Editor's Choice Entrepreneur

Pergulatan Susanti Alie di Bisnis Saus Sambal

Pergulatan Susanti Alie di Bisnis Saus Sambal

Sedang asyik-asyiknya berkarier di perusahaan fashion kelas dunia di Singapura, Susantie Alie terpanggil balik kampung untuk membenahi usaha keluarganya yang nyaris ambruk di bisnis saus sambal yang menyasar pasar kelas bawah. Inilah hasilnya.

Plakkk! Tanpa diduga, perempuan berusia 36 tahun itu membanting barang yang digenggamnya di hadapan SWA. “Betul kan, tidak pecah,” ucapnya. Sebuah senyum kecil terukir di bibirnya. Dialah Susanti Alie, Presiden Direktur PT Bersama Olah Boga, produsen saus sambal bermerek Cabe Payung, Soka dan Bob.

Susanti Alie

Benda yang dibantingnya adalah salah satu inovasinya, saus sambal Cabe Payung dengan kemasan bantal. Susanti memang tidak memiliki setitik pun keraguan atas kekuatan produknya yang satu itu. Sebab, produk berkemasan bantal itu telah teruji mengantarkan perusahaannya menapaki kembali jalan sukses setelah sebelumnya tersungkur cukup dalam.

Berkat inovasi tersebut, plus usahanya yang tak kenal lelah merambah area pemasaran baru, perusahaannya kini menikmati omset belasan miliar rupiah per tahun. Ketiga merek saus sambal yang dipasarkannya pun menjangkau ke seluruh pelosok Nusantara.

Beberapa tahun silam, apa yang diraihnya saat ini tidak pernah terlintas di benaknya. Pada 2004, sebagai anak muda lulusan LCCI Shelton School of Commerce, Singapura, Susanti tengah menikmati kariernya. Waktu itu ia bekerja sebagai eksekutif pemasaran di Swarovski Corporate Limited, Singapura, yang membidangi perhiasan dan fashion. Saat itu pula, di usianya yang ke-28, ia dipanggil pulang untuk menyelamatkan bisnis keluarga yang tengah porak-poranda lantaran orang kepercayaan mereka meninggalkan perusahaan dengan membawa karyawannya.

Susanti, yang juga pernah bekerja sebagai sekretaris HRD di PT Raja Garuda Mas dan di sebuah perusahaan multifinance, tak punya banyak pilihan. Keempat saudaranya menetap di luar negeri. Tanpa berpikir panjang, demi cintanya pada orang tua, anak ketiga dari lima bersaudara ini langsung mengemas kopernya dan menuju Tangerang, tempat produksi bisnis keluarganya.

Susanti memang berasal dari keluarga pengusaha. Ayahnya, Suparmin Alie, pernah membesarkan usaha bangunan. Kemudian, pada 1980-an ayahnya juga sukses membesarkan pabrik limun yang cukup terkenal bermerek Limun Bob di wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Pada 1990-an, Suparmin juga berbisnis toko bakery Bob D’Light ex Hawaii Bakery. Selain itu, ayahnya pun memiliki bisnis restoran di Cilegon, Serang.

Sejalan dengan ayahnya, ibunya sejak 1990-an juga memiliki bisnis sendiri, yaitu saus sambal merek Cabe Payung. Sayangnya, ketika itu anak-anaknya, termasuk Susanti, tidak bisa membantu bisnis keluarga, karena sebagian masih sekolah dan sebagian lagi sudah bekerja di tempat lain. Karena itulah, orang tuanya lantas memercayakan bisnisnya kepada sepupu ibunya. Selain itu, ia juga disekolahkan. Namun, ketika lulus, sang sepupu ini justru meninggalkan perusahaan dan membuka usaha serupa dengan membawa serta karyawannya.

Menyadari gentingnya kondisi perusahaan, Susanti pun langsung terjun ke perusahaan ibunya. Dari sana Susanti melihat ada keanehan dalam laporan keuangan perusahaan. Omsetnya turun drastis dan pengeluarannya tak jelas. “Ayah saya sempat mempertegas lagi, apakah saya benar-benar serius ingin melanjutkan bisnis keluarga,” tuturnya.

Pertanyaan ayahnya dijawab dengan keseriusannya meriset industri produk konsumer, khususnya saus sambal, selama dua bulan. Tak segan dia turun ke lapangan. “Di Muarabungo, Sumatera, saya survei ke lapangan. Mereka bilang, itu ada artis dari Jakarta. Boleh jadi karena kulit saya putih. Tetapi itulah yang saya lakukan. Itu pekerjaan saya,” ujarnya. Dia juga pernah berhadapan dengan preman pasar yang memecahkan botol-botol sausnya.

Pengorbanannya tak sia-sia. Dia menghasilkan temuan sederhana tetapi tepat guna. “Saat itu kemasan saus masih didominasi sambal botolan. Saya melihat potensi besar di pasar saus kemasan isi ulang,” ujarnya seraya memaparkan tulang punggung perusahaannya adalah saus sambal merek Cabe Payung.

Hasil risetnya lalu dipadukan dengan kekuatan perusahaannya. “Bagaimana caranya saya bisa menjual produk ke luar Jakarta dengan aset yang ada,” ujarnya. Keputusannya, perusahaan harus fokus menjual produknya dalam kemasan isi ulang. Tujuannya, menekan biaya distribusi botol, menghilangkan biaya pembelian mesin cuci botol dan memaksimalkan aset perusahaan. Perusahaannya kala itu hanya memiliki satu truk. Jika dia menjual saus kemasan botol akan memerlukan banyak truk. Ia juga menemukan, untuk memproduksi saus sambal isi ulang kemasan bantal plastik, ia hanya perlu merogoh kocek Rp 30 juta, yakni untuk membeli mesin pengemas buatan Surabaya.

Dengan kemasan bantal juga, satu karton yang berisi 24 bungkus mudah dikirim ke luar kota. Selain itu, pedagang dimudahkan menyimpannya karena tidak memakan tempat sebanyak saus botol. “Mereka tidak susah-susah pakai peti. Tidak ada botol somplak, botol pecah, per karton cuma 1,5 kg beratnya. Saya bisa menurunkan berat kemasan dan menjual sampai ke luar pulau karena tidak harus sewa-sewa botol,” kata Susanti.

Awalnya, pedagang pasar banyak yang menolak. Namun, Susanti tak lelah menjelaskan produknya tahan banting, memiliki masa kedaluwarsa yang sama dengan saus botol, higienis dan kualitasnya bagus. “Kami buat produk yang benar-benar higienis. Kami cuci bersih tongnya setiap hari. Mesin pemasak, sore harus dicuci dan harus diseduh dengan air panas. Dan, air di Cileungsi sini, meski cukup bagus tetapi tetap kami filter beberapa kali. Bisa dibedakan, saus kami tidak ada bintik-bintik karena kami pakai cabai segar. Kami pun punya sertifikat halal,” tutur Susanti panjang lebar.

Seakan belum cukup memberikan jaminan, Susanti menambahkan, perusahaannya memiliki izin mengelola saus dan produknya memakai pengawet dalam batas normal. “Kami pakai pengawet impor dari Eropa yang benar-benar diakui dunia dan itu tidak pernah diganti, even terjadi kenaikan harga.”

Demi efisiensi, Susanti meniadakan distributor internal dan memilih pihak ketiga untuk menyalurkan produknya. “Unit distribusi sendiri itu cost-nya tinggi dan high risk, jika kurang kontrol, bisa terjadi kecurangan, pungli, korupsi,” ujarnya. Atas pertimbangan itu, ia memilih sistem multidistributor. “Mereka yang jualan, saya yang produksi. Saya mau bagusin produk dan membangun link networking.”

Untuk membantu distributornya, Susanti menempatkan sales supervisor di area pemasarannya ditambah menerapkan kendali harga. “Kalau langsung jual ke trader, harga akan hancur. Harga saya di seluruh Jakarta terjaga dengan Rp 33.500 per karton. Pedagang pasar bisa menjual Rp 1.500-2.000 per pieces.” Dia cukup tegas mengelola distributornya. Pernah, ada distributor yang main-main dengan menerapkan harga di bawah aturannya. Ia pun langsung memutuskan kontrak dengan distributor tersebut.

Susanti tidak memasuki pasar modern, selain tidak mampu membayar listing fee, juga merasa pasarnya tidak tepat. “Sekarang di Indonesia 70% masih pasar tradisional, sisanya pasar modern dan horeka (hotel, restoran dan kafe),” katanya. Dua tahun bertempur, penetrasi pasarnya dirasa sudah cukup mumpuni, termasuk di area luar Pulau Jawa. Kini dia memiliki area penjualan lima wilayah Jakarta dan di beberapa pulau di Indonesia.

Selain itu, pada 2006 dia mampu membeli tanah dan gedung untuk pabriknya di Cileungsi dengan harga kurang dari Rp 1 miliar. “Kami pinjam Rp 700 juta ke bank tapi terbayar dalam jangka waktu dua tahun,” ujarnya.

Dia pun memperkokoh positioning produknya. Dia memiliki tiga merek. Cabe Payung untuk berkompetisi dengan merek Sari Sedap, Sari Wangi, dll. Soka untuk segmen menengah, sementara Bob untuk segmen hotel, restoran dan kafe.

Kesuksesan pemasarannya bukan lantaran berpromosi di media massa. “Saya lebih bermain ke below the line dengan memberikan hadiah untuk ibu-ibu seperti sendok, piring, gelas, mangkok,” ucapnya. Pada bulan puasa lalu, setiap beli minyak goreng Fortune, misalnya, konsumen mendapat hadiah satu botol Sambal Soka. Dia juga menekankan upaya getok tular lewat pasar tradisional. Selain itu, ia berencana memaksimalkan media sosial seperti Twitter dan Facebook.

Kalaupun profilnya muncul di media massa, itu karena Susanti Alie menjadi nominator 30 besar penerima Indonesia Young Entrepreneur Award yang diadakan British Council di tahun 2009 serta pemenang Ernst & Young Entrepreneurial Winning Women 2011.

Broery Lazuardi, pemimpin perusahaan distribusi PT Mie 212, mengaku puas menjadi distributor PT Bersama Olah Boga. Broery saat ini mendistribusikan saus Cabe Payung dan tiga produk prinsipal lainnya ke seluruh wilayah di Palembang. “Saya memasarkan saus tomat dan saus sambal Cabe Payung dan saus Soka, PT Amera untuk kecap merek Raos, PT Sari Rasa untuk produk mi dan bihun merek Fitri,” ujar mantan tenaga penjual Darya-Varia di Palembang ini.

Broery memaparkan, banyak pedagang dan konsumen bersedia mengonsumsi saus Cabe Payung karena memiliki sertifikat halal yang lengkap dan memenuhi standar dari Departemen Kesehatan. “Awalnya, saya coba dulu rasanya. Kedua, komunikasi dari manajer dan direkturnya mampu meyakinkan kami. Dengan produk yang bagus dan komunikasi yang bagus, kami jadi lebih semangat menjualnya,” ujar Broery yang sempat dua kali bertemu Susanti.

Bahkan, di luar dugaan Broery, Susanti sampai mengirim assessment manager untuk membantu Broery mengelola penjualan saus Cabe Payung. “Luar biasa supporting mereka. Mereka juga mengatur harga sedemikian rupa yang membuat harga stabil,” ujarnya.

Tiga setengah tahun lalu, Broery hanya memesan satu unit mobil dengan kapasitas 8,5 ton saus Cabe Payung bernilai Rp 16-17 juta. Pada tahun-tahun pertama satu unit mobil itu terjual selama dua bulan. Kini, dia memesan langsung delapan mobil per bulan. “Kalikan saja, 8,5 ton x 8 mobil, dengan satu mobil Rp 16-17 juta,” ujar Broery yang mengaku membayar dengan sistem kredit bertenggang 30 hari.

Broery mengungkapkan, saus Cabe Payung banyak digunakan pedagang-pedagang mi ayam, bakso, agen-agen sosis, siomay, dll. yang membelinya ke warung-warung sembako dan tukang bumbu. “Kami mendistribusikannya lewat pasar tradisional.”

Jahja B. Soenarjo, CCO Direxion Strategy, memuji kehebatan Susanti Alie. “Dia memang hebat karena orang tuanya hampir bangkrut. Dia penerusnya, saya nilai dia risk taker sejati dan pekerja keras yang mau turun ke bawah,” ujar Jahja.

Susanti juga dinilai Jahja sebagai sosok yang pintar dan luwes. “Dia suka belajar dan terjun sendiri menemui pelanggannya. Itulah salah satu ciri wirausaha sejati.”

Menurut Jahja, Susanti tidak bersaing dengan merek besar karena masuk ke ceruk pasar isi ulang yang lebih spesifik. “Di jenis ini, pemain-pemain baru pun mulai menggarapnya. Harga bersaing dan kualitas bagus. Potensi di kelas bawah, khususnya segmen kuliner, sangat besar. Apalagi, sektor ini selalu tumbuh pesat. Juga untuk rumah tangga kelas bawah.”

Jahja menyarankan Susanti tetap fokus di produk saus dan diferensiasi produknya. Kedua, memperkuat lini penjualan dan penetrasi pasar. Ketiga, membangun loyalitas jaringan. Keempat, membangun merek dan mulai melakukan upscaling dengan kemasan yang lebih baik, misalnya membuat sachet dan botol yang unik.

Susanti mengungkapkan, kini kerja kerasnya terbayar sudah. Awalnya, perusahaannya hanya memproduksi empat ton saus sambal. “Sekarang, bisa berlipat penjualan dibandingkan satu tahun pertama. Dalam lima tahun terakhir ini naik 16 kali lipat,” ujarnya. Omset per bulan pun kini menembus Rp 1 miliar lebih, dengan 100 karyawan dan lima manajer.

Saat ini, Cabe Payung memang masih menjadi tulang punggung dan menyumbang hingga 70% omset perusahaan, Soka 20% dan selebihnya Bob. Ke depan, Susanti berambisi membesarkan pangsa pasar Saus Soka, meningkatkan omset perusahaan, serta memperluas jaringan pemasaran. Ketika ditanya apa prinsip suksesnya, ia menjawab cepat. “Prinsip saya, yang penting tetap sabar, tekun, rendah hati dan selalu belajar.”

Siti Ruslina dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Sarah Ratna Herni


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved