Editor's Choice

Djunadi Satrio, Darah Baru Buat Lesatkan Bisnis Garuda

Djunadi Satrio, Darah Baru Buat Lesatkan Bisnis Garuda

Ada wajah baru di atas panggung penghargaan Survei Word of Mouth (WOM) Marketing Index 2013 kemarin (29/8) saat PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. memenangi kategori WOM penerbangan. Usut punya usut, ternyata wajah itu milik Djunadi Putra Satrio, VP Marketing Garuda. Menjadi anak buah Erik Meijer, EVP Marketing and Sales Garuda, Djunadi tak ubahnya suntikan darah segar di perusahaan yang sedang dinamis-dinamisnya itu.

Sebelum masuk Garuda, pemasar berlatar belakang pendidikan Teknik Sipil itu sempat menjadi Direktur Marketing HTC. Dan selama 6 tahun, ia malang melintang di Sony Ericsson Mobile Communications hingga bertengger di posisi Head of Marketing, Business Management anf Operator Relations. Pernah tinggal di AS selama 10 tahun, Djunadi membuat debut kariernya di British American Tobacco, Louisville, selulus menyabet MBA dari University of Virginia.

Usai acara oenghargaan, SWAOnline sempat bertemu dengan Djunadi. Ikuti ceritanya tentang 2,5 bulan pertama di perusahaan maskapai penerbangan yang paling dibicarakan di Tanah Air itu.

Djunadi Putra Satrio, VP Marketing Garuda baru

Djunadi Putra Satrio, VP Marketing Garuda baru

Apakah sudah nyaman dengan budaya kerja Garuda?

Masih banyak belajar karena saya bukan dari industri penerbangan ataupun travel sebelumnya. Latar belakang saya sebenarnya teknik sipil. Lalu S-2 di bidang bisnis. Pekerjaan dari dulu di dunia pemasaran, di berbagai industri: rokok, farmasi, perbankan, terakhir telekomunikasi.

Bagaimana Anda bisa sampai ke Garuda?

Sebelum Garuda, saya Direktur Marketing HTC Corporation Indonesia. Kurang lebih 1 tahun. Kemudian diminta manajemen Garuda untuk bergabung. Katanya, bantuin produk negara sendiri, daripada kerja untuk merek asing terus. Saya pun terpanggil karena dipinangnya sudah sejak lama juga. Baru awal tahun ini kejadian.

Memang sekarang adalah waktu yang tepat untuk berada di Garuda. Saya melihat, di bawah kepemimpinan Emirsyah Satar, kami maju sekali. Arah kami mau ke mana pun sangat jelas sehingga bisa menciptakan strategi pemasaran yang cocok. Dalam waktu sependek mungkin, kami ingin membuat loncatan sebesar mungkin untuk memperbaiki citra perusahaan di dalam dan luar negeri.

Yang jadi tanggung jawab Anda meliputi apa saja?

Ada beberapa lipat. Di lingkup domestik, memang Garuda sudah punya kekuatan tersendiri. Penumpang domestik sudah mempunyai pilihan teratas Garuda karena kami satu-satunya maskapai di Indonesia yang sudah mendapatkan sertifikasi standar keselamatan internasional IOSA. Karena sudah diakui keamanannya, kami satu-satunya maskapai yang bisa terbang ke Eropa.

Jadi, PR kami untuk lingkup domestik bukan lagi soal awareness, melainkan untuk membuat orang terbang lebih sering dan lebih banyak orang lagi yang terbang. Kami meremajakan pesawat dan membuka rute baru.

PR kami di luar negeri lain lagi. Ada beberapa negara yang masih mempermasalahkan keselamatan. Ada citra bahwa Garuda bukan perusahaan yang safe. Jadi, dalam kepercayaan mereka, masih ada tanda tanya. Ada lagi negara yang belum mengenal Garuda. Sehingga saya bertugas menciptakan awareness yang lebih tinggi di luar negeri. Supaya mereka punya pencitraan yang benar akan Garuda Indonesia dan produknya.

Contohnya, apa yang Anda garap untuk memperkuat pemasaran Garuda?

Yang kami lakukan, tidak menjual rute, tetapi menjual destinasi.

Kami membuka rute baru Jakarta-Tanjung Pinang, contohnya. Kalau orang dengar Tanjung Pinang, mungkin mereka bingung. Tapi kalau kita ceritakan tentang keindahan Bintan, orang baru ngeh.

Kami juga membuka rute Balikpapan-Berau. Mungkin orang berpikir, ‘Berau itu di mana?” Tapi, kalau kita ceritakan tentang Kepulauan Derawan, orang langsung ingat keindahannya.

Kami juga menjemput bola dengan melakukan banyak pameran. Dua minggu lagi, ada Garuda Indonesia Travel Fair di Jakarta yang merupakan puncak dari 16 acara yang berlangsung di seluruh Indonesia.

Apa target Anda untuk program ini?

Kami punya target transaksi Rp60 miliar dalam 3 hari. Kami sudah mendapat partisipasi dari 50 agen wisata, 8 national tourism board dari negara tetangga.

Sangat optimis untuk mencapai [target] itu. Tahun lalu saja sudah Rp55 miliar. Sebenarnya, kami ingin lebih agresif lagi.

Ada penghalang untuk mencapai target Rp60 miliar itu?

Kami juga melihat kondisi sekarang. Musim liburan sudah berlalu, kami mempersiapkan masa Natal dan awal tahun depan. Dolar juga cukup tinggi. Ini akan meredam niat masyarakat untuk berperjalanan.

Kami tidak jadi pemain kandang yang hanya kuat di negeri sendiri. Tapi, bisa bersaing kuat di negara orang juga. Kami juga harus fokus juga di pasar luar negeri. Tahun ini, kami membuka beberapa rute baru, misalnya ke Brisbane, Osaka.

Djunadi Putra Satrio, VP Marketing Garuda baru

Djunadi Putra Satrio, VP Marketing Garuda baru

Di profesi ini, macam apa kesulitan yang muncul?

Tantangannya memang berbeda dibanding dunia saya yang dulu. Dulu kan, saya menjual produk yang tangible. Sementara di Garuda, kami menjual servis yang dinikmati penumpang. Pendekatannya agak berbeda. Kami harus menjaga citra juga bahwa Garuda menjual produk premium, bukan low cost. Itu kuncinya asalah mengkomunikasikan value. Bukan perang harga.

Apakah manajemen sudah memberi target?

Target jelas harus ada. Berhubungan dengan fokus ke pasar luar negeri, targetnya adalah bagaimana meningkatkan pengetahuan konsumen di luar negeri akan merek kami. Peningkatan penjualan ada juga, terutama penjualan di agen wisata dan korporat. Kami bekerja sama dengan banyak perusahaan, termasuk menjadi partner mereka.

Sebesar apa target penjualan yang diwajibkan manajemen?

Yang jelas, ingin ada peningkatan yang cukup signifikan. Ada darah baru, seharusnya ada peningkatan dari sisi bisnis.

Secara pribadi, adakah ambisi yang masih ingin Anda wujudkan?

Dari kecil, saya mengagumi ayah saya karena dia seorang wirausahawan yang sukses membangun bisnis dari nol. Dia mulai dari tidak punya apa-apa sampai bisa mengirim anak-anaknya sekolah ke luar negeri. Buat saya, itu merupakan aspirasi.

Mengapa tidak meneruskan usaha itu?

Ayah saya sudah berusia cukup tinggi pada waktu saya sekolah di luar negeri di AS. Pada waktu saya masih bekerja di sana, ayah saya memutuskan pensiun. Saya masih punya komitmen, belum bisa pulang. Konsekuensinya, usaha tersebut dijual kepada partner.

Suatu saat nanti, saya ingin juga menjadi seperti beliau. Saya akan memulai usaha yang lain. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved