Editor's Choice

Infrastruktur Jalan di Bogor Belum Mendukung Agrowisata

Infrastruktur Jalan di Bogor Belum Mendukung Agrowisata

Kabupaten Bogor kondusif untuk perekonomian dan usaha. Usahawan pun setuju. Kebetulan suara konfirmatif ini terdengar dari seorang pengusaha berskala menengah di bidang wisata pertanian. Namanya Hibran S. Turangan, Direktur Utama PT Kebun Pasirmukti.

Pasirmukti menjual kebun anggrek, kebun buah, pemancingan, dilengkapi fasilitas penginapan dan pertemuan, untuk murid sekolah dan karyawan kantor. Di tempat tersebutlah Hibran yang juga Ketua Asosiasi Wisata Agro Indonesia itu menerima 130.000 pengunjung tiap tahun. Luas keseluruhan lahan kebunnya 65 hektare (ha). Yang dipakai untuk wisata hanya 15 ha. Sisanya ditanami pohon buah-buahan.

Skala usaha Hibran medium. Disayangkan, pemegang gelar master dari jurusan Engineering Management, George Washington University, ini ogah mempublikasikan omsetnya yang bernominal Rp 15 miliar per tahun. Untunglah ia tak keberatan bersuara seputar pemerintah Kabupaten Bogor sebagai regulator dan fasilitator bagi usahawan. Kepada Rosa Sekar Mangalandum, Hibran memaparkan bisnisnya dan pendapatnya tentang Kabupaten Bogor:

Hibran

Apa bidang bisnis Anda?

Wisata pertanian untuk pendidikan.

Sejak kapan Anda membuka kebun wisata ini?

Kami bisa dikatakan pionir dalam wisata agro untuk pendidikan. Kebun wisata ini kemudian jadi PT sejak tahun 2002. Saat itulah kami mulai profesional. Mulai bikin penginapan untuk terima pengunjung dari perusahaan untuk pelatihan. Tapi, kami tidak meninggalkan core wisata untuk pendidikan.

Mengapa Anda memilih Kabupaten Bogor untuk membuka usaha?

Tahun 1997, setelah tanah ayah saya cukup luas di Citeureup, ibu saya berpikir, “Kalau tanah ini hanya dijadikan kebun anggrek, sayang sekali.” Maka, beliau membuat suatu gebrakan. “Lebih baik saya memperkenalkan pertanian pada anak kecil,” pikir beliau. Ia pun membuat konsep, anak-anak sekolah datang one-day trip. Masih sederhana. Ia hanya menunjukkan, ini padi, ini pohon rambutan, manggis. Belum mangambil untung juga.

Setelah itu, animo membesar. Sepertinya ini harus dibikin lebih baik. Kalau ingin menjualnya, kami harus berani mematok harga. Tapi intinya, hanya untuk memperkenalkan pertanian pada anak-anak.

Sebenarnya ini “kecebur”. Bukanlah niat awal untuk buka usaha di Bogor.

Memangnya semenarik apa berinvestasi di Kabupaten Bogor?

Menariklah. Wisata sangat berpotensi di sini.

Berapa investasi yang ditanamkam saat mulai?

Wah. Susah, ya. Karena investasi terbesar ada di lahan sebenarnya. Dan ini tidak bisa saya sebut investasi. Sebab ayah saya membeli lahan-lahan bukan untuk membuka wisata awalnya. Ia hanya “menukar” tanah dengan tanah (investor tanah).

Tahun 1999, beliau mulai merapikan lahan. Ia melakukannya secara bertahap. Investasinya cukup besar. Tapi, saya tidak tahu berapa persisnya.

Tentu Anda menempuh prosedur izin waktu membuka PT?

Sebenarnya perizinan di mana-mana sama. Hanya saja, bisa berbeda, tergantung pada bupati dan gubernurnya, karena ada otonomi daerah.

Bandingkan dengan anggota saya yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena memang budayanya dari pertanian, pemerintahnya merasa bahwa wisata pertanian perlu digalakkan. Dampak top down-nya, perizinan pun sudah gampang.

Memangnya bagaimana prosedur perizinan yang Anda tempuh?

Sulit. Mahal sekali biayanya.

Perhitungannya saya buka saja. Anda pasti bisa periksa juga di Pemda Bogor. IPPT, izin peruntukan lahan, untuk 1 meter di sini sama biayanya dengan IPPT untuk buka pabrik per meter. Padahal tidak mungkin wisata agro berlahan hanya 1.000 meter. Pasti hektaran.

Artinya, biaya yang harus saya keluarkan sudah ratusan juta duluan. Hanya untuk izin. Insentif, saya lihat, belum ada.

Terkait hal ini, apa masukan untuk Pemkab?

Karena kebun wisata ini unik, mulailah dikunjungi anggota DPRD dan DPR. Menteri Pertanian juga pernah ke sini.

Kami bahkan menjadi rujukan (benchmark) untuk beberapa kabupaten di luar Jawa Barat. Mereka datang. Saat itu, mereka ingin bikin yang seperti ini di daerah masing-masing, namun menyayangkan. Lokasinya unik. Tapi, kok tidak ada perhatian dari pemerintah daerah?

Mungkin ini terdengar kemudian mereka bertemu lewat jejaring mereka. Mungkin anggota DPR juga demikian sehingga sampai juga pada pemerintah daerah sini.

Lalu sejak kapan dukungan mulai terasa?

Semenjak banyak pemerintah pusat datang ke sini.

Sebelum itu, pada tahun 2002-2004, ekspos kurang. Lebih banyak anak sekolah yang datang. Tapi, mungkin ada murid yang bapaknya berjabatan penting. Kemudian si anak mengajak lalu mereka datang bersama kemari.

Kebetulan saya juga Ketua Asosiasi Wisata Agro Indonesia. Saya sering bertemu dengan pihak Kementerian Pertanian dan Kementerian Pariwisata. Saya pun menyuarakan, hal yang sama terjadi di daerah lain. Tidak hanya di Bogor.

Apakah Anda sebagai pengusaha pernah mengakses bantuan pendanaan dari pihak Pemkab?

Saya sudah mengajak bank sejak awal kebun berdiri. Namun, baru dua tahun terakhir saya mendapat bantuan bank. Bank pemerintah.

Apa rencana Anda untuk memperbesar usaha kebun wisata ini?

Sekarang saya merambah jasa gedung pertemuan dan pelatihan. Pengunjung lebih suka kalau saya bisa bikin gedung pertemuan. Fasilitas ini masih baru dibangun.

Menurut Anda, apa kebijakan Pemkab yang sudah bagus? Apa yang masih perlu diperbaiki?

Saya lihat, Kabupaten Bogor masih berorientasi pada industri. Jadi, buat apa berkonsentrasi pada wisata agro? Tokh, pemasukan dari sektor industri masih cukup besar.

Mereka membuka pabrik ribuan hektare. Cost-nya terukur. Dalam sekian tahun, kembali modal.

Bedanya, wisata agro tidak mungkin ribuan hektare. Lahannya pasti kan, hektaran. Tapi, biaya per meternya sama dengan izin pabrik.

Inilah yang masih saya perjuangkan terus dengan Kementarian Pertanian dan Kementerian Pariwisata. Tapi, kembali lagi pada otonomi daerah. Susah. Yang paling berat memang izin peruntukan lahan di pemerintahan daerah. Biayanya sangat besar di awal.

Bagaimana iklim yang diciptakan Pemkab untuk pengusaha Bogor?

Secara umum, Bogor kondusif dibanding Bekasi, Banten untuk berwirausaha, entah wisata agro, industri, atau yang lain. Saya salut dalam hal itu. Memang bagus. Bagaimanapun ini harus kembali pada si usahawan.

Membuka lahan wisata di sini sangat berpotensi. Tapi, pola pikir masyarakat sudah mulai meninggalkan pertanian. Mereka tidak melihat pertanian terlalu penting. Berbeda dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Masih ada orang-orang yang punya niat baik untuk membuka wisata agro, tetapi berpendanaan kecil. Banyak yang punya lahan 1.000 meter. Akhirnya mereka mengurungkan niat. Dana mereka dipakai untuk investasi lain.

Apa saja dukungan yang mereka berikan?

Untuk usaha wisata agro, ada. Dinas Pariwisata mengundang kami ikut pameran. Contohnya, ada pameran Bogor yang diadakan di Jakarta. Tidak dipungut biaya.

Dinas Pertanian memberi penyuluhan untuk ikan di pemancingan. Mereka rutin mengecek unggas yang kami miliki.

Bagaimana pendapat Anda soal keadaan infrastruktur Kabupaten Bogor?

Lihat saja kondisinya sekarang. Menurut saya, masih kurang optimal kalau memang sudah terekspos (wisatawan mancanegara). Wisatawan mancanegara sudah ada juga (yang datang ke sini) walaupun tidak banyak. Sebagian besar wisatawan Belanda. Semua yang datang ke sini pasti berkomentar tentang akses jalan. Lokasi wisata, kenapa jalannya tidak bagus? Itu kendala. Di tempat anggota-anggota saya yang lain pun sama.

Apa masukan untuk Pemkab?

Namanya wisata agro, sudah pasti itu wisata kebun. Wisata pertanian. Di sini infrastruktur jalan untuk menuju wisata kebun sudah parah. Truk yang datang untuk mengambil barang saja sudah kesusahan. Terbukti, infrastruktur untuk mencapai pasar atau pertanian di daerah-daerah sangat susah. Jadi, hal yang paling dikeluhkan anggota Asosiasi Wisata Agro Indonesia adalah infrastruktur.

Bupati boleh berganti. Tapi, apa kebijakan yang Anda harapkan untuk memperbagus iklim usaha?

Infrastruktur saja. Faktor yang kami sangat ingin didukung pemerintah untuk wisata hanya itu. Tidak cuma akses jalan ke tempat saya. Ke Cinangneng juga, misalnya. Itu sama susahnya.

Kemacetan juga jadi persoalan. Tak usah jauh-jauh. Kebun Raya Bogor saja. Dengan angkot segitu banyak, pengunjung mengurungkan niat karena macet. Apalagi ada unjuk rasa karena Terminal Baranangsiang. Dan Jalan Raya Cibubur sudah sangat macet. Di waktu-waktu tertentu, butuh 1, 5 jam hanya dari pintu Tol Cibubur menuju Mekarsari.

Terakhir, petunjuk arah menuju objek wisata di Bogor masih sangat kurang jelas. Di Bandung, petunjuk arah wisata sangat bagus. Contohnya, ke Lembang. Jelas. Ini kan, menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap pariwisata. Bikinlah sign yang memang jelas dan resmi. Bisa bekerja sama dengan Dinas Perhubungan. Simpel saja. §


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved