Editor's Choice Entrepreneur

Lisa Kurniawaty Mihardja: Tantangan Terbesar adalah Membagi Waktu

Lisa Kurniawaty Mihardja: Tantangan Terbesar adalah Membagi Waktu

Perempuan inspiratif yang ikut diprofilkan kali ini adalah Lisa Kurniawaty Mihardja, seorang perempuan pengusaha yang mempekerjakan 300 karyawan sekaligus ibu 2 putri dan 1 putra. Usai pertemuan dengan pihak salah satu kedutaan besar dan sebelum kesibukan berikutnya, ia menyempatkan diri menerima wawancara SWA. Lisa, demikian mitra-mitra bisnisnya kerap menyapa bos Alleira Batik ini, tampil cantik dengan terusan batik khas Alleira. Berwarna dominan hitam putih dengan motif kembang bermahkota empat. Sekalipun sedang kurang sehat, antusiasme kelahiran 25 Februari 1976 ini tak luntur. Sesekali lemah lembut, sesekali tegas, namun selalu bersahabat. Demikianlah sisi-sisi karakter istri Suherman Mihardja ini yang ditangkap mata SWA.

Tapi, apa sebetulnya pemikiran pemilik mata cokelat ini tentang perempuan yang berwirausaha sekaligus berkeluarga ini? Ikuti wawancaranya dengan Rosa Sekar Mangalandum:

Lisa Kurniawaty Mihardja

Sejak kecil wanita sering dipandang lebih “lemah” dari laki-laki. Apakah perlakuan semacam itu sering Anda terima sete;ah dewasa di lingkungan keluarga, sekolah, pergaulan dan lingkungan?

Dari tiga bersaudara, saya anak bungsu. Anak pertama laki-laki dan kedua perempuan, tapi saya tidak mengalami perbedaaan dengan yang laki-laki. Memang keluarga saya terbuka. Kami diberi kesempatan yang sama. Saya tidak pernah punya perasaan ingin mengungguli kakak laki-laki. Pertama, karena usia kami jauh. Kedua, dunia kami juga berbeda.

Mau laki-laki atau perempuan, tidak ada yang diberi kesempatan yang berlebihan ataupun dilindungi berlebihan. Jadi, dalam hal pendidikan, saya dan kedua saudara sama. Sejak SMP, saya diberi kesempatan sekolah di Singapura. Kalau di pribadi saya, saya tidak bisa menceritakan pembedaan gender karena keluarga sangat terbuka.

Di keluarga suami saya, justru ada pembedaan. Perempuan memang lebih dimanja, lebih dilindungi. Sedangkan suami saya diajar dengan keras karena laki-laki. Tidak boleh cengeng, harus lebih maju, lebih berani karena dia anak laki-laki. Yang bisa saya ceritakan tentang keluarga suami adalah dia anak laki-laki satu-satunya sehingga harus meneruskan perusahaan keluarga.

Apa nilai-nilai dari keluarga yang membuat Anda seperti ini?

Di sekeliling saya, memang ada perempuan-perempuan pekerja. Tidak ada perasaan hanya ingin jadi ibu rumah tangga. Waktu itu tahun 1998. Teman-teman saya juga tahu, you must work. Kalau di rumah saja, tidak akan dihargai oleh suami. Terlalu tergantung itu tidak bagus.

Apa saja yang ditanamkan orang tua ketika mendidik Anda sehingga Anda tangguh menjalani usaha sekaligus rumah tangga?

Orang tua tidak menanamkan bahwa saya harus jadi wirausahawan, tetapi harus lebih sukses.

Wanita juga sering terjebak dalam stigma menjadi salah satu antara ibu rumah tangga atau perempuan pekerja. Padahal fakta menunjukkan bahwa banyak yang bisa mewujudkan keduanya. Bagaimana ibu bisa menghilangkan stigma ini?

Diri sendiri harus memilih dan harus kuat, pilihan kita apa. Ingin jadi perempuan pekerja, jelaskan pada keluarga. This is my life. Tidak bisa hanya menjadi ibu rumah tangga. Saya tidak bahagia. Ya, perempuan harus menjelaskan bahwa dia tidak bahagia. Kita juga tidak ingin suami istri tidak bahagia di rumah.

Tapi, ada juga perempuan yang bahagia tinggal di rumah, jangan salah. Kebanyakan perempuan di luar sana bekerja karena terpaksa. Misalnya, karena masalah ekonomi. Jadi, perempuan terpaksa mencari double income untuk satu keluarga.

Saya rasa, kalau perempuan tidak bahagia jadi ibu rumah tangga, just speak up. Dapatkan dukungan dari laki-laki di sekelilingnya. Dari siapa? Dari suami, anak-anak.

Apakah perempuan yang bekerja sambil berumah tangga menghadapi keadaan yang berat?

Pada umumnya, yang saya lihat memang demikian. Tapi, perempuan harus dapat dukungan juga dari laki-laki di sekelilingnya, bisa jadi suami dan anak-anak. Banyak juga perempuan yang sukses dalam keluarga dan karier juga, tapi tidak banyak persentasenya. Karena kalau suami bilang pada istri, “Kamu tidak di rumah saja,” dan istri memang bisa melakukannya, kenapa tidak?

Pernah suami minta agar saya tinggal di rumah saja karena kesibukan saya di luar. Tapi, saya bisa beri pengertian bahwa saya keluar bukan untuk berpesta, melainkan ada hasilnya, selama bisa menyeimbangkan. Namanya wirausahawan, kita punya our own free time. (Maksud narasumber, berbeda dengan perempuan yang bekerja di kantor fixed time.)

Dalam pekerjaan, saya merasa, perempuan menghadapi banyak hambatan, khususnya di kantor saya. Saya harus mentoleransi bawahan karena saya pemimpin perempuan. Kalau anak mereka sakit, pimpinan harus paham. Tapi, apakah sakitnya hanya dipakai sebagai alasan? Kalau melebihi batas wajar, pimpinan akan mempertanyakan.

Pengalaman saya pribadi dalam usaha, perempuan memang mengalami hambatan dalam hal anak, adanya suami, mertua. Jika sedang berada di kantor, tapi kemudian anaknya sakit, perempuan harus segera pulang ke rumah. Anak saya, misalnya, akan telepon ibunya, bukan ayah. Suami saya masih bisa di kantor, tapi saya harus pulang. Itulah hambatannya, karena ada anak. Ketika suami dan ibu mertua sakit, perempuan harus pulang juga, kan.

Maka, perempuan adalah manusia yang paling hebat. Multi-tasking. Di keluarga, dia bekerja. Di luar, dia juga bekerja.

Apa saja pengalaman menarik atau tantangan yang pernah Anda alami ketika berhubungan dengan mitra bisnis atau masyarakat karena ibu wirausahawan perempuan?

Karena saya membuka usaha di bidang mode, kebanyakan mitra bisnis justru perempuan. Tidak ada masalah.

Tapi, yang saya tahu, kalau seorang perempuan bekerja di divisi pengembangan bisnis (business development), apakah dia bisa jadi pengambil keputusan? Karena pengambil keputusan biasanya laki-laki. Di Indonesia, masih ada pembedaan berdasarkan gender.

Meskipun demikian, saya selalu bilang pada tim saya yang 92% adalah perempuan, “Jangan takut. Kamu adalah pekerja. Suamimu adalah pekerja. Tapi, kamu masih mengurus rumah tangga dan anak. Berarti, kamu melebihi suami kamu.

Perempuan itu luar biasa. Mereka bekerja dari jam 9.00 sampai 17.00. Pulang, masih pegang anak. Masih melahirkan. Masih menyusui. Masih mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi, kariernya bisa naik.

Kalau karier istri lebih tinggi daripada suami, kebanyakan rumah tangga mereka lebih rentan. Ini terjadi pada salah seorang staf saya. Ia menaiki jenjang karier, namun suaminya tetap tukang ojek. Bagi saya, kebahagiaan keluarga staf juga nomor satu. Maka, manajemen memutuskan merekrut suaminya sebagai satpam.

Bagaimana keadaannya dalam keluarga?

Anak saya tiga orang. Pertama dan kedua perempuan, ketiga laki-laki. Beda usia mereka agak jauh, yaitu 10, 9, 4 tahun. Biarpun Edwin, anak bungsu saya, laki-laki, tidak ada perbedaan sama sekali dengan anak-anak perempuan saya.

Ada asisten rumah tangga juga yang membantu anak saya. Kenapa tidak? Saya harus bekerja sama dengan asisten rumah tangga.

Saya pernah dengar keluhan dari anak bahwa saya terlalu sibuk. Suatu hari di sekolahnya, anak saya yang dulu kelas 2 SD pernah bilang, “Saya ingin jadi seperti Ibu. Eh, tidak, tidak. Tunggu. Dia terlalu sibuk.” Dan saya merasa, oke, ini saatnya saya berubah. Memang waktu itu, saya sangat sibuk karena masih merintis usaha. Tidak gampang karena saya harus sering keluar. Maka, saya belajar menyeimbangkan.

Saya mesti mengakui, pernah anak saya lebih dekat dengan pengasuh daripada dengan saya. Itu terjadi ketika anak sulung saya masih berusia tiga tahun. Saya sedang sibuk-sibuknya merintis usaha saat itu. Anak saya terjepit pintu mobil. Tapi, dia malah memeluk pengasuhnya, padahal saya ada di situ. Dan saya menangis melihat itu. Saya bilang, “Hei, saya ibumu. Saya di sini. Kamu harusnya peluk saya.” Akhirnya, saya ambil dia dari pengasuh.

Boleh ceritakan, seperti apa rutinitas Anda (sejak pagi hingga petang)?

Saya bangun jam 5.00. Demikian juga anak-anak. Saya tidak memandikan mereka karena mereka sudah besar. Anak-anak sibuk sendiri, saya juga sibuk sendiri. Saya sangat modern, saya tidak menyiapkan sarapan karena sarapan sangat mudah. Sereal, susu, roti. Tidak ada proses komunikasi saat sarapan karena terlalu pagi. Anak saya belajar di Sekolah Pelita Harapan (SPH) di Karawaci, sedangkan keluarga tinggal di Kebon Jeruk. Jam 5.50, dia harus sudah berangkat. Ini rutinitas sejak anak masih TK. Anak sulung pulang sekolah jam 17.00. Saya pulang jam 17.00 juga. Mandi, makan, nonton televisi sebentar. Lalu anak mengerjakan PR, sedangkan saya baca koran atau mengerjakan pekerjaan sendiri. Jam 20.00, saya memeriksa PR mereka. Jam 21.00, tidur.

Anak saya sekolah dari jam 6.00 pagi sampai 17.00 sore. Ibunya juga sibuk. Jadi, saya dan suami selalu berkompromi. Kalau saya pulang setelah jam 18.00, suami saya pulang duluan. Kalau suami saya pulang setelah jam 18.00 juga, saya bisa pulang duluan. Saya punya mitra yang hebat-hebat. Maka, tidak semua acara harus saya tangani sendiri. Saya menangani semua acara hanya di masa-masa merintis usaha.

Lebih mementingkan bisnis atau rumah tangga?

Prioritas utama saya keluarga. Tapi, bisnis adalah prioritas berikutnya. Jadi, harus saya harus bisa negosiasi. Tanggal acara di sekolah anak kan, tidak bisa diganti. Misalnya sudah janji untuk nonton dengan anak-anak, saya harus menepati. Itu sangat penting. Kalau tidak, mereka akan kecewa. Kalau saya memang saya tidak bisa nonton, saya harus bilang lebih dulu.

Tapi, saya sangat suka bekerja jadi saya tidak merasa bekerja sama sekali. Saya bekerja, satu, untuk mencari nafkah. Kedua, karena saya bahagia. Dan di rumah, saya sangat mencintai posisi saya sebagai seorang ibu, istri, menantu. Tidak merasa bekerja juga. Jadi, saya lebih menikmati hidup.

Bagaimana Anda mengalokasikan waktu untuk keluarga?

Sampai detik ini, saya masih memeriksa PR anak saya. Saya masih menandatangani sendiri buku agenda komunikasi anak saya. Kalau saya sedang tidak di Jakarta, pakai teknologi. Kalau tidak mengerti PR, anak bisa tanya saya lewat BlackBerry. Saya juga tidak bisa melewatkan event di sekolah anak.

Kalau ada asisten, kenapa tidak dimanfaatkan? Asisten rumah tangga atau pengasuh bukanlah pengganti ibu. Mereka hanya membantu ibu.

Buku vaksinasi anak saya lebih lengkap daripada buku vaksinasi anak ibu-ibu lainnya. PR anak saya juga lebih lengkap dan teratur dengan PR anak ibu-ibu yang saya tahu. Karena apa? Gunakan teknologi, catat di agenda. Contohnya, Edwin harus divaksin berikutnya tanggal sekian. Alarm akan bunyi dua hari sebelumnya. Jadi, saya akan tahu untuk tidak bikin janji temu hari itu. Contoh lain PR. Peran asisten rumah tangga penting juga karena dia akan bilang, “Ayo Tiffany, Carys, Edwin, PR kasih ke Mami!”

Sabtu-Minggu adalah waktu bagi anak-anak. Saya sering mengajak mereka ke mal. Mereka sudah hapal, “Kita pasti ke mal yang ada Alleira Batik, dong. Kan, Mami sekalian kerja, sekalian checking.” Saya memang membawa mereka untuk melihat ibunya bekerja. Sekarang mereka membantu saya dengan mengawasi CCTV.

Jadi, saya membagi waktu dengan bantuan teknologi dan asisten rumah tangga. Kami tidak bisa melakukan semua sendiri. Kami bukan superwoman. Dengan kehidupan wirausaha seperti ini, kalau ada teknologi, kenapa tidak dimanfaatkan?

Bagaimana Anda memberi pengertian pada anak-anak?

Saya memang ibu yang tegas karena saya percaya, pohon akan mengikuti arah yang kita tetapkan. Kalau mau pohon mengarah ke kiri, kita tinggal ikat ke kiri. Sama halnya dengan anak.

Saya tidak mau bilang bahwa saya bekerja karena mesti cari uang atau bayar uang sekolah anak. Saya bilang pada anak saya, “Mami bekerja karena Mami bahagia dengan itu. Dan bahagia juga saat bersama kamu.” Saya bahagia saat sedang bekerja. Ini hidup saya. Saya juga bahagia sebagai ibu saat berada bersama anak. Namun, saya tidak mau munafik mengatakan saya tidak butuh pekerjaan. Mungkin secara ekonomis, suami saja sudah bisa membantu keluarga. Tapi secara mental, saya tetap butuh aktualisasi diri.

Dulu, Tiffany pernah bilang, “Saya sangat sedih karena harus bilang jauh-jauh hari pada Mami kalau ada Balet Day, Soccer Day di sekolah.” Sementara teman-temannya tinggal bilang pada ibu mereka sehari sebelum acara, “Bu, besok ada ini. Besok ada itu.”

Maka, saya bilang pada anak, “Tiffany, I don’t have the luxury of free time. Saya bekerja di luar rumah dan punya asisten rumah tangga untuk bantu karena saya memilih seperti itu. Bedanya, ibu yang tinggal di rumah punya waktu mereka sendiri. Kamu harus belajar menerima keadaan bahwa kamu punya seorang ibu wirausahawan.” Jadi, dia harus beritahu jauh sebelum acara. Guru juga tidak mungkin beritahu mendadak kan, paling tidak seminggu sebelumnya. Saya akan ubah atau jadwal ulang kegiatan saya untuk bisa datang ke sekolah. Kecuali kalau saya janji dengan presiden, mungkin berbeda, ya, ha ha ha.

Walaupun pada awalnya dia mengatakan bahwa ibunya terlalu sibuk, kini anak sulung saya ingin jadi businesswoman. Anak sulung saya ini memang sangat speak out.

Terus terang dalam keluarga saya, ada peran good cop dan bad cop. Saya kompromi dengan suami, “Kamu mau jadi bad cop atau good cop?” Kami harus ngomong. Kalau tidak bicara di depan, susah. Kan, tidak bisa dua-duanya jadi good cop. Maka, saya bad cop, suamilah yang good cop. Suami saya berperan sebagai ayah terbaik di seluruh dunia. Anak-anak tahu, kalau mereka ingin bersenang-senang, mereka datang pada ayahnya. Tapi, waktu mereka sakit, perlu ke dokter, punya PR, ada urusan dengan sekolah, perlu serius, perlu curhat, datang pada ibu.

Terkadang, saya menjadi good cop juga. Kalau suami saya marah, saya menjadi good cop. Sebaliknya kalau saya marah, suami yang jadi good cop.

Di samping itu, keluarga saya punya komitmen untuk merayakan ulang tahun pertama tiap anak, baik Tiffany, Carys, maupun Edwin. Tujuannya, untuk memperkenalkan pada keluarga, ini anak saya yang pertama, kedua, kemudian ketiga. Tapi, hanya ulang tahun pertama. Ulang tahun ke-2 sampai ke-15 harus dirayakan di panti asuhan atau dengan orang yang membutuhkan. Kami ajak anak-anak difabel untuk merayakan bersama. Kalau saya punya rezeki, ulang tahun ke-16 dirayakan.

Mengenai liburan, saya juga jadi bad cop. Saya bilang pada anak saya, “Tiffany, ayah dan ibu mampu membeli tiket kelas bisnis. Tapi, coba kamu pikir, apakah layak? Biayanya berapa banyak? Sama seperti kamu merayakan ulang tahun di hotel, misalnya.” Apakah berguna mengundang 20 orang ke hotel, sementara kita bisa beri makanan pada 200 orang dengan biaya yang sama. Saya beri pemikiran logis pada anak. Dia bisa beri kebahagiaan pada 200 anak lainnya. Saya terapkan ini dalam pekerjaan, saya terapkan juga dalam keluarga.

Apakah pernah mengalami dipersulit oleh mitra bisnis karena Anda seorang perempuan?

Dalam bisnis, saya adalah pimpinan atas perusahaan saya sendiri. I’m the boss. Tapi, itu hanya terjadi dalam pekerjaan. Di rumah, tanggalkan embel-embel bosnya. Anda menjadi mitra dalam rumah tangga, sebagai istri, ibu, menantu. Bukan bawahan. Suami saya adalah pimpinan keluarga. Dia ambil keputusan penting, tapi lewat diskusi.

Apa tantangan terbesar melakoni peran ganda?

Membagi waktu. Itu benar-benar tantangan luar biasa. Saya tidak membuat pembagian waktu yang baku dalam seminggu atau sehari. Tapi, ada garis besar, yaitu saya harus berada di rumah ketika anak-anak ada di rumah. Karena itu, saya sengaja memilih kantor di dekat rumah meskipun di kampung. Begitu pulang sekolah, anak saya harus menelepon saya. Saya akan menyesuaikan waktu saya. Dalam 30 menit, saya mesti pulang.

Waktu adalah ujung semuanya. Keterbatasan waktu menyebabkan saya tidak bisa memantau kegiatan anak dan berbagi quality time. Menurut saya, semua persoalan waktu. Apalagi, kini anak-anak sangat kritis. Mereka tidak bisa diberi alasan sekadarnya.

Sejauh mana keterlibatan Anda di lingkungan sosial atau komunitas?

Di luar pekerjaan, saya aktif di beberapa yayasan. Sebagai Buddhis, keluarga aktif di wihara juga. Di wihara kami, ada sekolah Minggu, bakti sosial, sumbang darah, donasi sembako. Keluarga terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Selain itu, dalam satu tahun, keluarga lima kali ke panti asuhan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved