Editor's Choice

Kartika Akbaria, Si Pengubah Kultur Perusahaan Keluarga

Kartika Akbaria, Si Pengubah Kultur Perusahaan Keluarga

Meski sudah berdiri selama 20 tahun, gaung JNE baru terdengar beberapa tahun kebelakang. Adalah Kartika Akbaria, salah satu sosok yang berada di balik usaha percepatan pertumbuhan bisnis perusahaan jasa pengiriman dan logistik tersebut.

Saat berdiri tahun 1990, JNE hanya memiliki 8 karyawan. Saat ini mencapai 6.300 karyawan yang tersebar di 25 cabang utama JNE dan 32 agen utama di seluruh Indonesia. Kenaikan secara signifikan terjadi pada 2011-2012, di mana jumlahnya meningkat hingga 60%.

Dari 6.300 karyawan tersebut, tak satu pun yang masuk tenaga outsourcing. Turn over karyawan hanya 3%, itu pun penyebab keluar karyawan bukan karena tidak betah dengan kantor. Hebatnya lagi, JNE juga mengharamkan PHK.

Mulai 1 September 2010, Kartika yang lulusan S1 Teknik Industri ITB dan Master Degree ITB dan National Taiwan University of Science&Technology ini mulai bergabung di JNE. Saat baru masuk, dia bekerja di bagian riset analisa. Tugasnya lebih banyak melakukan riset organisasi, salah satunya riset tentang corporate culture. Ketika itu JNE tidak dalam kondisi bagus. Kultur perusahaan keluarga yang didirikan oleh Soeprapto Suparno dan Johari Zein ini sangat kuat.

Sebelumnya, rekruitment karyawan hanya berdasarkan ‘bawaan’ atau titipan. Kartika yang berada di bagian riset berinisiatif melakukan survei. Dari survei tersebut ia mengidentifikasi ada 9 penyakit corporate culture di JNE, antara lain adanya intervensi organisasi, intervensi proses dan intervensi SDM, termasuk kepemimpinan.

“Ide awal dari survei sebenarnya datang dari usulan generasi muda karyawan JNE yang mengajak saya untuk melakukan kegiatan knowledge sharing. Dari situ terlihat bahwa ada masalah di organisasi ini. Kemudian kami mencoba mengkuantifikasikan, setidaknya kalau kualitatif ada dasar yang jelas, sebenarnya kami sakit apa dan apa obatnya,” ujar perempuan kelahiran 28 februari 1986 ini.

Sembilan masalah tersebut kemudian disampaikan ke manajemen. Kebetulan manajemen JNE juga merasa ada kekurangan di sisi succession plan, kurangnya pemimpin-pemimpin yang capable. “Tahun 2010 itu JNE punya 3.000 karyawan, tapi justru bergerak lambat,” kenang Kartika.

Dari hasil survei tersebut kemudian dibentuklah commitment agreement, langkah-langkah perbaikan untuk mengatasi sembilan penyakit itu.

“Mungkin direksi melihat saya yang dari awal mengerjakan survei ini, maka kemudian pada Desember 2011 dipindah ke bagian HR (Human Resources) agar commitment agreement tersebut bisa berjalan dengan baik,” ujar Head of Human Capital JNE ini.

Saat Kartika pindah ke HR, kondisi departemen itu masih dilihat sebagai bagian dari administrasi, sebatas payroll. Development hanya training saja, sedangkan program pengembangan hanya membaca buku.

“Kemudian saya usulkan ke direksi untuk mengirim beberapa orang terbaik untuk mengikuti program sertifikasi human capital ke PPM Manajemen,” ucap perempuan yang piawai bermain biola ini.

Kepemimpinan JNE yang terlalu kuat akhirnya disadari malah membuat seringkali mereka mengintervensi proses. Akhirnya Kartika bersama tim membuat satu patron yang tegas, sementara sentuhan personalnya dapat dimasukkan ke setiap bagian.

Tantangan terberat dalam melakukan transformasi di bagian HR JNE bagi Kartika adalah saat mengubah kata HR menjadi HC (Human Capital). “Banyak yang bilang apa arti sebuah nama, buat saya nama adalah identitas. Dengan mengubah R ke C menunjukkan semangat perubahan tim saya. Bahwa sudah saatnya tim saya memahami, mereka punya peran penting, bukan hanya membayar gaji dan mendengarkan keluhan karyawan.”

Tahun 2011-1012 JNE mengalami tiga kali perubahan visi. Baru di 2012 Kartika bersama tim mulai membangun sistem. Saya targetkan 2015 sistemnya sudah jadi.

Untuk mengubah sistem sangat sulit, apalagi yang diubah salah satunya adalah leadership yang tergolong senior, sedangkan dia adalah generasi muda. “Waktu itu banyak yang tidak suka dengan saya. Saya anak baru tapi tiba-tiba diangkat menjadi technical advisornya direksi di bidang riset. Bahkan ada salah satu atasan saya sempat kecewa dengan sikap saya.”

Untuk mengatasi tantangan tersebut, ada tiga hal yang membantu Kartika. Yang pertama sikapnya yang lebih banyak membangun komunikasi dan lebih banyak mendengar. Kedua, tim informal leader yang selalu mendukungnya. “Ketika punya inisiatif strategis tertentu, tim ini akan bergerak. Tim informal ini menurut saya lebih efektif dari struktural leader, pengaruhya lebih masif.”

Bantuan ketiga yakni dukungan dari top manajemen di JNE. “Pemimpin kami orangnya memang sangat humble dan terbuka terhadap perubahan. Bahkan Pak Juhari sempat ikutan five day MBA, padahal umur beliau sudah 58, tapi sekolah lagi. Dukungan manajemen inilah yang menurut saya sangat penting,” kata Kartika yang berambisi meneruskan gelar S3 nya sebelum usia 30 tahun ini.

Kartika saat ini memimpin 111 karyawan yang tergabung di tim HC JNE di seluruh Indonesia. Dia sebenarnya tak pernah menyangka mampu mengerjakan tugas berat di departemen HC.

“Background pendidikan yang sama sekali tak berhubungan dengan HR sempat membuat saya stres di awal bekerja. Ada banyak teori dan istilah-istilah HR yang asing bagi saya. Padahal di sisi lain saya harus melakukan satu perubahan, artinya pengetahuan dan kemapuan itu adalah suatu yang harus dikuasai.”

Tapi kemudian Kartika diingatkan oleh teman-teman terdekatnya, ketika memutuskan untuk melakukan pekerjaan maka dia juga harus mengambil semua konsukuensinya dan melakukannya dengan hati.

Yang dia lakukan kemudian adalah berkomunikasi dengan para manajer dan bertanya apa yang mereka lakukan di sistem, apa yang dilakukan sehari-hari dan apa yang harus dibenahi. “Mimpi-mimpi mereka titipkan ke saya sejak awal.”

Sedangkan teori tentang HR Kartika ddiapatkan seiring dengan waktu, melalui seminar-seminar, workshop, forum, berkomunikasi dengan praktisi HR, dll.

Ke depannya, Kartika menginginkan JNE mampu menjadi perusahaan lokal dengan kompetensi lokal. “Alasan saya tidak mencoba bergabung dengan perusahaan multinasional adalah JNE milik anak bangsa. Jika punya visioner leader yang kuat, maka JNE bisa menuju ke pasar global.”

Untuk mencari bakat-bakat baru di JNE, Kartika dan tim HC nya terus berkeliling ke kampus-kampus, memperkenalkan JNE sejak dini kepada mahasiswa, berbagi informasi tentang peluang bisnis logistik yang sangat besar. Tim HC JNE juga membuat milis internal untuk mencari karyawan berdasarkan referensi. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved