Editor's Choice Entrepreneur

Membangun Bisnis dengan Human Touch Management

CK Song, Korea, KMK, entrepreneur

CK Song

Beberapa waktu yang lalu, kami sempat mendapatkan sebuah kisah yang cukup menarik tentang seorang sosok pemimpin perusahaan yang cukup dicintai oleh bawahannya. Sosok tersebut adalah, C. K. Song, CEO dari PT KMK Global Sport, perusahaan manufaktur sepatu merek Nike, di kawasan Cikupa, Tangerang.

Dari kisah tersebut, kami mendapatkan satu hal yang cukup menarik dari kepemimpinan sosok yang biasa disapa Mr. Song ini. “Human Touch Management”, begitulah filosofi yang dipegang dan dijalankan Mr. Song dalam memimpin perusahaan, yang kemudian membuat kami yang mendengar kisah tersebut merasa cukup tertarik untuk mengupas lebih dalam mengenai gaya kepimpinan seorang Mr. Song dengan filosofi “Human Touch Management” nya ini.

Bukan apa-apa, filosofi yang dijalankan Mr. Song ini ternyata membuahkan hasil yang cukup manis. Perusahaan yang dipimpinnya mampu berkembang menjadi perusahaan yang cukup besar dengan dukungan yang cukup maksimal dari para pekerjanya. Kecintaan karyawan terhadap sosok Mr. Song, berimbas kepada munculnya rasa memilki karyawan yang cukup besar terhadap perusahaan yang secara resmi berdiri pada tahun 1994 ini. Dari situ tentu cita-cita untuk menjadi perusahaan yang disegani dalam industri manufaktur sepatu pun semakin terwujud.

Banyak cerita yang dapat dikisahkan dari filosofi yang dilahirkan oleh pria kelahiran 1 Januari 1957 ini. Dengan segala kerendahan hati, cinta dan kepedulian, komunikasi dari hati ke hati, kecerdasan dan kejenakaannya dalam bekerja, dan dan juga senyum, menjadi hal yang tak pernah ia tinggal dalam memimpin perusahaann ini. Ya, senyum bagi Mr. Song berarti banyak dalam berhubungan dengan setiap manusia, termasuk dengan karyawannya.

Berikut wawancara Radito Wicaksono dari SWA dengan Mr. Song:

Bisa diceritakan awal mula masuk dan berbisnis di Indonesia? Sejak kapan mulai berbisnis di Indonesia? Awalnya menjalankan bisnis apa? Kapan mulai menggarap bisnis sepatu? Kenapa tertarik menggeluti bisnis sepatu?

Saya datang ke Indonesia pada tahun 1988. Saat itu, saya berencana menghampiri teman yang sudah lebih dahulu berbisnis di Indonesia. Rencananya saya ingin membangun bisnis di Indonesia. Teman saya tersebut sempat mengajak saya untuk datang ke Indonesia, dan saya pun tertarik dengan ajakan teman saya itu.

Pada saat keberangkatan ke Indonesia, istri saya sempat sedih. Istri saya sempat menangis ketika mengantar kepergian saya ke Indonesia. Kondisi saat itu memang sedikit memaksa saya untuk berangkat ke Indonesia, walaupun saya tidak memilik banyak uang ketika itu. Namun, ternyata ayah dari istri saya berkenan untuk membantu saya supaya bisa pergi ke Indonesia. Ketika saya hendak pergi, sambil menangis istri saya mengantungkan US$ 300 ke kantong jaket saya. Momen tersebut tidak bisa dilupakan.

Kemudian saya berhasil sampai di Indonesia. Lalu, saya langsung bertemu dengan teman yang sudah lebih dahulu ada di Indonesia. Baru sampai di Indonesia, kenyataan pahit harus saya terima. Ternyata, teman saya tersebut mengalami kegagalan dalam berbisnis. Uang dia pun sudah habis terpakai.

Namun, saya sudah terlanjur sampai di Indonesia. Saya merasa tidak boleh menyerah pada kondisi saat itu. Saya bertekad untuk meneruskan niat saya datang ke Indonesia untuk berbisnis. Dengan modal yang cukup sedikit, saya tetap berusaha. Teman saya tersebut, saya sarankan untuk kembali saja ke Korea.

Dengan modal kamar hotel yang sudah diselesaikan pembayarannya oleh teman saya tersebut, lantas saya tinggal di sana. Saking tidak punya uang, saya masih makan pagi dari fasilitas sarapan gratis yang disediakan di hotel tersebut. Kondisi saya saat itu benar-benar seperti orang susah.

Kebetulan, sebelumnya di Korea saya sudah sempat berkecimpung di industri manufaktur sepatu. Jadi saya lumayan menguasai industri tersebut. Saya coba untuk tetap menggunakan pengetahuan saya pada industri tersebut untuk berbisnis di Indonesia.

CK Song, Korea, KMK, entrepreneur

CK Song

Dengan pengetahuan saya pada industri sepatu yang saya miliki, saya mencoba untuk datang ke pabrik-pabrik sepatu untuk membantu bisnis mereka. Rencananya, saya mencoba untuk membantu mereka untuk membeli bahan baku untuk memproduksi sepatu. Hanya dengan modal pengetahuan yang sebelumnya saya sudah dapatkan di Korea, dan beberapa kontak bisnis yang saya punya, saya memulai usaha untuk menawarkan bahan baku sepatu tersebut ke pabrik-pabrik di sini.

Perjalanan saya ketika memulai bisnis tersebut sangat sulit. Saya harus datang jauh-jauh dari Jakarta ke pabrik-pabrik sepatu di kawasan Tangerang ini menggunakan angkutan umum, yaitu bis. Saya naik bis dari terminal Blok M, dan harus menempuh jarak yang sangat jauh ke Cikupa, Tangerang. Padahal, jika saya pergi ke Cikupa, saya menggunakan pakaian layaknya seorang bos, lengkap dengan dasi dan koper. Orang pikir saya orang kaya saat itu, padahal saya benar-benar tidak punya uang banyak.

Satu per satu pabrik di Cikupa ini saya hampiri. Ketika sampai di pabrik, saya langsung meminta untuk bertemu dengan bagian purchasing di pabrik tersebut. Dengan kemampuan bahasa yang saya kuasai saat itu hanya bahasa Korea dan Inggris, saya berkomunikasi dengan orang-orang saya temui di pabrik, seperti satpam, dengan menggunakan bahasa Inggris.

Dari usaha saya tersebut, tidak jarang saya ditolak untuk masuk dan bertemu dengan bagian purchasing di pabrik tersebut. Alasannya, karena saya belum bikin janji terlebih dahulu untuk bertemu dengan bagian purchasing tersebut. Memang setiap saya datang ke sana, saya tidak pernah membuat janji terlebih dahulu. Saya langsung datang saja ke sana.

Beruntungnya ada beberapa perusahaan yang mau menerima saya. Saya pun mulai melakukan beberapa kerja sama dengan mereka. Saya membantu mereka untuk mencari bahan baku untuk produksi produk sepatu di perusahaan mereka. Bisa dibilang saat itu saya seorang “makelar” bahan baku sepatu.

Di tengah perjalanan bisnis saya saat itu, saya sempat bertemu dengan orang Korea lainnya yang sudah memiliki usaha di sini, salah satunya restoran Korea. Saya diajak makan di situ. Di restoran tersebut saya sempat lihat ada sebuah ruangan yang tidak terpakai. Saya sampaikan ke orang tersebut kalau saya ingin meminjam ruangan tersebut untuk melakukan pekerjaan saya saat itu. Ternyata permintaan saya diterima.

Lantas, saya menggunakan ruangan tersebut untuk bekerja. Ruangannya tidak besar, bahkan bisa dibilang cukup kecil. Tapi, saya pergunakan ruangan tersebut sebaik mungkin. Di sana saya juga banyak berkenalan dengan karyawan-karyawan restoran tersebut. Saat itu, banyak orang-orang di sana yang membantu saya jika saya butuh sesuatu.

Dari situ saya mulai banyak tahu tentang karakter orang Indonesia. Orang Indonesia sangat baik dan cukup sederhana. Jika saya butuh bantuan, saya selalu memintanya dengan baik-baik dan selalu diiringi senyum. Ternyata, orang-orang tersebut mau membantu saya. Terlebih lagi, mereka selalu tidak meminta imbalan apa-apa. Jika saya kasih sedikit uang, mereka selalu menolak. Mereka seperti senang membantu saya. Disitu saya sudah mulai melihat bahwa orang Indonesia cukup dikenai saja hatinya, dengan bersikap baik kepada mereka, pasti mereka akan membantu.

Kemudian, saya mulai mendapatkan hasil dari pekerjaan saya saat itu. Sedikit demi sedikit saya sisihkan, hingga kemudian saya mampu membentuk perusahaan sendiri, walaupun ukurannya tidak begitu besar.

Bagaimana perjalanan dia membesarkan bisnis sepatu?

Untuk tonggak sejarah saya membangun bisnis ini sebenarnya dimulai pada tahun 1988, ketika saya sampai di Indonesia. Pada tahun tersebut saya juga memulai usaha trading bahan baku sepatu di Indonesia ini. Kemudian pada tahun 1989, saya mendirikan perusahaan sendiri bernama Korin Trading Corporation.

Tahun 1990-1993, saya mulai melakukan usaha manufaktur sepatu sendiri. Pada tahun-tahun tersebut, saya mendapatkan kerjasama untuk menjadi agen tunggal produk sepatu Converse dari Amerika Serikat. Di saat-saat ini, saya mulai melihat bahwa kenyamanan bekerja menjadi hal yang sangat penting dalam melakukan pekerjaan. Saat itu, saya mulai mencari tahu untuk membuat para pekerja di perusahaan merasa nyaman dalam bekerja.

Di tengah-tengah antara tahun 1990-1993, tepatnya pada tahun 1991, seorang pemiliki perusahaan bernama FS Santosa, mengajak bekerja sama dengan saya. FS Santosa memiliki perusahaan beranma PT Karet Murni Jelita (KMJ). KMJ sendiri saat itu merupakan perusahaan manufaktur sepatu Reebok dan Adidas, dengan produksi 400.000 pasang sepatu per bulan. Ketika itu, saya diminta FS Santosa untuk melihat bisnis dari perusahaan KMJ. Dengan modal pengetahuan saya tentang industri manufaktur sepatu yang saya dapatkan di Korea dulu, saya membantu KMJ dan menjalankan kerjasama.

Tonggak berikutnya, terjadi pada tahun 1994. Saat itu, kami mengambil alih sebuah pabrik manufaktur sepatu yang telah beroperasi selama 4 tahun bernama PT Gunung Sewu Pratama dan membentuk perusahaan yang saat ini masih berdiri, yaitu PT Karet Murni Kencana (KMK). Saat itu, pertama kali kami punya pabrik. Di saat itu juga, KMK mampu memproduksi 100.000 pasang sepatu untuk Converse. Tahun 1995, Nike mengambil alih seluruh fasilitas yang ada di KMK dan KMJ, untuk kemudian memproduksi sepatu Nike, dengan kapasitas produksi saat itu mampu menghasilkan 500.000 pasang sepatu.

Pada tahun 2000, kami melakukan usaha patungan dengan YY Investment, untuk membangun konsep perusahaan manufaktur sepatu baru bernama KMK Global Sport. Saat itu, kami memproduksi sepatu dengan menggunakan 17 cara perakitan. 10 menggunakan teknik semen dingin untuk produk sepatu Nike, dan 7 menggunakan teknik yang disebut Autoclave untuk produk sepatu Converse, dengan total kapasitas produksi mencapai 900.000 pasang sepatu sebulan.

Tahun 2001, kami memulai operasi pabrik baru dan menjadi pabrik utama dan terbesar kami yang disebut K1. Tahun 2003, kami mendirikan RCI (Recycle Centre Indonesia), pertama dan satu-satunya recycle center alas kaki di Indonesia. 2004, kami menambahkan satu lagi teknik perakitan sepatu untuk produk Nike dengan menggunakan teknik autoclave. Dan 2006, 4 jalur perakitan dengan autoclave kembali ditambahkan dalam perakitan sepatu Nike.

Di tahun 2006 juga, menjadi salah satu tonggak terpenting bagi perjalanan KMK. Pada tahun tersebut, KMK mendirikan anak perusahaan baru bernama PT Global Fashion Indonesia (GFI) yang memiliki dan mengelola merek Eagle untuk pasar domestik. Kemudian, pada tahun 2011 kemarin, KMK Global Sport mendirikan pabrik baru, yang disebut dengan K5. Pabrik ini memproduksi sepatu boot khusus untuk musim dingin asal Inggris bernama Hunter.

Bagaimana gaya leadership dia sehingga dekat dengan para buruh dan karyawan di perusahaan? Bahkan, kabarnya sering dijadikan contoh oleh Korea sebagai percontohan bagi orang Korea Selatan kalau mau berbisnis di luar negeri. Bagaimana Anda bisa berperilaku sepert itu?

Saya sudah dianggap seperti ayah dari karyawan-karyawan di sini. Saya selalu berusaha untuk dekat dengan mereka layaknya keluarga saya sendiri. Karena, bagi saya, untuk menjalankan bisnis sebuah perusahaan faktor terpenting adalah “orang”. Untuk menjalankan sebuah bisnis, ada 3 faktor penting yang perlu diperhatikan. Profit, product, people. Beberapa perusahaan lebih mengutamakan profit, dan sebagian lagi mengutamakan produk. Tapi, bagi saya tidak. Yang menjadi faktor penentu adalah people atau orang.

Tanpa “orang” bagaimana mungkin bisa menghasilkan produk yang baik. Tanpa menghasilkan produk yang baik, tidak mungkin akan mendapatkan profit. Untuk itu, “orang” memiliki pengaruh paling penting dalam menjalankan bisnis dari suatu perusahaan. “Orang” merupakan aset terpenting dan paling bernilai dari sebuah perusahaan.

Bagaimana suatu perusahaan dapat memiliki orang-orang yang cukup baik. Tentu orang-orang tersebut perlu diperlakukan dengan sebaik mungkin. Ketika saya mengalami masa-masa yang sulit pada saat masuk ke Indonesia, saya belajar banyak hal. Saya merasakan susahnya menjadi orang saat itu. Saya dapat merasakan susahnya orang yang tidak beruntung.

Selain itu, saya juga banyak mendapatkan pelajaran mengenai berperilaku dengan orang-orang Indonesia. Yang saya dapatkan saat itu adalah, untuk memperlakukan orang Indonesia cukup kenai saja hatinya. Dengan begitu, orang Indonesia akan bersikap baik dengan kami.

Mulai dari situ muncullah konsep HTM atau Human Touch Management. Tepatnya pada tahun 1994, saya bertemu dengan salah satu perwakilan dari Nike. Dia meminta saya untuk menjelaskan keunggulan perusahaan saya, sebelum menjalin kerjasama. Ketika saya sedang menjelaskan bagaimana pentingnya memperlakukan orang dengan sangat baik di sebuah perusahaan, saat itu pula istilah Human Touch Management muncul seketika.

Ada 4 hal terpenting dalam menjalankan filosofi HTM ini sehari-hari. Keempat hal tersebut adalah, Face Management (FM). Bagi saya, wajah sangat berpengaruh dalam pekerjaan kita sehari-hari. Jika saya memberikan wajah marah atau tidak bersemangat ketika datang ke kantor, nantinya hal tersebut akan berpengaruh ke orang lain. Orang lain tentu akan bertanya-tanya kenapa wajah saya marah, sedih, atau tidak bersemangat. Wajah buruk seperti itu dapat menularkan aura negatif ke orang lain, seperti karyawan saya.

Untuk itu, saya sangat mementingkan senyum kepada semua orang yang saya temui. Karena dengan senyum, saya dapat menyebarkan aura positif ke seluruh orang di perusahaan ini. Saya selalu mengatakan hal ini kepada semua karyawan di sini. Saya meminta mereka untuk tersenyum di saat ketemu orang lain, termasuk rekan-rekan kerja dan orang lainnya di perusahaan ini. Sebelum saya meminta hal tersebut, saya sudah harus lebih dahulu tersenyum kepada mereka.

Kemudian, hal yang kedua adalah Mouth Management (MM). MM disini berarti, kita harus menjaga mulut kita supaya tidak berkata kasar dan menyakitkan orang lain. Karena dampak yang ditimbulkan jika kita berkata kasar dengan orang lain adalah orang tersebut nantinya akan marah juga ke orang lain yang Ia temui. Dengan begitu, banyak orang yang merasa tidak enak ketika bekerja.

Hal ketiga adalah Heart Management. Seperti di awal tadi, saya melihat untuk bekerja sama dengan orang Indonesia adalah melalui hatinya. Untuk itu, saya sering berbicara dengan karyawan saya, namun bukan sekadar bicara. Mereka benar-benar berbicara dari dalam lubuk hatinya. Jadi kami berbicara dari hati ke hati. Untuk itu, di sini ada sesi khusus untuk kami bertemu dan berbicara dari hati ke hati.

Selain itu, saya juga sering berkunjung ke rumah-rumah karyawan saya. 2 kali sebulan saya pasti berkunjung ke rumah karyawan-karyawan saya. Saya bertemu dengan keluarga mereka. Saya bercanda dengan orang-orang di sana, main gitar, makan bersama, dan lain-lain. Untuk lebih merasakan apa yang mereka rasakan, saya sering bersama dengan mereka naik bis karyawan yang disediakan perusahaan untuk mengantar mereka masing-masing pulang kerumahnya. Di sana saya banyak berbincang dengan karyawan-karyawan saya. Saya jadi bisa tahu apa saja yang mereka butuhkan, apa saja yang perlu dibenahi dan lain-lain.

Ketika mengunjungi rumah-rumah karyawan. saya sering menemukan rumah dari karyawannya saya sudah tidak layak. Terlebih lagi, saya menemukan kondisi orang tua mereka yang hidup sangat pas-pasan.

Bagi saya, orang tua memiliki arti yang cukup penting. Tanpa mereka, maka tidak ada anak yang bekerjasama dengan saya di perusahaan atau pabrik. Untuk itu, sebisa mungkin saya berusaha untuk membantu mereka dengan memberikan orang tua mereka uang. Dengan karyawan di perusahaan ini yang berjumlah hampir mencapai 20.000 orang, tentu ini bukanlah hal yang mudah. Pada tahun 1998, saya memberikan bantuan kepada orang tua karyawan-karyawan saya sebesar Rp 300.000 per orang tua, dengan jumlah karyawan saya yang sudah mencapai ribuan saat itu.

Kalau dihitung-hitung, jumlah tersebut tentu akan memberatkan perusahaan. Jujur, sebenarnya saya juga merasa takut ketika itu. Apakah uang yang ada di perusahaan sanggup membiayai perusahaan kedepannya?

Namun, bagi saya yang terpenting adalah mereka “orang” tersebut. Saya utamakan orang-orang saya. Saya akan benar-benar memperlakukan mereka sebaik-baiknya. Tanpa harapan yang terlalu besar, ternyata efek dari semua itu saya rasakan cukup berarti. Mereka merasa saya adalah bagian dari keluarganya . Mereka merasa perusahaan ini adalah bagian dari hidup mereka. Akhirnya, mereka bekerja sepenuh hati bagi perusahaan, tanpa harus saya minta apalagi memaksakan.

Hal berikutnya yang terpenting adalah, hand management. Saya dengan bersentuhan tangan, maka saya juga dapat menularkan aura positif kepada orang-orang di sekitar saya. Namun tidak hanya sekedar bersalaman yang asal-asalan. Saya bersalaman dengan mengajaknya berbincang, seperti menanyakan kabar dan lain-lain. Dengan begitu, aura positif pun tertular ke mereka.

Saat lebaran, saya temui karyawan-karyawan saya termasuk yang di pabrik. Saya salami mereka satu per satu. Tidak sekadar bersalaman, saya juga berkomunikasi dengan mereka. Saya selalu bilang ke mereka, jika pulang kampung, jangan lupa kembali ke sini, karena di sini ada ayah mereka. Saya juga sering memeluk mereka. Saking banyaknya karyawan yang saya salam-salami, saya sampai merasa pegal di bagian lengan kanan saya. Tapi itu tidak masalah bagi saya.

Hal-hal seperti itu selalu saya lakukan hingga sekarang. Saya sudah menganggap mereka seperti keluarga saya sendiri, begitupun dengan mereka. Tidak heran jika mereka menganggap saya sebagai ayah dari mereka.

Saya selalu berusaha untuk tersenyum, menyapa, berbicara, salaman dengan mereka setiap hari setiap waktu. Maka itu, nama C. K. di awal nama saya, saat ini sudah memiliki arti lain. yang pertama C.K untuk Creative Korean, kemudian yang kedua C. K. untuk Crazy Korean, dan yang terakhir dan terpenting adalah Cinta Karyawan.

Semua itu mungkin tidak bisa saya temukan jika saja saya dulu tidak mengalami masa-masa sulit ketika pertama kali datang ke Indonesia. Dari situ saya belajar banyak hal mengenai Human Touch Management, yang jika dicari istilah ini, tentu tidak ada yang menggunakan. Karena istilah tersebut benar-benar saya yang menciptakan.

Tidak lama kemudian, Mr. Song berusaha untuk mengakhiri wawancara dan mengajak kami untuk turun ke pabrik, bertemu dengan karyawan-karyawannya. Di situ, Mr. Song ingin menunujukan bahwa apa yang ia bicarakan benar adanya. Apa yang dilakukan karyawannya sama sekali tidak ada yang direkayasa.

Kami berusaha mengambil jarak dengan Mr. Song, supaya bisa melihat dari jauh bagaimana kisah-kisah yang diceritakan oleh Mr. Song benar adanya. Selain itu, agar karyawan-karyawan tersebut tidak ada yang tahu kalau sedang ada pihak lain yang sedang memperhatikan mereka dan Mr. Song, sehingga mereka akan bersikap seperti direkayasa.

Dan ternyata, kami dari tim SWA benar-benar diperlihatkan secara langsung, bagaimana sosok Mr. Song, CEO dari sebuah perusahaan besar, benar-benar diperlakukan layaknya seorang ayah oleh anak-anaknya. CEO yang bagi sebagian orang di sebuah perusahaan merupakan sosok yang tidak tersentuh, oleh Mr. Song benar-benar diubah pandangan seperti itu.

Mr. Song memiliki pengertian yang berbeda mengenai CEO. Bagi dia, CEO bukan lah Chief Executive Officer, melainkan Chief Encouragement Officer, Chief Empowerment Officer, dan Chief Emotional Officer.

Karyawan-karyawan yang sedang bekerja di pabrik, ketika mengetahui kedatangan Mr. Song langsung menghampiri dan menjabat tangan sembari mencium tangan Mr. Song seperti seorang anak menghampiri ayahnya yang baru datang. Mr. Song pun mendatangi mereka dengan 4 hal HTM yang sudah ia jelaskan di wawancara sebelumnya.

Beliau datang dengan wajah penuh senyum simpul dan tawa lepas. Menyalami satu-satu karyawan yang menghampirinya. Bahkan beberapa orang ada yang sampai memeluknya hangat. Mr. Song benar-benar seperti seorang ayah yang dicintai oleh anak-anaknya. Seperti tanpa ada batasan apapun, mereka berbincang dengan Mr. Song. Baik yang sekedar menyapa hingga yang mengajaknya bercanda.

Tak heran jika sosok Mr. Song sempat diliput oleh stasiun tv resmi nasional dari negara asalnya di Korea untuk dijadikan contoh bagi orang-orang di Korea, terutama para pebisnis asal Korea. Beberapa perusahaan asal Korea yang sudah lebih besar dan lebih tua dari KMK Global Sport pun tak malu untuk belajar banyak mengenai filosofi yang diajarkan Mr. Song ini.

Waktu pun semakin sempit saat itu, ditandai oleh kedatangan tamu berikutnya, yang sudah jauh-jauh hari menyepakati janji untuk bertemu dengan Mr. Song. Maklum saja, tamu kali ini bukan tamu sembarangan, namun perwakilan khusus dari perusahaan sepatu Hunter yang diproduksi oleh pabrik miliki Mr. Song tersebut. Rombongan tamu tersebut merupakan perwakilan khusus yang langsung datang dari Inggris, di mana perusahaan mereka sepatu Hunter itu berasal.

Dengan berat hati, pertemuan diakhiri dengan jabat tangan yang cukup erat dari Mr. Song dan tak lupa senyum khas beliau kepada kami.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved