Editor's Choice Entrepreneur

Bumbu Desa: Juru Masaknya dari Desa-desa Priangan Timur

Bumbu Desa: Juru Masaknya dari Desa-desa Priangan Timur

Setelah sukes mendirikan resto Kampung Sampireun, Arief Wangsadita tergerak untuk mendirikan restoran dengan menu makanan Sunda. Alasannya, cita rasa makanan Sunda bisa diterima masyarakat Indonesia. Maka, pada 2004 pun berdiri gerai pertama Restoran Bumbu Desa di Bandung. Sejak itu, pertumbuhannya terus melaju, hingga ekspansi ke Malaysia dan siap-siap membuka outlet di Melbourne (Australia) dan Vancouver (Kanada). Bagaimana lika-liku Arief Wangsadita mendirikan Bumbu Desa? Semua dituturkan Arief kepada Mochamad Januar Rizki:

Bumbu Desa

Bagaimana latar belakang berdirinya Bumbu Desa pada 18 September 2004?

Latar belakangnya, saya melihat banyak makanan Sunda belum dikonsumsi secara komersial. Sifatnya masih sekadar di meja-meja keluarga. Padahal, banyak menu makanan Sunda yang sudah ada sejak dulu masih dikonsumsi hingga generasi muda sekarang. Karena belum dikomersialkan secara masif, sehingga ada kesempatan restoran Sunda ini yang menyediakan makanan lokal dan banyak orang suka untuk dikomesialkan.

Ini berawal dari pendapat subjektif saya. Masakan Sunda memiliki taste yang bisa diterima di Indonesia. Selain itu, gestur atau gaya bahasa tubuh orang Sunda juga dinilai memiliki kelebihan sopan santun, misalnya saat menjamu tamu yang masuk ada salam dalam bahasa Sunda wilejeung sumping.

Saya bukan orang yang berpengalaman di bidang bisnis kuliner, saya dulu bergerak di bidang bisnis perhotelan. Sebelum Bumbu Desa, saya membuat Kampung Sampireun. Pada saat awal Bumbu Desa ini berdiri adalah hasil pemikiran kolektif dari orang-orang yang berada di lingkar saya, seperti istri hingga ibu. Saya bertindak sebagai pengambil keputusan. Kami juga menggunakan advisor dari konsultan. Pusat pertama berdiri berada di Jalan Riau, Gerai Laswi, Bandung pada tahun 2004.

Produk-produk budaya sunda keseharian tersebut saya kombinasikan, dari gaya bicara hingga masakan. Kami juga memadukan budaya pedesaan, seperti petani dan sawah dalam restoran dalam bentuk gambar-gambar. Kebetulan pada tahun 2004, saat Bumbu Desa berdiri, hal-hal seperti ini masih dianggap baru. Dan, saya pikir Bumbu Desa dengan menu makanan Sundanya mampu diterima di mana pun.

Jadi yang membedakan Bumbu Desa dengan lainnya, kami mem-packaging restoran dengan cara menampilkan budaya Sundaya tidak sekadar makanan saja tapi juga uncontemporer seperti tempat yang bersih. Tahun-tahun awal perkembangan Bumbu Desa pesat sekali, kami buka cabang di Surabaya pada 2005. Di Surabaya kami mampu bersaing dengan restoran- restoran oriental atau chinesse food yang juga lagi booming. Kami sampai sekarang masih eksis di sana.

Bumbu Desa (tegak)

Siapa target pasar yang dibidik? Berapa rata-rata harga per menu? Rata-rata pengunjunga per harinya?

Sasarannya Bumbu Desa rata-rata yang datang adalah kelas menengah. Tapi orang yang banyak duit pun juga datang. Untuk harga per menu sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu. Rata-rata pengunjug per outlet-nya bervariasi ada yang 100 orang per hari hingga 400 orang. Untuk cabang-cabang di Malaysia, biasanya bisa mencapai 100 ribu. Selain pengunjung, pelanggan kami juga banyak dari katering. Hampir sama jumlahnya.

Untuk menggerakkan bisnis kuliner, diperlukan tenaga yang ahli seperti juru masak hingga pramusaji. Bagaimana awal-awal Anda memenuhi kebutuhan SDM tersebut?

Kami SDM kebanyakan dari daerah-daerah sekitar Parahyangan timur, Garut, Tasik, Ciamis. Kami mendapatkan ahli-ahli masak bukan dari lulusan pendidikan formal. Tapi dari pembantu- pembantu rumah dari desa. Cara kerja mereka masih cara kerja rumah tangga. Dikasih meja enggak bisa kerja seperti itu, tetapi mereka kerja sambil duduk di lantai.

Kami memilih juru masak dari desa karena bicara kuliner semua asal muasalnya dari desa. Tujuannya, saya ingin desa itu punya arti buat kita. Jadi, berasal dari desa bukan sekadar dari genetika tapi juga makanannya. Ini juga yang membuat saya menamakan restoran ini Bumbu Desa. Kini karyawan Bumbu Desa mencapai hampir 5 ribu orang dari awalnya hanya 67 orang. Sedangkan Chef sendiri total ada seribu orang termasuk yang sudah keluar dari awalnya hanya delapan orang. Kini satu outlet ada sekitar 12 orang chef.

Bagaimana perkembagan Bumbu Desa dari awal berdiri hingga sekarang ini?

Tahun pertama, kami hanya punya dua outlet, Laswi dan Pasir Kaliki. Lalu tahun kedua, kami menambah sekitar 15 outlet. Untuk Jakarta ada 17 outlet. Untuk luar negeri, kami memiliki cabang di Malaysia sebanyak 6 outlet. Saat ini jumlah keseluruhan outlet kami ada 78 outlet. Pada tahun 2014 ini kami berencana membuka cabang di Vancouver, Kanada dan Melbourne, Australia. Mudah-mudahan tahun ini mulai running. Sudah ada yang menawarkan untuk membuka di London, Paris dan New York. Investornya juga sudah ada. Namun tempatnya kurang bagus sesuai dengan yang saya inginkan. Kami masih mencari lokasi yang bagus. Kami harus jelas dulu lokasinya di sana di mana. Kami tidak mau karena lokasinya. Selain sebagai portofolio Bumbu Desa, kami tidak ingin asal-asalan membawa nama Indonesia di luar negeri.

Untuk pertumbuhan omzet, Bumbu Desa dari tahun ke tahun mengalami perkembangan. Pertumbuhan per tahun kurang lebih mencapai 30 persen tiap tahun. Pertumbuhan cukup signifikan pada tahun 2010. Tahun itu merupakan booming-nya bisnis kuliner. Bumbu Desa saat itu membuka 12 cabang.

Saya juga pernah diajak oleh Dirut suatu BUMN untuk presentasi di depan karyawannya yang mau pensiun, seratus orang yang hadir ingin investasi di Bumbu Desa. Bisa dibayangkan untuk franchise fee-nya saja sekitar Rp 400 – Rp 500 juta. Kalikan saja 50 orang. Saya bisa mendapat Rp 40 miliar. Tapi bukan itu yang saya mau. Karena tidak semua orang yang mau mengelola langsung.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tiap harinya, Bumbu Desa melakukan pembinaan kepada penyuplai. Seperti para suplier ayam, ikan. Kami juga melakukan kerja sama dengan yayasan rumah yatim yang anak-anaknya bisa melakukan praktik kerja di Bumbu Desa.

Bagaimana mengelola agar bisnis resto ini bisa berkesinambungan?

Untuk pengertian berwirausaha adalah tindakan yang komprehensif dari beberapa hal. Paling utama adalah relationship dengan karyawan. Saya sampaikan kepada karyawan, Bumbu Desa seperti sekolah atau universitas. Jadi, jika para karyawan sudah punya kemampuan dan ingin keluar dari Bumbu Desa, mereka harus lebih tinggi jabatannya ketika bekerja di Bumbu Desa. Menurut saya, itu bukan berarti karyawan tidak memiliki loyalitas tetapi membantu langkah mereka untuk mendapatkan suatu hal yang lebih baik.

Kami dalam membuka frandchise tidak sembarangan, tapi kami pilih orang-orang yang konsern, fokus dan pegang sendiri. Yang penting bagi kami adalah relationship bukan sekadar uang. Saudara bertambah tapi tidak ada konflik.

Saya enggak takut dicontoh oleh siapa pun. Semua resep saya berikan kepada yang lainnya. Tidak ada yang kami simpan kepada partner. Bumbu desa juga bisa dikatakan satu-satunya restoran yang tidak punya link dengan sebuah alat IT, terhadap cashier dengan kantor pusat untuk mengontrol penjualan outlet lain. Dulu hampir digunakan, tapi menurut saya tidak perlu. Yang saya inginkan menjalankan bisnis berlandaskan kejujuran. Daripada untuk IT, saya lebih suka pelatihan-pelatihan untuk para karyawan. Itu yang lebih saya suka. Saya tidak takut rugi, karena saya percaya 100 persen kepada para partner. Sampai saat ini belum ada konflik.

Untuk bahan baku bagaimana pemenuhan kebutuhan bahan baku?

Ibaratnya Bumbu Desa adalah inti plasma. Pemasok bahan baku adalah plasma-plasmanya. Jadi semua hasil produksi dipasok ke kami. Ada juga yang tidak bisa seperti itu, seperti beras.

Selama 10 tahun berjalan, bagaimana kendala yang dialami?

Untuk pemenuhan SDM relatif lancar, namun perkembangan bisnis kuliner semakin kencang. Pilihan-pilihan kuliner semakin beragam. Dari situ, kami harus berkompetisi terus. Oleh karena itu, kami harus berinovasi.

Bagaimana alasan Bumbu Desa sendiri dalam pemilihan lokasi baru?

Untuk luar negeri, tidak mesti banyak penduduk Indonesia di negara tersebut. Namun berdasarkan kota tersebut adalah megapolitan. Misalnya, Vancouver saat ini merupakan kota yang majemuk maka itu kami juga buka di sana. Untuk wilayah Indonesia, kami juga berencana membuka di wilayah timur Indonesia seperti, Mataram, Ambon, Flores dan Labuhan Bajo. Kami memilih karena lokasi tersebut bisa diterima masyarakat dan startegis. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved