Editor's Choice Entrepreneur

Jonathan Sudarta: Putra Mahkota Grup Mensa Digembleng di Kawah Candradimuka

Jonathan Sudarta: Putra Mahkota Grup Mensa Digembleng di Kawah Candradimuka

Jonathan Sudarta adalah generasi kedua Grup Mensa. Sebagai anak pendiri, Jonathan tidak langsung duduk di kursi empuk. Ia lebih dulu digembleng di medan berat, termasuk ditempatkan di pelabuhan Tanjung Priuk, untuk menangani distribusi bahan baku Mensa. Bisa dibayangkan kondisi Tanjung Priok yang sangat panas. Jonathan pun sering mengeluh. ”Tapi Pak Jimmy selalu bilang, ambil pelajaran dari setiap momen”. Dan ternyata itu yang membuat mindset Jonathan berubah, harus menysukuri apapun. Pernah suatu ketika ada bapak-bapak tua sebagai kuli ikut mendistribusikan barang, membawa beban yang begitu berat, namun Jonathan memberi uang Rp1.000 per sekali angkut, begitu senangnya raut muka beliau. Sementara dia yang ”mungkin lebih beruntung” masih sering mengeluh. Sejak itu, Jonathan bekerja penuh totalitas: ditempatkan di manapun tidak anggap sebagai beban, tapi sebagai apa yang diberikan Tuhan.

Jonathan

Bagaimana lika-liku penggemblengan Jonathan, ketika dipersiapkan untuk menjadi penerus kepemimpinan di Grup Mensa? Jonathan mengungkapkannya kepada Fardil Khalidi dari SWA Online:

Apa latar belakang pendidikan Anda? Apakah memang memiliki passion di bidang farmasi?

Latar belakang pendidikan saya adalah ekonomi, dengan spesifikasi e-commerce di Curtin University – Perth, Australia. Passion di bidang farmasi, nah ini yang menarik, justru saya lebih menyukai bidang farmasi ketimbang ekonominya. Walaupun demikian, ilmu yang saya pelajari dari bangku kuliah tidak serta merta hilang, malah berguna sekali dalam mengembangkan bisnis ini. Salah satunya Apotikantar.com, itu kan sistem e-commerce dari Mensa, di mana kami menjual obat secara online. Cukup cari apa yang diinginkan, maupun yang sesuai resep dokter, transaksi melalui online, dan obat sampai di rumah. Nah, itu saya yang rancang sistem e-commerce-nya. Kalau kesukaan di bidang farmasi sendiri itu lebih ke arah bagaimana saya ingin berkontribusi di perusahaan ayah saya. Oh, ya kenapa saya memutuskan untuk berkontribusi di Mensa ini karena saya ingin mengadopsi filosofi kerja ayah saya. Kalau di tempat lain mungkin saya dapat profesionalitas kerja, namun untuk yang ini saya ingin menggabungkan filosofi ayah saya dengan profesionalitas.

Bagaimana Anda disiapkan untuk menjadi generasi penerus Menjangan Sakti oleh Pak Jimmy? Bagaimana proses pembelajarannya untuk menjadi pemimpin di sebuah grup farmasi sebesar Mensa?

Perlu ditekankan, Menjangan Sakti (Mensa) bukan sebuah sistem monarki, melainkan sebuah perusahaan yang menjunjung tinggi asas profesionalitas. Meskipun, dari 5.700 karyawan yang ada di Mensa, hanya satu yang punya hubungan darah dengan Presiden Direktur, Jimmy Sudharta, yakni saya sendiri, putranya. Jika bicara waktu, tidak dipungkiri, suatu saat ia akan terus bergulir, menggerus usia, membatasi ruang gerak. Dan suatu langkah yang tepat bagi beliau untuk menyiapkan satu suksesor untuk melanjutkan kepemimpinannya. Namun, pada kenyataannya, pak Jimmy pernah bilang, ”John, kalau kamu tidak kompeten, maka somebody yang lebih kompeten akan menjadi pemimpin, ini bukan sebuah kerajaan”.

Kembali ke pertanyaan, yang disiapkan oleh Pak Jimmy kepada saya banyak sekali. Mulai dari awal bergabung saya langsung ditempatkan di pelabuhan Tanjung Priuk, untuk menaangani distribusi bahan baku Mensa. Bisa dibayangkan kondisi Tanjung Priok, panas sekali, sampai – sampai saya sering mengeluh. ”Tapi pak Jimmy selalu bilang, ambil pelajaran dari setiap momen”. Dan ternyata itu yang membuat mindset saya berubah, bahwa saya harus menysukuri apapun. Pernah suatu ketika ada bapak – bapak tua sebagai kuli ikut mendistribusikan barang, membawa beban yang begitu berat, namun saya beri uang Rp 1.000 per sekali angkut, begitu senangnya raut muka beliau. Sementara saya yang ”mungkin lebih beruntung” masih sering mengeluh. Sejak itu, saya bekerja penuh totalitas: ditempatkan dimanapun saya tidak anggap sebagai beban, tapi sebagai apa yang diberikan Tuhan.

Kemudian saya juga ditempatkan di divisi Sales, yani ke Otto (Anak perusahaan Mensa) sebagai medical refferal (tatanan terendah dari sebuah posisi sales). Nah, untuk bisa jadi medical refferal ini saya mesti lewatin 40 hari training. Ayah saya suruh mengikutinya, saya kesana dengan identitas lain. Ganti nama, ganti background pendidikan, dll. Pesan ayah saya “John, rasakan apa yang calon karyawan kamu rasakan.” Selama 40 hari ini berlaku sistem gugur, tiba-tiba bisa saja diadakan tes mendadak, bahkan ketika tidur, jam 2 dini hari dibangunkan untuk tes. Saya merasa, ini kok hidup seperti tentara begini ya? Tiap hari ketemu dokter setelah praktek, kadang jam 2 pagi, dan Med Reff ini dituntut tidak boleh kehilangan konsentrasi, karena harus mempresentasikan kelebihan obatnya.

Konyolnya, teman – teman ayah saya malah membuat saya sebagai bahan taruhan, kapan nih si Jonathan keluar. Lantas saya tantang balik, saya bisa mendapatkan ranking satu. Dan ternyata benar lulus ranking satu. Mulai dari sinilah persepsi hidup saya yang notabennya meskipun anak pengusaha sukses tidak boleh santai – santai, melainkan harus fight.

Setelah lulus, saya ditempatkan di berbagai daerah seperti di Garut, Tasik, Bandung, bahkan luar pulau Jawa seperti Bandar Lampung. Yang ngeselinnya nih dari pekerjaan ini, ketika sudah buat janji dengan dokter, dan kita sudah siap berangkat, katakanlah dini hari, eh malah dokternya bilang “udah besok saja, saya ngantuk.”

Kemudian setelah dari posisi ini, masih soal merasakan atmosfer pekerjaan, saya dikasih assignment – assignment dari pak Jimmy, mulai dari business development, mikirin strategi pemasaran, e-commerce, dealing with client, dll. Sampai ke ngurusin juga case study, jadi sebuah supervisor di sebuah divisi yang hampir bubar, tim bermasalah lah, hingga berkelahi sesama tim. Itu semua ditugaskan Pak Jimmy ke saya. Dia bilang “John, ini adalah langkah awal kamu menghadapi real world bisnis sebenarnya, kalau kamu tidak bisa menyelesaikan yang di dalam, bagaimana kamu bisa menyelesaikan yang di luar.”

Oke saya terima, saya ditempatkan di Landson (anak perusahaan Mensa). Eh, malah kasusnya macem – macem, mulai dari 40 orang top management-nya dibedol (GM, Marketting Manager, Accountant, dll) sampai mengurusi karyawan yang minta kenaikan gaji. Keadaan chaos banget pada saat itu. Akhirnya saya inisiatif mempelajari mulai dari skill teknisnya, managerial, hingga leadership. Bahkan saya kerap kali mengikuti seminar dan motivasi leadership hanya untuk menyelesaikan ini. Tapi terlepas dari itu semua, pak Jimmy didik saya dengan unleashing saya, dengan filosofinya yang dikombinasikan dengan real case study.

Jonathan2

Apakah selama proses suksesi ini ada perasaan yang mengganjal?

Sejauh saya kerjakan dengan passion tidak ada perasaan yang mengganjal. Tapi kelumit – kelumit sedikit tentang perbedaan cara berbisnis itu sih hal yang lumrah terjadi dalam suatu perusahaan. Saya sendiri pernah mengalaminya, ketika waktu itu saya ingin mengubah nasib karyawan saya untuk dinaikkan gajinya, tapi dilarang oleh Ayah saya karena itu berbenturan dengan sistem kerja di Mensa.

Selain itu, mungkin yang saya rasakan adalah bagaimana memposisikan diri ketika berhadapan dengan ayah saya. Kalau di perusahaan, itu levelnya bukan ayah dengan anak, tapi profesional dengan profesional. Saya sering ngeyel ketika berargumentasi dengan ayah saya, itu bukan berarti saya kurang ajar, hanya untuk bersikap profesional. Tapi kalau di rumah saya switch itu, menjadi posisi saya sebagai anak dan pak Jimmy sebagai ayah saya. Saya harus patuh apa yang diberikan oleh ayah saya, selama itu baik.

Apa yang mendasari Anda diarahkan ke bidang farmasi, padahal Anda kan lulusan ekonomi Curtin University? Sejauh ini, bagaimana pengalamanannya di industri farmasi? Sudah berapa lama menekuni bidang tersebut?

Oke begini, kenapa saya diarahkan ke farmasi? Itu erat kaitannya dengan kenapa saya memutuskan untuk bergabung di Mensa. Seharusnya, bagi kebanyakan orang mungkin memilih yang sesuai dengan background edukasinya ialah yang paling aman deh. Namun bagi saya, saya udah memutuskan ingin membantu bisnis ayah saya. Bagaimana mungkin saya mengetahui kondisi tubuh Mensa sendiri jika saya bekerja di perusahaan lain. Thats why!

Mungkin alasan inilah, karena saya anak satu-satunya di keluarga Sudharta, dan diproyeksikan menjadi penerus kepemimpinan ayah saya di Mensa, saya dituntut untuk belajar farmasi. Bahkan saya dari usia masih belasan sering diajak meeting dengan sesama pengusaha farmasi. Walaupun saya di meeting itu lebih banyak tidur, atau bengong karena tidak mengerti apa yang dibicarakan. Mulai dari nama – nama obat, yang bahkan mengejanya saja susah. Tapi karena itu sifatnya berulang, akhirnya menjadi keuntungan bagi saya. Saya yang sekarang menjadi lebih paham soal obat. Bahkan kalau mendengar satu nama obat, sebut saja kapesitabin, saya tahu substance-nya. Kalau yang lain mungkin butuh satu hari menyebut misalnya amoxicilin, saya cukup setengah jam mengetahuinya. Ini kan semacam runtutan berpikir, kalau sebut a maka yang tergambar.

Pengalaman terjun langsung di dunia farmasi kurang lebih kalau secara profesional (tergabung di mensa) itu sejak tahun 2003. Mulai dari sebagai medical refferal, distribusi, hingga business development.

Siapa yang menjadi mentornya?

Banyak. Ayah saya bahkan sempat berpesan, “John, network papa di industri farmasi ini kan cukup banyak, jangan biarkan gelas yang kamu miliki terisi penuh.” Artinya apa? Saya dituntut untuk tidak membatasi diri untuk bertemu dengan kolega – kolega ayah saya. Dalam artian begini, saya dituntut menjadi seperti spons, serap air di sekitar kita. Saya mulai dikenalkan dengan pak Ferry Sutikno (CEO Dexxa), Bing Aryanto (Kalbe), dan Stevie Adryanto (DSM). Saya belajar banyak dari mereka, terlebih karena kami tergabung dalam satu himpunan yakni GP Farmasi. Bukan hanya itu saja, bahkan dengan CEO – CEO yang lain, seperti Combiphar, Soho, dan lain sebagainya juga sering bertukar pikiran.

Bagaiman kesiapan Anda ke depan memimpin Mensa? Serta bagaimana sikap Anda hadapi persaingan nantinya?

Yang saya pegang hanya satu, komitmen. Kata – kata ini selalu ditanamkan ayah saya dalam segala aspek kehidupan, yang pastinya juga pada bisnis farmasa ini. Komitmen sendiri pengejawantahannya bisa macam – macam, mulai dari komitmen melakukan pembayaran, penjualan, hingga kualitas. Ibarat kata gini, misalnya penjualan, jika bisa dibayar tanggal 30, maka tanggal 29 dibayar. Dan pastinya karena komitmen inilah kami sekarang dipercaya para pemasok luar negeri. Bahkan dari segi kualitas, untuk barang anti biotik dengan non antibiotik, sampai – sampai AC-nya saja tidak boleh bercampur. Meskipun klien tidak lihat, tapi kita kan yang mengerjakannya, kita yang tahu sistem air handling-nya. Mungkin biayanya mahal, tapi saya percaya komitmen ini tidak bisa ditawar. Komitmen juga yang menjadi tagline Mensa “Symbol of Commitment”.

Mengenai persaingan, industri farmasi itu enggak kaya industri perbankan yang banyak pemainnya. Kami, sesama player, tergabung dalam asosiasi “GP Farmasi” yang sifatnya ajang untuk saling bertukar ilmu satu – sama lain, seperti misalnya essence of farmasinya, hingga aspek bisnisnya. Dari situ pulalah saya mengenal, Pak Bing, Pak Ferry, Pak Stevie, dan lain – lain yang sangat welcome terhadap saya, yang notabene anak masih bau kencur untuk mempelajari kemampuan mereka dalam berbisnis. Dan mereka welcome lagi, bahkan pak Ferry sering mengajak saya makan malam.

Ini juga yang membuat saya tidak merasa minder. Jadi begini, saya bukanlah alumni Curtin University – Faculty of Economy dengan GPA yang sempurna. Tapi bersama mereka saya merasa percaya diri, karena tipikal pribadi saya yang ingin menyerap segala pengetahuan dari orang – orang sekitar saya. Dan bagi saya, Pak Ferry, misalnya, merupakan figur yang ideal untuk saya jadikan panutan untuk mengembangkan bisnis.

Sedikit cerita, jadi saya pernah dengan inisitaif tinggi mendatangi Pak Ferry, dan bilang seperti ini, “Pak saya dengar anda merupakan 2nd generation yang hebat, apa saya boleh belajar dari bapak?” Walaupun pada saat itu saya tahu yang dipikirkan pak Ferry, “Anak ini PD bener, datang ke saya minta saya sebagai mentor.” Tapi memang beliau orangnya kind banget. Ia bahkan menerima saya to take me on his wingi, walaupun untuk maaf, untuk membuka dapur masing – masing tidak kita lakukan, karena itu merupakan suatu yang konyol. Kalaupun mesti harus copycat dari dapur kompetitor, rasanya itu tidak mungkin banget, karena situasinya berbeda, people-nya berbeda, dan acuan filosofi bisnisnya pun mungkin berbeda.

Mengenai hubungan Mensa, Dexxa, Soho, Kalbe, Combiphar, dll di GP Farmasi itu sangat baik. Bahkan mereka juga mengambil bahan baku dari saya.

Pesan dari orang tua apa yang selalu diingat, dan Anda jadikan acuan untuk bisnis Anda?

Wisdom statement ya? Ada 5 nilai yang ayah saya tanamkan ke saya, yakni : komitmen, lasting relationship yang saling menguntungkan, believe in innovation, believe in excellence, dan improvement. Akarnya adalah komitmen. Bagaimana kita menjaga nama, berawal dari bagaimana kita komit terhadap apa yang kita omongkan. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved