Editor's Choice Youngster Inc. Self Employed

Norma Moi, Jadi Desainer Dulu, Baru Masuk Sekolah Mode

Norma Moi, Jadi Desainer Dulu, Baru Masuk Sekolah Mode

Norma Moi

~~

Karier Norma Moi sebagai desainer tergolong unik. Ia mengawali karier sebagai make up artist – sesuai dengan bekal pendidikannya, lulusan Cosmoprof Make Up School, Singapura. Lalu menjadi desainer baju muslim untuk kebutuhannya sendiri, kemudian baru mengambil pendidikan mode sambil terus berbisnis fashion. Dalam perjalanan kariernya sebagai make up artist, tahun 2008, Norma mulai memakai jilbab. “Ketika pakai jilbab, saya merasa agak susah memilih baju. Karena kalau beli kadang suka kependekan. Yang panjang pun, itu carinya harus di mal. Harganya pun tidak murah. Akhirnya saya bikin sendiri,” tuturnya mengenang.

Baju bikinan Norma ternyata menarik hati teman-temannya. Mereka pun lalu mengorder. Mulanya, satu-dua orang, kemudian tiba-tiba satu keluarga yang order. Dari situ bertambah terus, sampai akhirnya dari mulut ke mulut bertambah banyak. “Saya lalu bikin merek Hauri Collezione,” ujar Norma. Hauri berasal dari nama anaknya yang berarti perempuan surga ciptaan Allah. Ia sengaja memilih kata collezione dari bahasa Italia ketimbang collection yang bahasa Inggris. Alasannya, merek lain sudah pakai nama collection. “Supaya tidak umum, maka saya ambil dari bahasa Italia,” ungkap kelahiran Cianjur ini.

Pada 2009, Norma mulai merambah ke gaun pengantin dan sambutannya semakin bagus. Kemudian tahun 2010, Norma masuk Esmod untuk mengetahu lebih detail dunia fashion – terutama pattern atau polanya. Setelah ambil Esmod, klien bertambah banyak. Tahun 2012, Norma ikut di ajang Indonesia Islamic Fashion Fair. “Itu pertama kali ikut fashion show,” katanya.

Untuk fashion show itu, Norma mengambil tema cerita Swan Lake dari Rusia. Ada Princess Odette dan Princess Odile. Ada angsa putih, ada angsa hitam. Maka, bajunya juga ada dua karakter. Ada karakter bold, ada yang lebih feminin. Jadi, ada dua kepribadian dari ceritanya sendiri.

Lalu, pada 2013, Norma ikut Jakarta Fashion Week dengan tema Greyscale. “Di photoshop itu kan ada warna grayscale, jadi monokrom abu-abu itu yang saya ambil. Kalau siluetnya tetap ciri khasnya Hauri. Siluet klasik. Vintage tahun 1950 atau1940-an karena memang cirinya Hauri itu ke sana,” tutur Norma.

Koleksi Hauri bukan cuma gaun pengantin, melainkan pula busana muslim premium yang ada aplikasi payetnya. Selain itu, Norma juga baru meluncurkan Hauri Black Label, yaitu produk ready to wear (RTW). “Itu bisa langsung dibeli, tidak perlu order dulu,” Norma menerangkan.

Ketika pertama kali terjun ke bisnis fashion, Norma belum punya penjahit. Jadi masih outsourcing. “Penjahitnya masih kerja di orang, saya ngasih ke dia. Nah, penjahit itulah yang sekarang jadi penjahit dan tukang pola saya,” kata Norma. Dulu mayet juga dikerjakan sendiri karena belum punya karyawan sama sekali. Juga belum punya butik. Orang masih datang ke rumah untuk ngukur. “Saya mayet sendiri sampai tangan saya kayak mau melepuh, karena saking ingin tahunya seperti apa, saking ingin memberikan yang terbaik dari saya,” ungkapnya mengenang.

Perjalanan bisnis Norma benar-benar merayap. Mencari pegawai tidak mudah. “Penjahit banyak. Tapi yang bisa rapi, bagus, dan polanya pas itu enggak mudah,” tuturnya. Selain tidak mudah menambah pegawai, dari sisi modal pun Norma tidak meminjam ke bank atau pihak lain. Ia benar-benar memupuk permodalan dari jualan baju mulai dari yang harganya Rp 250-400 ribu sampai kini sudah di atas Rp 10 juta per potong.

Kini, Norma berkeinginan untuk terus menerbangkan merek Hauri Collezione setinggi mungkin. Mudah-mudahan suatu saat nanti ada investor atau partner yang bisa diajak kerja sama. “Cita-citanya sih punya satu gerai di mal Jakarta dengan merek RTW kami,” kata Norma berharap.

Memang, kini Norma sudah memiliki dua gerai. Satu di kawasan Kuningan untuk menjual produk RTW. Dan, satunya lagi di Prapanca, Jakarta Selatan untuk merek Hauri Collezione. “Yang di Prapanca itu bersama empat desainer lain. Jadi kami buka bareng-bareng, saya jadi tenant di situ. Di tempat tersebut khusus baju pesta dan wedding gown,” ujarnya.

Kisaran harganya? Untuk baju pesta Rp 5 jutaan ke atas. Kalau yang pesta khusus, pesan sesuai dengan ukuran, misal yang RTW itu sekitar Rp 400 ribu ke atas (mulai dari kemeja, celana panjang, hingga baju basic). Nah kalau RTW juga ada beberapa baju yang bisa dipakai ke pesta yang harganya sekitar Rp 2,5 juta. Untuk gaun pengantin berkisar Rp 10-80 juta – termasuk bahan, jilbab, dan aksesori, tergantung bujet, model dan kesulitan pembuatan.

Selain lewat fashion show, promosi juga dilakukan lewat jejaring sosial seperti Facebook dan Instagram, sehingga bisa mendatangkan klien dari luar negeri, seperti Australia, Malaysia, Palestina, hingga Amerika Serikat.

Dengan diperkuat empat penjahit, yang akan ditambah lagi sesuai dengan perkembangan bisnis, omsetnya tentu sudah besar. Sampai ratusan juta per bulan? “Ratusan juta sih belum, masih di bawah itu lah…,” ujarnya tanpa menyebut angka. Yang jelas omsetnya terus meningkat karena beberapa gaun yang RTW dibikin limited. Misalnya satu baju harganya Rp 3 juta, dibikin hanya 10 potong. “Itu dalam 30 menit saya pajang di Instagram habis,” ucapnya.

Gustyanita Pratiwi & Didin Abidin Masud


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved