Editor's Choice Entrepreneur

Kedai Tiga Nyonya: Mengandalkan Masakan Rumahan Tanpa MSG

Kedai Tiga Nyonya: Mengandalkan Masakan Rumahan Tanpa MSG

Bahan baku Kedai Tiga Nyonya menurut Paul B. Nio, pendiri resto dengan ciri khas masakan peranakan ini, hanya pada kondisi cuaca tertentu beberapa bahan baku agak sulit dan naik harganya. Seperti saat hujan seperti ini, sayuran agak naik harganya. Ikan jenis tertentu juga langka, karena nelayan tidak melaut dalam kondisi cuaca saat ini. Karena kondisinya seasonal, ia tidak menaikan harga makanan yang dijualnya di menu resto.

KedaiTigaNyonya (utama)

Paul B.Nino dan isteri

Ia beruntung dengan konsep masakan Nusantara, bahan baku dan bumbu yang mayoritas didapat dari dalam negeri, “Walau masakan lokal, harus dipikirkan pengemasan dan penyajiannya agar lebih cantik, walau rasa masakannya sudah enak,” ujar pria 55 tahun ini. Kita memang senang makan enak, tapi juga menikmati garnising masakan yang menarik juga. Kita sering lihat masakan di resto bergengsi, datang saat dibuka makanan yang disuguhkan di meja dengan ditutup untuk resto kelas michelin seperti restoran Prancis, bahkan kalau lihat terlalu cantik males makannya.

Kedai Tiga Nyonya tahun ini sudah 10 tahun, dikatakan Paul, memang diharapkan bisa terus langgeng hingga kapan pun. Ide masakan peranakan ini, tujuannya ingin melestarikan masakan dan resep yang dimiliki keluarga Paul. “Kami ingin mengenalkan masakan sehari-hari di keluarga kami, dikemas dengan menarik dan sehat, tanpa bumbu penyedap, bahannya pilihan juga, dipadukan dengan desain yang menarik dan ada khasnya,” ujar ayah satu putra yang kini bekerja sebagai konsultan di Accenture ini.

Ia sejak awal ide hingga resto ini berdiri, tidak ingin asal-asalan dalam menyajikan masakannya. “Kami bidik orang-orang kantoran, eksekutif, apalagi lokasi restonya dekat perkantoran,” katanya. Maka itulah sejak awal mendirikan resto Kedai Tiga Nyonya — gerai pertama di TIS Square, Tebet, Jakarta — adalah lokasi yang dekat dengan perkantoran, namun juga dengan lokasi sekitarnya yang juga ada perumahan atau tempat tinggal.

Jadi kala makan siang padat oleh orang kantoran, malam hari dan weekend masih ada order dari tempat tinggal. Mayoritas pemilihan pembukaan cabang lain pun diupayakan seperti itu. “Saya baru buka di Jungle Land, Sentul City/Sentul Nirwana, memang bukan lokasi dekat perkantoran, tapi di sana sangat berkembang,” ujarnya.

Paul kala membuka resto ini berusia 45 tahun, ia meninggalkan posisinya sebagai Direktur di Summarecon Group untuk mewujudkan impiannya memiliki usaha sendiri. Karena merasa bukan dari keluarga pebisnis, uang pun tidak banyak dari segi modal, maka itu Paul memilih mengembangkan restonya dengan sistem waralaba setelah beberapa tahun berdiri. Sistem ini memungkinkan resto ini bisa ada di beberapa tempat.

“Tahun 2003 kami buka gerai pertama, gerai kedua di Jalan Wahid Hasyim, sayang kemudian ditutup, bukan karena merugi, tapi karena lokasi diambil lagi oleh pemilik setelah habis kontrak,” ujarnya. Waktu itu gerai kedua dengan sistem kerjasama. Saat ini pihaknya belum lagi membuka cabang di daerah tersebut, walau ramai permintaan, karena faktor harga sewa lokasi yang mahal. “Kami kan inginnya stand alone, bukan di mal, jadi memang tinggi biaya sewa di sana menjadi kendala bagi kami,” imbuhnya. Tahun 2007 itulah mula pertama Kedai Tiga Nyonya membuka gerai pertama dengan sistem waralaba di Yogja (gerai ketiga).

Tahun 2008 buka di Kuta, Bali, tahun 2010 buka di Surabaya, 2012 buka di Lippo Cikarang, tahun 2013 buka di Jungle Land, Sentul City, tahun 2014 rencananya akan segera buka di dekat Perumahan Grand Cemara Asri, Medan, Sumatera Utara, tidak jauh dari Bandara Kuala Namu. “Mereka (franchisee) ingin buka selepas Imlek,” ujarnya.

Paul mengaku terbatasnya modal, yang membuat ia memutuskan tidak mengembangkan sendiri gerai Kedai Tiga Nyonya. Maka itu hanya gerai di TIS Square, Tebet saja yang dimilikinya 100 persen. Sisa gerai lain Kedai Tiga Nyonya merupakan pengembangan dengan waralaba. “Konsepnya banyak orang suka, itulah mengapa banyak yang minta buka di tempat lain,” ujarnya. Paul mengaku bukan tipe pengusaha resto yang agresif menjual waralaba restonya. “Saya tidak pernah promosi, beriklan bahkan mengikuti pameran waralaba untuk memperkenalkan ini,” akunya. Karena ia ingin yang berniat membuka resto ini karena dia benar-benar minat dan memiliki passion untuk mengelolanya.

“Masing-masing cabang memiliki owner (franchisee), saya meminjamkan nama saja. Bahan baku saya hanya menyampaikan list-nya, termasuk suplier-nya, mereka yang nego sendiri. Saya hanya menyediakan bumbu dasar (inti) dan resep yang memang wajib dari kami,” jelasnya. Konsep dari dekor, menu yang ada di Jakarta mereka bisa ambil, apakah mau sekaligus semua atau bertahap, mengikuti dari pusat. Training SDM juga tanggung jawab pihaknya. “Koki tidak harus yang jagoan, dari lulusan sekolah pariwisata, atau hotel berbintang. Saya bilang ke mereka, yang penting cari orang yang berbakat masak. Maka itu saat interview koki, saya dan tim akan datang bantu mereka,” jelasnya.

Melakukan tes pada koki memang dilakukan dengan cara sederhanya, mereka hanya diminta membuat masakan sederhada (tumis, gado-gado atau nasi goreng) dan sambal. Menurut Paul mereka yang berbakat dengan bahan sederhana akan menyajikan masakan enak, walau tanpa penyedap. Sebagai orang yang berpengalaman di bidang ini, ia bisa tahu mana yang terbiasa pakai bumbu penyedap, hanya berbekal ijazah dan mana yang memang punya bakat. “Maka itu kami tidak kesulitan dan harus bajak orang mahal-mahal untuk kebutuhkan koki,” imbuhnya. Koki itu merupakan didikan tim training-nya.

“Konsep kami memang tidak pakai vetsin, ini memang jadi masalah bagi koki yang biasa pakai itu,” imbunya.

Sejauh ini pihaknya tidak memiliki kesulitan dalam mencari koki. Diakuinya, untuk yang berniat buka di wilayah Indonesia Timur kendala SDM memang ada. “Saya baru dapat permintaan buka di Papua, baru saja saya pulang dari Manokwari, kendala yang ditemui rupanya SDM susah. Warga asli tidak terlalu minat jadi pelayan, juga bahan baku lebih mahal 30 persen,” ujarnya. Padahal di sana “uang cari barang”, jadi uang berlimpah, banyak orang cari makanan enak, tapi belum terpenuhi. “Maka itu franchisee memutuskan menggunakan satu tim dari Jakarta untuk SDM awalnya,” ujarnya. Untuk gerai Jakarta, Indonesia Tengah dan Barat, tidak mengalami kendala dalam penyediaan SDM.

Sudah 10 tahun berdiri, kreativitas dan inovasi di dalam bisnisnya terus dibangun. Walau tidak ada kaitan dengan restonya, Paul dan tim selalu menyempatkan mencoba setiap restoran baru yang buka. Ini sebagai upaya untuk memperkaya khasanah tentang masakan lain. “Seringnya kemudian timbul ide baru, eh kalau ini dipadukan dengan bahan ini kan lebih enak, jadilah menu baru,” imbuhnya. Namun ia tegaskan apa yang dibuatnya tidak sama dengan yang mereka buat. Justru yang ada keluar menu baru.

Paul yang mendirikan dan mengembangkan ini bersama istrinya, selain untuk refreshing, jalan-jalan ke resto lain merupakan upaya pengembangan itu. Ini juga ia lakukan hingga melihat ke resto luar. Mereka juga belajar bagaimana pengelolaan resto yang baik, hingga higienitas pengolahan masakan dan penyajiannya kala keliling ke resto-resto hingga ke luar negeri.

Suasana di restoran Kedai Tiga Nyonya

Suasana di restoran Kedai Tiga Nyonya

Selama mengembangkan ini, ia merasakan kenaikan harga akibat inflasi dan tuntutan UMR yang terus merangkak membuat kondisnya restonya harus berpikir lebih agar solusinya harus dengan kenaikan harga. “Kami tidak selalu memutuskan kenaikan harga dengan kondisi kenaikan itu, bisa dengan efisiensi dan meningkatkan produktivitas. Juga bisa dengan penyesuaian porsi makanan, yang terlalu besar agak dikecilkan, jika sudah pas ya tidak perlu,” ujarnya.

Kendala SDM dalam training adalah bagaimana mengajak karyawan disiplin dan mengubah kebiasaan buruk kurang bersih karena bawaan dari rumah (kebanyakan SDM dari daerah) menjadi lebih bersih. Maka itu Paul rutin mengajak anak buahnya (bergantian) ke luar negeri, untuk semacam studi banding ke resto di sana, bagaimana mereka mengelola kebersihan restoran, penyajian hingga belajar menu lain.

“Kami merasakan kala 10 tahun lalu awal buka resto ini, pemain bisnis kuliner tidak sebanyak sekarang. Kala itu memang banyak warung tenda, tapi tidak bertahan, dua tahun belakangan makin marak,” ujarnya. Menurut Paul ini tidak mengherankan, berdasarkan pengalamannya sebagai Direktur di Summarecon, di bisnis properti, penyewa tenant yang menurutnya membayar dengan lancar dan tak berkendala adalah resto dan rumah makan. “Kala krisis ekonomi biasanya penyewa tenant penjual pakaian agak berat. Ada tiga yang menurutnya tidak berkendala selain penjual F&B, adalah optik dan jewelery,” ujarnya.

Biaya-biaya yang terus naik ini yang membuatnya harus berpikir keras untuk bisa bertahan. Seperti kenaikan TDL (tarif daya listrik), UMR dan bahan baku. “Bahan baku misalnya, itu melonjak sejak sebelum lebaran, bahkan hingga kini tidak ada adjustment untuk turun,” ujarnya. Menurut Paul kenaikan biaya tetap lebih parah sekarang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kalau sudah naik, susah turun harganya. “Tapi saya pahami tekanan hidup memang bertambah, biaya hidup juga naik. Maka pada titik tertentu kami harus lakukan revisi harga menu makanan kami,” imbuhnya. Ada dua cara, bertahan di harga awal, atau mengurangi porsi menu (tergantu kondisi menunya). “Kami ada tim konsensus, dari dapur dan bagian servis yang mendengar pendapat dari pelanggan,” ujarnya.Atau solusinya dengan melakukan substitusi bahan baku, dengan tanpa mengurasi cita rasa.

Paul mengaku saat ini dibantu tim profesional, meski putranya lulusan akunting dari luar negeri, belum tertarik untuk join di bisnisnya. “Passion dia juga lebih ke masakan western, ya biarlah dia nikmati menjadi konsultan di Accenture,” ujarnya. Maka itu hingga kini ia dan istrilah yang mengembangkan usaha ini plus 4-5 orang profesional yang memikirkan manajemen dan pengelolaan waralabanya.

Ia akui, bisnis resto atau kuliner bukan bisnis yang bisa dikelola dengan manajemen asal atau warungan saja. Menurutnya yang paling penting harus ada komitmen dan passion di bisnis ini. “Passion itu buat kita tidak bosan. Jangan sampai memutuskan buka resto, hanya karena ikut-ikutan teman. Karena kalau begitu, ketemu kendala sendikit yang buat mereka pusing dan capai, langsung give up,” ujarnya.

Keputusan mewaralabakan bisnis pun bukan asal ikut-ikutan, menurut Paul ia pikirkan dengan baik. Bukan sekadar ikut-ikutan. Bukan karena ingin buka banyak cabang dan serakah juga. Bukanya Kedai Tiga Nyonya itu atas permintaan pelanggan yang memang jatuh cinta pada menu makanan mereka. “Saya sampaikan dan tegaskan ke franchisee, saya bukan pedagang bahan baku, jadi semua list suplier saya berikan ke mereka. Atau mereka mau cari suplier lain boleh. Maka itu sejak awal saya putuskan pembelian semua bumbu inti yang memang harus diambil di kami dibayar di depan, karena kami bukan pedagang dengan keuangan kuat,” jelasnya.

Paul tidak berkenan menyebut angka omsetnya. Yang jelas gerai yang dimilikinya sendiri di TIS Square, selalu penuh saat makan siang dan malam. Gerai dengan kapasitas duduk sekitar 80-an kursi itu kerap disewa untuk acara-acara khusus. Bahkan petinggi negeri ini sudah pernah makan di sana. Seperti putra Presiden RI, para menteri, juga pejabat tinggi lain. Untuk menjadi franchisee harus membayar franchise fee dan royalty fee dengan angka tertentu. Paul enggan dipublikasi angkanya sedang royalty fee mengikuti omset bruto setelah dipotong pajak per gerai, ada prosentase tertentu.

Rencana membua cabang lain, tentu ia menginginkan. Karena targetnya adalah ingin melestarikan masakan sehari-hari dan menu keluarganya yang memang enak. Hanya saja, Paul mengaku pihak yang pasif, bukan yang pro aktif menjual franchise-nya. “Semua yang menjadi franchisee yang mendekati saya, mereka yang cari saya karena suka pada masakan resto kami,” imbuhnya.Ia bersyukur Kedai Tiga Nyonya diminati dan responsnya sangat bagus. Dari semua cabangnya beragam, cukup ramai juga. Tentang harapan ke depannya, Paul berharap kekayaan budaya kuliner Nusantara makin kaya dengan resto yang menyajikan makanan peranakan ini. “Masakan peranakan adalah perpaduan banyak budaya. Dengan menyasar kelas menegah atas, menurutnya ini positioning yang tepat, terlebih ini terus tumbuh angkanya,” ujarnya.

Untuk terus sustain bisnisnya, tentu Paul sangat memikirkan ini. Ia ingin bisnis ini terus bertahan walau ia dan istri sudah tidak ada. “Mungkin ini jadi good news akhir tahun lalu, pihaknya sedang meliriknya untuk mengakuisisi merek restonya,” ujarnya. Beberapa grup besar yang bergerak di bisnis makanan kata Paul sudah lakukan penjajakan padanya. Karena ada emotional bonding saat mendirikan bisnis ini, Paul ingin tidak seluruh saham diambil alih, ia ingin masih ada kepemilikan saham untuknya dan istri walau sedikit kelak walau nanti sudah diambil alih.

Sayang ia belum mau menyebut siapa saja yang sudah melakukan pendekatan. “Brand value dan konsep unik lah yang membuat mereka tertarik. Kami yang pioner untuk konsep masakan peranakan,” katanya. Para calon investor itu melihat Kedai Tiga Nyonya sangat menarik, masakan enak, tapi tidak seterkenal resto lain yang sejenis. “Mereka bilang, mungkin karena kami belum masuk mal. Nah, untuk seperti itu kan butuh modal banyak. Nah saya harus cari partner yang satu visi,” imbuhnya. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved