Editor's Choice

Riri Riza Fokus Hasilka Karya Film, Bukan Jualan

Riri Riza Fokus Hasilka Karya Film, Bukan Jualan

Riri Riza mengatakan bahwa proses kreativitas yang lahir dari karya-karyanya itu selain ia menyenangi pekerjaannya, juga dukungan lingkungan sekitarnya. “Saya merasa beruntung karena saya meminati betul dan punya passion terhadap apa yang saya lakukan. Kedua, saya bekerja di lingkungan yang kebetulan mendukung (kreativitas) itu,” jelas pria bernama lengkap Muhammad Rivai Riza, kepada Herning Banirestu.

RiriRiza (utama2)

Sebagai seorang sutradara yang “berkantor”, bukan freelance director, memang ia mengaku bukan tipe sutradara yang bisa bekerja dengan siapapun, produser manapun. Ia memutuskan bekerja di satu perusahaan dan menjadi bagian dari perusahaan tersebut (Miles Production). Dan kebetulan partner-nya, Mira Lesmana, juga rekan-rekannya di rumah produksi tersebut, bisa dikatakan melalui sebuah proses bersama yang panjang. “Kami punya selera, punya tendensi, juga bisa dikatakan memiliki visi dan ideologi yang sama tentang apa itu film dan apa yang akan kami kerjakan,” imbuh kelahiran Makasar, 2 Oktober 1970.

Karena itu, ia menganggap, kondisi tersebut membuatnya tidak pernah berhenti untuk bisa mengeluarkan ide. “Ide saya pun selalu disambut dan bisa dikembangkan menjadi suatu projek film yang dikerjakan hingga tuntas,” tuturnya. Pada saat lain, Riri juga menyambut ide dari yang lain, lalu dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih baik. Sekali lagi Riri menekankan, passion dan environment menjadi kunci kreativitas yang lahir dari karya-karyanya.

“Itu menunjukan kesungguhan, antusiasme, minat kita yang bersungguh-sungguh pada bidang kreatif yang kita tekuni, plus lingkungan yang mendukung merupakan kombinasi yang bagus dalam lahirnya kreativitas,” jelasnya.

Riri mengaku tidak pernah ada ide yang ditolak dalam proses penggalian ide. Selalu ada proses di mana diskusi harus berjalan dalam perusahaannya. “Kami bekerja sudah bertahun-tahun, hampir 15 tahun, bahkan lebih, apalagi dengan Mira, proses itu tidak lagi soal tolak-menolak ide. Apapun yang kami kerjakan selalu berjalan sesuai dengan bayangan kami,” ujarnya.

Mendorong keluarnya ide baru, menurut Riri bisa dilakukan dengan banyak melihat. Bekerja sebagai sutradara dan pembuat film membuatnya harus melakukan banyak perjalanan, bahkan banyak ke luar negeri. “Pada suatu periode waktu, karya-karya miles stone itu karya yang lebih banyak bicara soal lingkungan, budaya, kehidupan di luar Jakarta, karena itulah kami sering pergi kemana-mana,” katanya.

Film adalah media yang sangat populer dan banyak diminati, bukan saja di luar negeri tapi juga di Indonesia. Sering kali film-film karyanya diputar di berbagai festival film di luar negeri, diundang untuk menyampaikan karyanya kepada publik dunia. Ini semua yang bisa menjadikan sebagai sumber inspirasi. “Saya sering mendapat ide-ide itu justru ketika saya pergi, dalam perjalanan,” ungkapnya. Bahan bacaan juga mendukung keluarnya ide baru, tapi menurut Riri bukan itu yang utama. Justru yang paling mendorong ide baru, sebenarnya kehidupan itu sendiri. Ada beberapa karya yang berdasarkan pada novel atau bahan bacaan, tapi bagaimana itu menjadi karya yang bagus, itu proses yang panjang.

Film adalah karya fisik, ujar Riri, materi yang disampaikan harus sangat sesuai dengan yang diceritakan di novel atau bahan bacaan yang menjadi patokan film tersebut. Maka itu ia harus melihat langsung daerah asli asal tulisan tersebut. “Waktu saya membuat Laskar Pelangi, saya menghabiskan satu minggu keliling Belitung, keliling bersama Andrea Hirata penulis novelnya. Mencoba memahami orang Belitung, mendengar mereka berbicara, diskusi, mendengarkan cerita-cerita mereka,” jelasnya. Jadi itulah yang membentu ide film, bukan hanya dari bahan bacaan itu saja.

Juga kala membuat salah satu film terakhirnya Sokola Rimba, ide film yang diambil dari buku Butet Manurung dengan judul yang sama. Film yang akan rilis rencananya 21 November mendatang itu,menurut Riri juga ia harus keliling Taman Nasional, merasakan tantangannya seperti apa. Dari situlah semua ide diramu menjadi utuh.

Tentang stimulasi menghasilkan ide kreatif, menurut Riri tentu saja itu merupakan bagian proses yang ia jalani sejak kecil. “Kita menjadi sekarang ini, pasti itu pengaruh dari apa yang kita rasakan, common sense emosi kita sejak kecil,” ujarnya. Ia ingat betul ayahnya yang bekerja di Departemen Penerangan, sebagai PNS, ia sempat mengajak Riri kala kecil walau bukan untuk liburan. Waktu kelas 2 SD, usia 7-8 tahun ia suka diajak travelling oleh ayahnya. “Waktu itu ayah kerjanya memang menunjukan keberhasilan pembangunan, sesuai dengan tugas di departemennya,” katanya. Ternyata pengalaman itu membuat Riri bisa merasakan mengapa ia harus keluar kota, terbiasa dengan pergi kemana-mana dan memperhatikan kehidupan di mana-mana.

“Selain itu kita juga hidup di negeri dan waktu yang sangat dinamis, kita melihat banyak perubahan yang terjadi di sekitar kita apakah itu perubahan politik, sosial di sekitar Indonesia ini, mau tidak mau itu mempengaruhi proses saya dalam mengeluarkan ide,” jelasnya. Apakah idenya itu menjadi film ataukah menjadi produksi iklan.

Tentang produk yang marketable, Riri menjelaskan, bahwa dirinya sebagai sutradara fokusnya bukan pada bagaimana membuat itu bisa dijual. Tapi tugas utamanya adalah memikirkan cerita, bagaimana struktur cerita bisa tepat dan tidak longgar, bagaimana menghasilkan karya film. Buatnya itu lebih penting dengan posisinya sebagai sutradara, daripada memikirkan hal lain.

Lagi-lagi karena ia bekerja sama dengan seorang produser film maker seperti Mira, ia merasa beruntung idenya bisa dikawal dengan baik. Sebagai produser tentu saja Mira harus berfikir holistik, menurut Riri, bahwa antara aspek kreatif-artistik dengan aspek pasar harus sejalan. “Karena saya cukup terbuka, dan saya cukup menikmati proses, beruntungnya kami berteman,jadi semua itu dibagi oleh Mira dengan cukup terbuka pada saya. Sehingga saya akhirnya otomatis bisa dengan rileks dan dengan tepat bisa berpikir dalam aspek bisnis itu,” paparnya.

Itu menjadi otomatis.Ia belajar juga penulisan skenario film. Di dalamnya juga membaca dan memahami pola yang umum ketika kita menonton film. “Mengapa kita harus mencari main character, tokoh utama ini yang akan kita ikuti dalam perjalanan cerita, kemudian dia akan menghadapi halangan-halangan untuk mencapai tujuan itu. Akhirnya ia mencapai tujuan itu walau ia harus mengalami banyak persoalan, bahkan hampir mati,” jelasnya. Ketika menulis skenario itu merupakan analisis dasar yang otomatis dilakukan oleh penulis, dan itu didalamnya juga ada masalah pasar.

“Saya kebetulan bekerja dengan produser yang mikirnya bukan dagang thok, bahkan Mira kadang lebih idealis dari saya,” imbuhnya. Mira dinilainya justru lebih kukuh dalam memegang idealisme. Menurutnya itu mempengaruhi sikap dan caranya memilih ide dan ramuannya.

Ia bercerita ada seorang dosennya kala kuliah di IKJ (Institut Kesenian Jakarta), bernama Khalid Arifin, ia mengajar sejarah film dunia dan penataan artistik film. Dosen ini dianggap sebagai dosen killer, keras, galak, dan lurus dalam menilai film. Ia pengagum karya film yang bagus, ia sangat pemilih dan tinggi seleranya. “Saya ikuti dia, gila ya ini orang selera filmnya, juga prinsip-prinsipnya dalam menilai film.Tapi ketika saya mau ujian akhir, saya ngobrol dengan dia, justru dia bilang, film itu harus komersial,” kata ayah dua anak ini.

Mengulang ucapan dosennya, bahwa film itu masih ada hingga hari ini karena film itu komersial. “Film yang komersial itu dalam artian produk yang lahir dari gagasan yang kuat, dengan alasan yang jelas, kemudian ditemani karya tersebut hingga sampai pada calon penonton yang dituju,” katanya. Itulah yang dipegang Riri sebagai komersial sebuah karya film. Bagaimana kita mengetahui pasar kita, mengolah produk kita agar diterima dan dinikmati, bahkan dicari oleh pasar.

Itu dianggap pengalaman yang luar biasa dari dosennya yang digunakannya hingga saat ini. “Dan perlu diingat, tidak mungkin semua ide itu bisa diterima oleh penonton yang luas,” imbuhnya. Ia menyebut ada film karyanya yang disadari betul bisa diterima masyarakat lebih luas seperti Laskar Pelangi dan Ada Apa Dengan Cinta?. Bukan berarti dengan begitu, ia dan Mira membuat film-film yang begitu terus.

RiriReza (utama)

“Dalam perjalanan hidup, bertemu dengan orang lain, tiba-tiba muncul ide membuat Film seperti Tiga Hari Untuk Selamanya, Eliana Eliana, atau Atambua 39 derajat Celcius (salah satu film terakhirnya),” katanya. Kala membuat Film Ada Apa Dengan Cinta?, Riri dan Mira yakin bisa tembus hingga 2 juta penonton. Tapi ketika membuat Film Atambua, ia yakin filmnya sejak awal sangat niche paling hanya 20 ribu penonton, 100 ribu penonton pun tidak sampai.

“Saya selalu mendengarkan Mira, ketika saya ada ide, setelah dijelaskan ke Mira, dia suka, tapi Mira tetap realistis, oke bagus, tapi kita buat budget-nya jangan gede-gede ya, karena yang nonton film dengan ide tersebut tidak akan banyak. Kalau gede, investor tidak akan happy, karena uangnya tidak kembali,” jelasnya tentang dialog dengan Mira antara ide dengan kondisi pasar.

Riri baru saja pulang– minggu lalu– dari Rusia, tepatnya ke kota Vladikostok, menghadiri sebuah festival film Asia Pasifik di sana. Ia diminta menjadi juri film di sana untuk karya-karya film Spanyol, Guatemala, Peru, Korea, Jepang, Rusia, Selandia Baru, Singapura. Kalau ke Jepang, ia membawa Film Atambua, yang diundang untuk diputar di festival di sana. “Menariknya film Atambua ditawarkan untuk menjadi bagian dari arsip film yang disimpan di Perpustakaan Fukuoka,” imbuhnya. Film Atambua juga sempat diputar di festival di Tokyo sebelumnya, serta di Rotherdam (Belanda), Melbourne-Australia, Vancouver- Canada dan ke beberapa festival film lain (Riri tidak ingat semuanya). “Oktober akan ke festival film di London,” pungkasnya. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved