Editor's Choice Entrepreneur

Resto Mbah Jingkrak: Selera Pedas dari Semarang

Resto Mbah Jingkrak: Selera Pedas dari Semarang

Ajeng Astri Denaya, Pemilik Resto Mbah Jingkrak dikenal pintar memasak. Teman-temannya yang kerap diundang makan di rumahnya menyebut, masakan Ajeng enak. Mereka menyarankan buka resto. Akhirnya, Ajeng mengundurkan diri dari pekerjaannya untuk membuka resto Bentuman, yang menyediakan menu steak. Bisnis restonya langsung melesat ketika pada 2005 Ajeng membuka resto Mbah Jingkrak yang mengandalkan menu pedas. Resto Mbah Jingkrak kini tersebar ke Jakarta, Bogor, hingga Pekanbaru. Bagaimana lika-liku perkembangan Resto Mbah Jingkrak, Ajeng Astri Dinaya menuturkannya kepada Sigit A. Nugroho:

Kapan Mbah Jingkrak didirikan, siapa saja pendirinya, kenapa tertarik menggeluti bisnis resto, apa latar belakang pendidikan-hobi-profesi dari sang pendiri?

Mulai bisnis restoran sejak 1997. Tepatnya, 17 Maret 1997. Dari dulu memang gemar memasak. Waktu 24 jam sepertinya kurang kalau untuk masak. Kalau sudah di dapur, rasanya hidup saya sangat menyenangkan. Saya suka modifikasi resep. Prinsipnya, resep makanan bisa dibawa ke mana saja. Masak adalah art.

Ide usaha resto muncul dari teman-teman. Mereka bilang masakan saya enak, kenapa tidak buka warung makan saja? Saya pikir, benar juga. Daripada kerja ikut orang, kok rasanya tersiksa. Dulu saya menjadi admin di sebuah perusahaan. Kerja dari pagi sampai sore.

Kalau Sabtu-Minggu saya masak. Biasanya saya undang teman-teman ke rumah untuk cicipi masakan saya. Yang saya undang itu teman-teman yang memang keplek ilat. Mereka punya citarasa tinggi terhadap masakan. Dari aneka resep yang saya modifikasi itu, ternyata teman-teman suka, dan menyarankan untuk buka warung.

Saya berpikir, kira-kira makanan apa yang belum ada di Semarang. Ternyata waktu itu di sini belum ada resto stik. Ada sih, hanya ada satu. Itu pun harganya mahal. Tiap kali makan paling tidak ngeluarin duit Rp 200 ribu.

Saya buat stik. Kalau restoran pakai daging 200 gram, saya gunakan 100 gram. Saya belanja sendiri. Sausnya saya modifikasi sendiri dengan citarasa lokal, agar tak terlalu bule. Sasarannya anak-anak muda, cah sekolah. Waktu itu modalnya Rp 14 juta. Nama restonya Bentuman.

Mbah Jingkrak

Apa saja jenis resto yang dikelola? Apa daya tarik dan kekhasan masing-masing (dari sisi menu, bahan-bahan, cara memasak, cara menghidangkan, dll?) Siapa target pasar yang dibidik?

Dari Bentuman itu, baru tahun 2005 buka Mbah Jingkrak. Banyak pelanggan yang menyarankan untuk hidangkan masakan dengan nasi. Kan biasanya orang tua nganterin anaknya ke Bentuman. Mereka inginnya bisa makan dengan nasi. Yawis, akhirnya bikin Mbah Jingkrak. Kalau Bentuman sasarannya anak muda, Mbah Jingkrak buat siapa saja.

Mbah Jingkrak menyajikan masakan tradisional Jawa. Warung kami menyajikan masakan spesial Jowo seperti oseng tauge, oseng daun singkong, lodeh tempe, lele goreng, bandeng goreng, oseng kikil, ayam goreng, perkedel, ayam masak cabai, daging gendruwo, oseng pare, brongkos, sayur godeg, asam-sam daging, sambal goreng krecek, dsb.

Lauk-pauk yang berkuah seperti gule sapi, mangut lele, lodeh rebung ditempatkan di kendil-kendil tanah liat. Sedangkan lawuh yang kering/nyemek seperti empal kelem, balado terong, ikan bandeng goreng, pepes ikan kakap, tahu dan tempe bacem, sambel goreng teri, dan sambel tempe, kering bihun, wader kali dsb ditempatkan di piring-piring yang juga terbuat dari tanah liat, sedangkan aneka sambel ditempatkan di cobek-cobek.

Variasi menu Warung Mbah Jingkra buanyaakk. Lebih dari 100 menu. Menu itu tak sama setiap hari. Namun, beberapa menu yang menjadi jagoan utama selalu ada setiap hari. Seperti pitik rambut setan, tempe jingkrak, asem-asem koyor, sambal iblis, teri buto ijo, ayam kawul, ayam kenari, sate kabul, bothok, dan mangut.

Di Mbah Jingkrak, masakan andalannya pedas. Itu kenapa namanya Mbah Jingkrak. Jadi kalau kepedesan bisa sampai jingkrak-jingkrak. Tapi kami tetap sediakan menu bagi mereka yang tidak suka pedas.

Oiya, sebenarnya nama Mbah Jingkrak itu muncul waktu saya, suami dan teman-teman pulang dari daerah Wonosari. Kan saya sedang mencari teknik untuk membuat nasi beras merah di warung Mbah Jirak. Ternyata waktu di mobil suami saya malah menyebut Mbah Jingkrak. Seisi mobil ya tertawa semua.

Saya pikir nama itu justru lucu. Wis di dalam mobil pikiran saya pengen cepat sampai rumah. Setelah sampai, saya langsung sket gambar untuk logo Mbah Jingkrak sampai jam 03 pagi. Kalau menu, di kepala sudah ratusan. Soal penamanaan menu, biasanya kan kalau kepedesan kita suka bilang, wah pedese koyo setan. Diutak-atik dari situ saja.

Mbah Jingkrak2

Bagaimana perjalanan resto dari tahun ke tahun, lika-liku menghadapi tantangan, kisah jatuh bangun?

Banyak yang melihat saya sangat mudah menjalankan bisnis ini. Rasanya tidak ada kendala berarti. Waktu buka Bentuman, luas warungnya hanya 100 meter persegi dengan 12 meja. Warung itu sangat fenomenal waktu itu. Yang nguaantrii halaah banyak. Saya bisa BEP dalam waktu 3 bulan. Waktu itu omsetnya sampai Rp 60 juta sebulan. Itu tahun 1997 lho. Lha wong beberapa bulan buka saya sudah bisa cicil Kijang Kapsul seharga Rp 47 juta. Tahun 1998 saya sudah bisa cicil rumah.

Dulu lokasi Bentuman ada di Jalan Kyai Tapa 10 A. Karena kontrakannya habis dan mau dijual, akhirnya pindah ke Jl Lampir Sari 29 tahun 2002. Setahun kemudian pindah lagi ke Taman Beringin 23. Di situ lokasinya cukup luas. Saya kontrak selama 3 tahun, renovasi dan sebagainya. Karena waktu itu, pemilik lahan menjanjikan mau menjual pada saya. Ternyata malah yang dapat orang lain. Itu wajar sih, orang lain mau beli lebih tinggi dari saya. Sama pemiliknya, saya ditawari tanah yang di sini ini – Jln. Taman Beringin No 3 — yang lebih luas dan harganya lebih murah. Ya sudah ditempati sampai sekarang.

Sebelum buka Mbah Jingkrak, saya pernah buat Bentuman Pizza dan roti. Tapi tidak jalan. Di Semarang ini kan orangnya susah. Sangat fanatik. Mereka bilang Bentuman ini kan spesialis stik, kok buka roti dan pizza. Yang pizza sih jalan. Tapi tidak jalan karena kurang cocok sama partner-nya. Cuma 3 bulan, tutup.

Tonggak-tonggak perkembangan, kapan mulai melesat dan terus berekspansi? Bagaimana strategi berekspansinya?

Dari pertama buka sampai sekarang langsung lancar. Saat ini Mbah Jingkrak punya cabang di luar Semarang. Seperti di Setia Budi (2008) dan Panglima Polim (2010) di Jakarta. Lalu tahun 2011 di Bogor. Yang paling baru (2013) di Pekan Baru. Sistemnya franchise. Waktu pertama kali franchise ya nekat saja. Waktu itu kan aturan untuk franchise belum seperti sekarang. Pokoknya kami susun sendiri, dan tidak saklek kayak waralaba resto dari luar.

Kalau franchise, semua menu dari kami. Bahkan, chef dan SDM inti juga kami yang sediakan. Mereka secara rutin diberi training agar sesuai dengan SOP di pusat.

Tiap cabang ada berapa chef?

Minimal tiga chef master. Kalau yang di Setia Budi sampai 12.

Bagaimana memenuhi kebutuhan chef?

Saya perlakukan anak-anak (karyawan) sebagai mitra. Kita bisa berkembang bersama. Saling belajar. Kesejahteraan mereka semakin meningkat saat bergabung dengan Mbah Jingkrak. Mereka bisa DP rumah, cicil mobil dan sebagainya. Intinya, saya ingin agar pikiran mereka tidak terganggu urusan lain saat bekerja. Kalau kesejahteraannya makin bagus, mereka bisa lepas dan senang di sini.

Maksudnya Anda yang mencicilkan rumah dan mobil?

Tidak semuanya. Kami hanya berikan semacam subsidi. Kalau prestasinya bagus, kami berikan bantuan untuk DP rumah. Nanti mereka yang cicil. Pokoknya, gajinya sisa banyak setelah dipotong cicilan. Mobil juga begitu. Di sini kan banyak mobil. Kalau mau ganti, daripada dijual ke orang lain, kan mending dikasih ke anak-anak. Mereka bisa cicil dengan ringan.

Model begini juga diterapkan oleh franchisee?

Tidaklah. Kemampuannya kan beda-beda. Saya juga tidak bisa mewajibkan mereka melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan. Namun, semua franchisee itu baik-baik. Rasanya tidak ada anak-anak kami yang mengeluh.

Dulu memang pernah ada franchisee yang tidak manusiawi. Lokasinya di Bulungan. Dia itu memberlakukan jam kerja melebihi batas dan anak-anak tidur ngampar di meja. Langsung saya putusin kerjasamanya. Anak-anak kami tarik ke Semarang. Padahal, waktu itu omsetnya mencapai Rp 500 juta/bulan. Tapi kalau begini caranya, mending saya putuskan kerjasamanya.

Soal koki dan SDM inti untuk franchisee, siapa yang menggaji mereka tiap bulannya?

Koki dan SDM resto ini memang Mbah Jingkrak yang sediakan. Artinya, kualitas citarasa mereka sesuai standar kami, karena kami yang siapkan. Tapi urusan salary dan sebagainya, itu tanggung jawab franchisee.

Bagaimana memenuhi kebutuhan bahan baku (suplay chain)? Berapa kebutuhan bahan baku tiap harinya? Apa saja bahan baku utamanya? Bagaimana memenuhi tenaga manajemen dan pramusaji setelah semakin besar? Berapa jumlah tenaga kerja saat ini?

Bahan baku dari lokal. Yang mudah ditemui di daerah tersebut, sesuai di mana cabang berdiri. Kalau karyawan, di Semarang sekitar 50-an orang, di Setia Budi 85 orang, Panglima Polim 32 orang, Pekan Baru 40 orang, kalau di Bogor 30 orang.

Bagaimana kegiatan inovasi (R & D) untuk menghasilkan menu, layanan, pemasaran yang baru? Bagaimana R & D menghasilkan jenis-jenis resto baru? Siapa yang menjadi motornya? Bagaimana proses penemuan ide-ide dan menggodoknya?

Resep baru selalu saya yang mengawali. Lalu saya kasih ke anak-anak (pegawai). Kadang mereka kasih masukan. Saya kan hobi baca. Buku resep saya banyak. Tapi seringnya — ini curangnya buku resep — ada satu bahan yang disembunyikan. Kalau untuk yang mahir masak sih langsung tahu. Kalau pemula, kan repot.

Saya mau bikin buku resep yang lengkap. Pokoknya, semua resep menu Mbah Jingkrak akan saya buka. Malah sudah lama saya buka resep Mbah Jingkrak. Saya kan mengampu acara kuliner di TVB Semarang. Di situ resep Mbah Jingkrak saya buka. Saya tidak takut dijiplak. Malah saya senang kalau ada yang mengekor. Masakan itu kan tergantung bagaimana kita mau membawanya. Lagi pula, rezeki sudah ada yang mengatur.

Bagaimana melakukan tranformasi pengelolaan (mungkin dari manajemen “warungan” menjadi manajemen modern)?

Iya, memang dulu saya semua yang menangani. Tapi lama kelamaan tangan saya tidak cukup juga. Waktu tiga bulan pertama, saya mulai serahkan ke anak-anak. Pelan-pelan saya ke depan, ke meja kasir. Tapi masih sering ke dapur juga melihat anak-anak. Baru tahun 2002 saya undang akuntan, teruuusssnambah-nambah sampai sekarang.

Apa saja kunci sukses mengelola restonya (tolong dijelaskan yang benar-benar menjadi kunci sukses apa)? Kapan kunci sukses ini mulai ditemukan?

Makanan ini kembali lagi ke citarasa. Kalau kita buka usaha warung, ini kan bukan punya kita lagi. Warung itu milik orang banyak. Jadi, citarasa harus dijaga. Apalagi orang Semarang yang terkenal kritis dan setia. Pernah lho saya buka cabang di Semarang, tapi kurang berhasil. Orang Semarang inginnya ada saya di setiap resto. Yawis, akhirnya cuma satu saja.

Jadi citarasa ini harus benar-benar dipertahankan. Karena Mbah Jingkrak mengusung menu tradisional, chef master-nya saya cari dari ibu-ibu pedesaan. Mereka masih memegang resep masakan leluhur. Tidak penting apa pendidikannya. Yang penting dia bisa masak dan punya citarasa istimewa.

Cara ngetesnya gampang. Saya suruh bikin sambal. Nek sambel e enak, berarti dia iso masak. Jadi chef master Mbah Jingkrak ya ibu-ibu dari pedesaan.

Bagaimana kinerja resto saat ini: jumlah pengunjung per hari dan rata-rata pengunjung menghabiskan berapa rupiah sekali makan?

Beda-beda tiap resto. Di Pekan Baru sedang heboh-hebohnya. Sehari bisa 500 pengunjung. Itu belum termasuk lunch box. Kami kan kerjasama dengan Caltex untuk sediakan 8.000 box per hari. Cabang-cabang lain kira-kira 350-an pengunjung tiap hari.

Berapa yang dihabiskan mereka sih variatif. Tapi harga Mbah Jingkrak sangat terjangkau. Lihat saja itu sendiri. Rp 25 ribu saja sudah mbledos wetenge.

Apa target dan rencana ke depan agar restonya semakin besar dan maju? Bagaimana agar suksesnya berkelanjutan? Bagaimana mengkader generasi berikutnya/anak-anak untuk mengelola restonya?

Ide di kepala saya ini sangat banyak. Saya sedang siapkan rumah saya untuk acara-acara makan dan masak. Jadi, di sana nanti bisa merasakan masakan dan belajar masak langsung dengan saya. Rumah saya di Banyumanik saya konsep paduan Jawa, Bali, Cina, dan akan hadirkan masakan-masakan tradisional. Orang bisa private dinning di sana.

Dari enam anak saya, kelihatannya belum ada yang mau nglanjutin. Mungkin yang paling kecil ini. Dia punya citarasa yang bagus. Sekarang masih sekolah. Biarin saja, nanti biar dia yang tertarik sendiri. Saya tidak mau memaksa. Kalau dipaksa nanti malah gak mau. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved