kiri) & Aldrich Zuriel

Ada 7 varian rasa minuman susu fresh warna-warni yang ditawarkan Bank of Blood. “Sebenarnya dari konsepnya sendiri bisa diisi jus atau teh, tapi kami mengisinya dengan susu, kami membuat susunya ini punya warna yang mirip darah. Pewarnanya sendiri hanya menggunakan essense tanpa tambahan apa pun,” ujar Aldrich Zuriel, pendiri Bank of Blood bersama tiga temannya, yaitu Mega Febriyanniety, Jesslyn Juventia, dan Jessica Meilya. Keempatnya rata-rata berusia 22-23 tahun.

Karena bisnisnya masih tergolong baru sejak Agustus 2015, maka dalam pemasarannya lebih banyak mengikuti dari bazar ke bazar dalam sebuah kegiatan plus dipromosikan melalui media sosial seperti Instagram. “Kalau dari bazar ke bazar kan orang masih penasaran terus, jadi mereka masih mau datang. Konsep Bank of Blood ini kan sebenarnya jatuhnya musiman,” ujarnya memberikan alasan.

Hasil penjualan dari bazar ke bazar pun tergolong memuaskan. Tentu saja angka penjualannya tidak menentu bergantung pada acaranya seperti apa, lokasinya di mana, dan waktunya kapan. “Kalau lagi bagus, kami bisa jual sampai 4 ribu kantong per event. Tapi rata-rata 1.000-an kantong per event, biasanya satu event itu bisa 3-4 hari,” katanya. Sementara omsetnya bisa dihitung. Penjualan 1.000 kantong atau 4 ribu kantong per acara dikali Rp 35 ribu (harga per kantongnya) sehingga omsetnya bisa mencapai Rp 35 juta atau 140 juta per acara. Dan pastinya dengan omset sebesar itu bisnisnya sudah balik modal dalam tempo cepat.

Sejatinya, bisnis empat sekawan ini masih tergolong bisnis rumahan. “Kami produksi rumahan. Dulu produksinya berempat saja. Malamnya bikin susu sampai subuh, paginya jaga bazar, kerja rodi pokoknya. Kalau sekarang sudah ada karyawan, ada pekerja 5-7 orang khusus untuk membuat susu,” katanya sambil menjelaskan kalau produk susunya hanya bisa bertahan satu hari, sedangkan kalau disimpan di kulkas bisa sampai tiga hari.

Untuk membangun bisnis ini, keempatnya patungan modal awal, baik dari kantong sendiri maupun dari orang tuanya. Total modal awal yang terkumpul mencapai Rp 50-70 juta. Modal awal ini digunakan untuk membeli berbagai perlengkapan, termasuk bahan baku kemasan produknya dari luar negeri dan untuk membayar biaya bazar. Untuk bahan minumannya semua berasal dari lokal.

Agar bisnisnya bisa berkembang, mewaralabakan Bank of Blood menjadi salah satu pilihan. “Sekarang baru ada franchisee di Surabaya dan baru di sana. Kami ajarkan semuanya. Kami berikan bahannya, jadi kami bertindak sebagai pemasok,” kata Aldrich. Pihaknya pun belum ada rencana membuat gerai permanen untuk Bank of Blood, karena masih disibukkan dengan selalu mengikuti berbagai bazar yang ada di Jakarta. Meski demikian, keinginan membangun kafe atau restoran selalu ada. Hanya saja, konsepnya tidak akan terkait dengan Bank of Blood.

Pesaing pun mulai bermunculan. Lucunya, kadang dalam sebuah bazar bertemu dengan pesaing. “Syukurnya sampai sekarang masih banyak orang yang mencari yang original atau pertama. Kami tertolong sebagai merek pertama yang membawa konsep ini dan menjadikan konsumen hafal. Jadi meskipun di beberapa acara bertemu dengan pesaing, kami masih dicari oleh banyak orang,” ujarnya bangga.

Yoris Sebastian, pengamat inovasi bisnis melihat bahwa Bank of Blood itu unik, sehingga jadi bahan pembicaraan atau word of mouth. “Sekarang kuncinya ada di produk. Produknya harus benar-benar enak. Kalau sudah enak, terus tingkatkan kualitasnya. Banyak merek yang unik tapi kemudian rontok bukan karena tidak ada prospek masa depan, melainkan karena kualitasnya tidak bagus. Jadi walau sudah kuat di WOM, kualitas harus terus ditingkatkan,” ujarnya memberikan masukan

Kalau Bank of Blood benar-benar ingin berkiprah di bisnis makanan, peluangnya besar sekali ke depan. “Dengan popularitas yang mereka miliki, harusnya mereka bisa mencari investor untuk pengembangan bisnis mereka,” ujarnya. Berbisnis di usia muda pun tidak masalah selama rajin belajar dan jangan pernah berhenti berinovasi.

Dede Suryadi dan Aulia Dhetira


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved