Editor's Choice Youngster Inc. StartUp

Lucky Dana Aria, Orbitkan Jam Tangan Bermaterial Kayu

Lucky Dana Aria, Orbitkan Jam Tangan Bermaterial Kayu

Lucky Dana Aria

~~

Kala masih sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Dino Patti Djalal pernah menantang para pengusaha Indonesia untuk bisa membuat jam tangan bermaterial kayu. “Ketika itu, lewat Twitter, Pak Dino memperlihatkan jam tangan kayu yang dipakainya, dan menantang, ‘Ayo, siapa pengusaha Indonesia yang bisa bikin jam tangan kayu?’,” ujar Lucky Dana Aria, menirukan.

Anak muda kreatif asal Bandung ini mengaku merasa tertantang. Setelah melalui pelbagai usaha kerasnya, ia pun berhasil mengubah potongan kayu sonokeling dan mapel menjadi jam tangan berbahan kayu. “Setahun kemudian saya hubungi lagi Pak Dino,” kata Lucky dengan nada bangga.

Lucky menuturkan, pada awal 2012 ia memulai upaya tersebut, dengan melakukan riset pembuatan jam tangan berbahan kayu ini. Lalu, ia mencari tukang yang bisa membuat jam tangan kayu ini sebagai mitranya. Ia juga mencari mesin yang cocok untuk jam tangannya, dan dipilihlah mesin Minolta dari Jepang. Setelah menjalani proses trial and error, eco watch ini pun berhasil dibuat. Lucky memilik merek Matoa. “Filosofinya, Matoa itu pohon asli dari Papua, yaitu pohon yang besar dan tinggi. Inginnya sih bisnis kami bisa seperti itu,” ucap pria kelahiran Bandung 23 Maret 1986 ini penuh harap.

Lucky mengaku, modal awal yang dibenamkannya Rp 30 juta. Dana itu terutama digunakan untuk riset dan membeli mesin. Untuk kebutuhan mesin sekitar 30%. Adapun kayu yang digunakan berasal dari limbah industri furnitur dan kayu baru. “Maunya sih semua bahan bakunya dari limbah, sehingga biayanya akan lebih murah. Tetapi, ternyata ada beberapa bagian yang tidak bisa memakai limbah, makanya dicampur,” Lucky menjelaskan.

Diakuinya, proses pembuatan jam tangan kayu ini melalui serangkaian langkah yang cukup panjang. Mulai dari pemilihan bahan baku kayu yang rumit: jika memakai limbah, harus tahu limbah apa, sudah berapa lama disimpannya, dan bagaimana karakter kayunya. Setelah itu, baru melewati prosesnya : pembubutan, perakitan (mesin, kaca, komponen, dsb.). Dilanjutkan dengan proses finishing, kontrol kualitas, hingga pengemasan.

Jam tangan Matoa mulai dipasarkan pada Februari 2013, dengan tiga tipe yang hanya berbentuk kotak, yaitu Rote, Flores dan Sumba. Kini, Matoa terdiri dari lima tipe, yaitu Rote, Flores, Sumba, Moyo dan Gili, yang berbentuk kotak dan bulat.

Yang berbentuk kotak harga jualnya Rp 890 ribu per buah, dan yang berbentuk bulat Rp 980 ribu per buah. “Ketika pertama kali berjualan Matoa di Jakarta, dalam waktu empat hari saja sudah terjual 100 unit. Melihat respons ini, saya semakin yakin bahwa ternyata pasarnya memang ada,” kata mantan profesional di sebuah perusahaan kue kering di Bandung ini.

Diklaim Lucky, yang menjadikan Matoa diterima pasar dengan baik adalah keunikan bahan bakunya. Di sisi lain, targetting konsumennya cukup pas. Matoa sejak awal dibuat memang untuk menyasar segmen anak muda usia 20-35 tahun dengan kelas sosial A, B, B+. Karena itu, model pemasarannya pun banyak mengandalkan sistem online (Internet), yakni hampir 85% melalui situs Web, Twitter dan Instagram; sisanya 15% melalui aktivitas offline, seperti pameran, titip jual, dan promosi word of mouth. “Matoa membidik kaum muda, yang biasanya selalu haus akan sesuatu yang baru. Karena itu, kampanye yang saya lakukan memakai media yang banyak digunakan anak muda,” ucap Lucky. Ada lagi satu keistimewaan bisnis Lucky. “Dalam campaign kami disebutkan, setiap terjual 500 unit jam tangan, saya akan menanam lagi 500 bibit pohon baru,” katanya.

Saat ini, dibantu 11 karyawan, bisnis jam tangan kayu yang dikembangkan Lucky bersama dua rekannya ini — Joel Jonathan dan Ilham Pinastiko — mampu memproduksi 300 unit jam per bulan. Sekitar 80% produknya dijual ke pasar lokal. Adapun sisanya (20%) dipasarkan ke mancanegara, seperti Jepang, Singapura dan Malaysia. “Bahkan dengan kapasitas 300 unit per bulan, demand masih selalu ada. Sekarang saya hampir tidak punya stok. Jika orang ingin memesan sekarang, barangnya tidak bisa langsung dibawa. Jadi ada antrean, dengan sistem pre-order,” kata Lucky.

Pihaknya memang tidak menggenjot jumlah produksi sebanyak-banyaknya karena ingin fokus pada kualitas. Ia pun memberi jaminan satu tahun, jika ada kerusakan mesin, akan diganti dengan produk baru. “Penjualan per bulan kami Rp 200-250 juta,” ungkapnya.

“Ke depan, saya ingin bikin model baru yang ada penanggalannya, lalu ingin bikin jenis digital, bahkan mimpinya sih bikin smart watch dari kayu,” kata Lucky bersemangat. Yang pasti, ia berencana meningkatkan penjualan ekspornya. “Dalam waktu dekat akan ekspor ke Jerman.”

Kejelian Lucky mengembangkan jam tangan berbahan kayu mendapat acungan jempol dari

konsultan dan pengamat bisnis dari Direxion, Jahja B. Soenarjo. “Anak muda ini patut diacungi jempol. Namanya melejit karena ide kreatifnya untuk produk jam tangan ramah lingkungan,” ucap Jahja.

Kendati begitu, Jahja melihat Lucky akan menghadapi tantangan pada tahap market-entry yang membutuhkan edukasi pasar secara berkelanjutan dan lebih dari sekadar membangun brand awareness, melainkan juga mendapatkan trust masyarakat terhadap produk lokal ini. Pasalnya, menurut Jahja, keunikannya relatif mudah ditiru, sehingga Lucky harus segera mematenkan produk dan mereknya, serta bergerak cepat membangun pasar, yang dapat dimulai dari komunitas.

Jahja menyarankan pula agar Lucky memanfatkan dengan baik isu perhatian terhadap lingkungan. Yakni, dengan tetap konsisten membangun pasar dan merek secara sinkron, melalui komunitas pencinta lingkungan, pemanfaatan media sosial secara aktif, pelibatan tokoh dan artis yang pencinta lingkungan, serta keikutsertaan dalam pameran- pameran yang bertemakan ramah lingkungan. “Ia juga harus melakukan inovasi desain secara berkelanjutan,” kata Jahja lagi. (*)

A. Mohammad B.S. & Ferdi Julias Chandra/Riset: Armiadi


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved