Editor's Choice Entrepreneur

Bisnis yang Lahir dari Ide Gila Anton Wirjono

Bisnis yang Lahir dari Ide Gila Anton Wirjono

Kreativitas Anton Wirjono tak hanya menggoyang pasar. Tapi menciptakan pasar dan menciptakan tren. Mulai dari event hingga ritel yang dicetuskannya selalu bikin heboh dan melahirkan pengekor. Contohnya gelaran musik seperti The Jakarta Movement, Back In The Days, Turn On Plastic, Agrikulture cukup digandrungi penggila musik. Di ritel, dia ciptakan Brightspot Market (sejak 2009). Ajang layaknya “pasar malam” itu mampu menyedot 57 ribu pengunjung dengan nilai transaksi ratusan juta hanya dalam waktu 4 hari. Belakangan, konsep Brightspot diadopsi dengan membuka gerai The Goods Dept di mal kelas A Jakarta. Bagaimana ide-ide gila lahir dari benak Anton, dan bagaimana tahapan eksekusinya? Inilah wawancara wartawan SWA, Denoan Rinaldi, dengan Anton Wirjono, Presiden Direktur Goods Dept.

Anton Wirjono, Good Dept, kreatif,

Anton Wirjono

Bagaimana Anda bisa menciptakan ide-ide gila?

Intuisi. Semua saya jalankan berdasarkan intuisi saja. Tiba-tiba muncul saja sesuatu yang kayaknya oke. Ya, sudah kita jalanin aja.

Cara mengasah intuisi?

Mungkin karena latar belakang saya sebagai DJ cukup berpengaruh. DJ memilih lagu-lagu dari sekian juta lagu yang ada. Kita mesti hapal benar karakter masing-masing lagu. Saat perform, kadang saya tidak tahu kenapa habis lagu ini langsung mainin lagu itu. Itulah intuisi. Kita paham karakter lagu, lalu lihat kondisi emosi audience barulah dimainin lagu yang cocok. Itu berjalan otomatis saja.

Kalau untuk bisnis ya sama saja. Wah kayaknya ini asik nih. Ya, udah kita jalan. Biarpun orang menganggap gila, ya kita yakin aja. Saya sering browsing, senang baca. Itu cara-cara saya mempertajam intuisi. Kalau intuisi sudah terasah, ide-ide bisa muncul begitu saja.

Cara mengelola ide?

Saya cepat-cepat tulis. Kadang jam 2 dini hari muncul ide. Ya bangun, saya tulis. Kadang kita ngobrol-ngobrol santai seperti ini juga bisa keluar ide.

Di antara tim, siapa lagi kreatornya?

Kayaknya sih masih saya. Teman-teman bilang saya kebanyakan ide-ide gila. Malah, mereka bilang saya parno karena banyak ide. Tapi ya biarinaja. Kalau enggak parno enggak bisa nglahirin yang baru dong.

Lalu cara menyeragamkan pemikiran dalam tim?

Ya saya share ide saya ke teman-teman. Misalnya, malem-malem muncul ide. Saya email temen-temen. Besokannya kita meeting ngebahas ide itu. Kalo idenya oke, ya sudah kita langsung eksekusi.

Biasanya berapa lama dari ide ke eksekusi?

Ya tergantung. Tergantung intuisi itu tadi. Contohnya Brightspot. Dari ide sampai eksekusi hanya tiga minggu. Ide itu muncul di awal bulan. Kemudian kita meeting. Akhir bulan acara berlangsung. Kita agak grubak-grubuk. Tapi acaranya sukses.

Grubak-grubuk bagaimana?

Ya, kita kan harus mengajak vendor untuk jualan di event itu, kemudian mencari tempatnya. Banyak yang nolak waktu itu. Karena konsep itu belum pernah ada di Indonesia. Jadi, ada pameran, ada performance art. Musik juga ada. Kuliner pun ada. Kan waktu itu belum ada kayak gituan masuk mal.

Oh, iya, untuk event itu saya kerjasama dengan Leo Theosabrata, designer. Dia mendesain booth-nya. Saya tidak mau event tersebut biasa-biasa saja. Vendornya pun kita pilih. Tidak boleh sembarangan. Jadi, barang yang dijual benar-benar punya kualitas bagus.

Bagaimana standar pemilihan vendor?

Melalui kurasi. Saya dan tim yang menyeleksi. Kebetulan kita seperti punya taste yang sama. Kita lihat dulu seperti apa desainnya, detailnya bagaimana? Keseriusan provider juga kita lihat. Jangan sampai cuma bisa produksi segitu doang, terus berhenti. Persistensi provider juga kita nilai. Kita sering ketemu providernya dulu. Lihat-lihat bagaimana cara kerjanya. Kalau menurut kita oke, ya ayo kita jalan.

Kurasi ini juga kita terapkan di The Goods Dept. Jadi, kalau dilihat, barang-barang di sini punya kualitas bagus. Tidak asal-asalan. Kan kita masuk di mal kelas satu. Kita dikepung brand-brand nomor wahid di dunia. Jadi, barang yang dijual harus bisa bersaing dengan mereka. Dari segi kualitas desain, kekuatan bahan, dan lainnya. Harganya ya masih terjangkau. Tapi bukan berarti barangnya meniru merek-merek terkenal itu. Kita tidak mau seperti itu.

Barang yang dijual The Goods Dept 85% buatan lokal. Tapi desainnya sama sekali tidak ada yang mirip dengan merek luar. Setiap produk punya kekhasan desain. Kita tekankan vendor untuk itu. Malah, pernah ada calon vendor yang kami kritisi. Barang mereka bagus. Desain produknya bagus. Tapi logo mereknya mirip dengan brand luar negeri. Ya, kita saranin mereka untuk ganti.

Jadi, saya pengennya kalau beli produk Indonesia bukan hanya alasan emosional saja. Wah, ini produk dalam negeri, jadi harus beli. Bukan itu. Ya kalau produk lokal, ya harus benar-benar punya kualitas, desain yang bagus dan unik. Harapannya, nanti merek-merek vendor kami bisa sejajar dengan merek dari luar negeri.

Model bisnisnya seperti apa?

Kebanyakan kita konsinyasi. Vendor titip barang saja di Goods Dept.

Seberapa penting kurasi itu? Dan bukannya lebih enak mengikuti pasar?

Dari dulu sudah terbiasa seperti itu. Kalau ngikutin yang sudah ada, ngapain kita bikin sesuatu. Saya anti mainstream. Saya senang mengerjakan sesuatu yang saya suka. Kalau bisa membedakan diri dengan yang lain, akhirnya kita malah punya followers. Seperti vendor di Goods Dept. Kita cari sesuatu yang tidak umum, tapi punya potensi.

Pas saya pulang ke Indonesia tahun 1994, saya cari uang dari nge-DJ. Waktu itu asosiasi DJ sangat buruk. Tapi ya saya tetep jalan. Sampai akhirnya ada teman nawarin saya untuk nge-Dj di Parkit, Wahid Hasyim. Saya bilang, oke saya bikin, tapi saya tidak mau ada request lagu. Dan, saya tidak mainkan lagu-lagu komersial. Saya kurasi lagu-lagu sendiri. Akhirnya, Parkit yang tadinya hampir tutup bisa ramai lagi. Dari situ, saya makin punya nama. Dan banyak yang mengajak saya.

Bagaimana gambaran bisnis-bisnismu? Siapa saja timnya?

Dulu kan kita banyak bikin music event. Itu di bawah tim Future 10 (PT Komunikasi Sepuluh). Lalu pas mau ngadain Brigthspot, Future 10 kerjasama, atau membentuk badan hukum sendiri yakni PT Brightspot Indonesia. Di situ ada Leo Theosabrata, ada adik saya dan suaminya: Cyntia Wirjono dan Chris Kerrigan juga istri saya. Nah, pas mau bikin The Goods Dept, kita kerjasama lagi dengan seseorang mendirikan PT Cipta Ritel Perkasa.

Berapa investasinya? Lalu bagaimana perkembangan bisnisnya?

Investasi lumayanlah. Kita pelan-pelan yang penting bisa terus berjalan. Dua bulan lagi Goods Dept akan buka di Pondok Indah Mall. Di sana lebih besar dari yang di Pacific Place (PP). Di PP luasnya 750 meter. Di sana akan lebih besar, 1.000 meter persegi lah. Di PIM akan lebih lengkap. Kan kami konsepnya experience retail. Jadi, ada restonya, lalu dept store-nya. Kalau di PP kan belum nge-link. Masih ada sekatnya. Kalau di PIM nanti antara resto dan dept store akan nge-link. Di sana juga akan ada venue untuk performance. Baca puisi, musik, diskusi, event apa saja. Ya seperti dulu di Plaza Indonesia (PI). Kan yang di PI sudah tidak ada, dipindah ke PP. Kita juga punya Goods Dinner di Fairground SCBD. Omsetnya ya lumayan. Kita saat ini sudah bisa mempekerjakan 200-an karyawan.

Ke depan, apalagi yang akan dilakukan?

Banyaklah. Tunggu saja. Dalam waktu dekat ya kita mau meluncurkan brand sendiri. Jadi, selain 200-an brand dari vendor yang ada di Goods Dept, kita mau menciptakan brand sendiri. Produknya macam-macamlah. Dari aksesoris, pakaian, bahkan alat dapur juga ada. (DAM)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved