Editor's Choice Entrepreneur

Robert B. Widjaja: Tak Henti Menyalakan Energi Pembaruan di Tigaraksa

Robert B. Widjaja: Tak Henti Menyalakan Energi Pembaruan di Tigaraksa

Usianya sudah mencapai 74 tahun. Tepatnya, lahir tanggal 16 Januari 1937. Kemampuan pancainderanya pun sudah berkurang. “Pendengaran saya juga sudah terganggu,” tuturnya. Namun, semangatnya untuk mempelajar dan menggali ilmu manajemen tak surut. Itulah Robert Widjaja, pendiri Grup Tigaraksa. “Buku pertama yang saya baca and sangat mempengaruhi saya adalah The Rise and Fall of Corporate Strategy, dari Henry Mintzberg,” Robert menegaskan. Kehadiran Kindle, baginya, sangat membantu untuk terus melanjutkan petualangannya membaca buku-buku atau teori manajemen baru.

Robert B. Widjaja, Tigaraksa, Tigaraksa Satria

Robert B. Widjaja

Tak hanya mempelajari teori manajemen. Ilmu manajemen baru yang dia peroleh pun langsung dipraktikkan di perusahaan, ketika ia memimpin Tigaraksa. Tentu, ia merasa tak gampang mengaplikasikan ilmu baru yang didapatnya karena banyak benturan-benturan di internal perusahaannya sendiri.

Kini, ia memang tak aktif lagi mengurus perusahaan. Ia lebih memilih mempercayakan kendali perusahaan kepada profesional independen. Anak-anaknya pun hanya duduk di Dewan Komisaris. Baginya, pemegang saham tak boleh jadi anggota direksi. Banyak hal yang bisa dipelajari dari sosok salah satu pebisnis senior di Indonesia ini. Untuk mengungkap lebih dalam pengalaman dan wisdom dari Robert Widjaja ini, wartawan SWA, Joko Sugiarsono, Yuyun Manopol dan Radito A. Wicaksono mewawancari lelaki yang menguasai Bahasa Inggris, Jerman dan Belanda ini. Berikut wawancara lengkapnya.

Sejak kapan baca buku-buku tersebut?

Sejak tahun 1993. Jadi waktu itu usia saya kira-kira mendekati 60 tahun. Saya katakan bahwa saya sudah waktunya untuk tidak menjadi eksekutif lagi di perusahaan. Menurut saya, ketika itu yang bisa melakukan seperti saya adalah Pak Djoko (Djoko Tata Ibrahim, mantan Dirut Tigaraksa Satria, Red.). Tapi ternyata Pak Djoko punya pendapat lain, dan itu silahkan. Saya harus mencari penggantinya.

Tapi saya tahu, ketika setiap kali hanya mengganti pemimpinnya saja, maka perusahaan tidak akan bisa langgeng ke depan. Kita harus bisa menciptakan suatu sistem. Sistem inilah yang harus kuat. Nah, ini yang saya cari terus, sistem-sistem yang bisa digunakan

Proses seperti itu, coba-coba atau seperti apa pelaksanaannya?

Belum, ketika itu saya belum menemukan sistem untuk diaplikasikan. Baru mencari ide-ide. Metodenya memang banyak, tapi belum menemukan yang pas untuk diaplikasikan. Semua sudah saya baca. Kalau orang lain, habis baca buku langsung coba. Kalau saya tidak. Saya ini memang orangnya tidak gamoanng mantap.

Mengapa seperti itu? Pelajaran MBA (masteral) itu semua berdasarkan teori atau metode seperti itu, seperti Balance Score Card, Six Sigma dan lain-lain. Tapi semua itu, activity based misalnya, merupakan satu manajemen sistem, dan bisa diterapkan. Hanya saja, ada satu yang mesti diperhatikan. Apa itu? Saya menemukan jawabannya ketika di Swiss dalam buku yang berjudul “ The New St.Gallen Management Model”, ditulis oleh St. Gallen. Ini yang menjadi dasar buku saya, ”Arsitektur Sebuah Model Manajemen”.

Kenapa saya menjelaskannya lompat-lompat begini? Karena lebih mudah menjelaskan seluruh sistem, kalau kita punya wadahnya dulu. Ilmu Manajemen, kalau saya tanya: “Apa yang di-manage?” Jika jawabannya adalah people, apakah people tersebut tidak perlu wadah? Apa wadahnya? Jika ditanya seperti itu, maka jawabannya adalah company. Jika dijawab company, mereka keluarkan deh tuh struktur organisasi. Semua jadinya fungsional.

St. Gallen mulai meneliti hal itu sejak tahun 1954. Dia mengatakan, kalau kita tidak bisa menemukan atau menjelaskan organisasi itu apa, bagaimana kita bisa me-manage organisasi? Tetapi bagi seorang Ulrich, organisasi itu sangat rumit. Kalau sekadar membicarakan manusia saja, memuaskan manusia itu sangat sulit. Memuaskan orang bisa berbeda-beda. Manusia itu harus mengetahui bahwa mereka punya peran. Sekarang bayangin, kalau secara fungsional mereka dikotak-kotakin. Coba lihat General Electric, perusahaan ini mendobrak semua itu. Mereka katakan bahwa nomor satu, tembok-tembok fungsional harus di dobrak. Kalau tembok-tembok fungsional sudah didobrak, maka nantinya akan lari ke proses.

Nah, St. Gallen ini punya based adalah integration, yang mana pada permulaan atau mungkin masih sampai sekarang, mereka masih pergunakan vertical integration dan horizontal integration. Saya juga pernah baca sebelumnya dan pelajari sebelumnya hal itu di Six Sigma. Tapi, saya memang butuh proses dan fungsi

Lalu, bagaimana proses pembuatan buku yang Bapak jalankan?

Pertama saya desain dalam buku saya Market Driven Corporate Strategy, pakai organisasi matriks, bingung sendiri saya untuk menjelaskan cara kerja organisasi matriks itu. Dari situ saya melihat, siapakah sebenarnya yang paling berpengaruh, si pemilik fungsi atau yang melakukan prosesnya? Katakan itu merupakan critical points, ya ngomongnya gampang, tapi tetap saja tidak ada pegangan.

Model St. Gallen itu menjelaskan semua. Karena itu, sebaiknya St Gallen menyusun modelnya itu, khususnya bagi pemula, seperti mahasiswa yang ingin belajar manajemen. Sebagai dasar, sebelum memulai untuk belajar sistem lain, mulai saja dulu dari mengerti apa itu organisasi. Karena, di masa depan, yang akan di-manage adalah organisasi. Dan, manajemen organisasi ini harus dapat disampikan dan dipergunakan sebaik-baiknya.

Jadi sekarang, kalau itu semua tidak dimiliki oleh sebuah perusahaan, maka perusahaan tersebut akan seperti fragmented adhocracy –istilah dari Leicester University. Artinya, hal-hal seperti Balance Score Card dan lain-lain terus ditempel oleh lumpur. Asal nempel aja biar keliatannya satu, tapi kalau disiram air ya buyar. Itulah yang diganti oleh sistem model manajemen St.Gallen. Saya mulai mempelajari St. Gallen tahun 2008. Belum terlalu lama. Sampai sekarang saja saya masih utak-atik model tersebut. Ini adalah yang saya ingin capai, untuk modernisasi Tigaraksa Satria ke suatu model yang penuh risiko. Tapi sekarang kelihatannya berhasil.

Bagaimana Anda menerapkan konsep tersebut di Tigaraksa?

Saya mulai seluruh perubahan di Tigaraksa Satria tahun 2005. Jadi sebelum saya mempelajari model manajemen St. Gallen. Nah, di situ saya mulai masukin konsep manajemen di Tigaraksa. Salah satu prinsip yang pertama adalah EVA (economic value added). Kalau kita lihat neraca yang di-publish, kelihatannya perusahaan untung. Coba kalau dimasukkan biaya bunga dan biaya ekuitas, bisa kelihatan untung atau tidaknya perusahaan.

Jadi target saya kepada Ibu Lianne Widjaja, yang ketika itu menjabat sebagai chief operating officer, dan saya sebagai CEO, saya ingin EVA itu positif pada 2007. Dan mereka dapat lakukan itu. Mereka hebat. Ini semua retained earnings, yang non-produktif mereka pay-out sebagai dividen. Jadi dengan begitu, equity-nya turun. Aset-aset yang tidak produktif dileaps. Gedung kantor ini pun sudah dijual karena tidak produktif. Jadi, tindakan-tindakan seperti ini kalau orang luar lihat sepertinya aneh. Mereka berpikiran, kan harga tanah akan naik terus. Tapi, buat apa kalau tidak produktif. Nah, tapi saya katakan juga, agar bagaimana EVA ini bisa memotivasi semua orang di perusahaan. Jadi, EVA yang diciptakan dibagi 3, di mana sebagaian untuk direksi, sebagaian untuk retained earnings agar bisa maju, dan sebagian lagi untuk ekstra dividen. Dividen pertama adalah sama dengan bunga equity yang kita tentukan, lantaran ada risiko lebih besar dari equity dibanding pinjaman, dan ini memang ada formulanya sendiri, kemudian ditambah kalau tercipta EVA. Jadi, EVA ini dibagi, 40, 30, 30 persen. 40% untuk retained earnings guna mengembangkan usaha, 30% untuk direksi, untuk 30% pemegang saham.

Jadi sebenarnya, kalau saya sering baca di koran atau di mana saja, yang bayar 20%-nya. Dasarnya dari mana? Sudah untungnya palsu, bayarnya cuma 20%. Diambilnya dari mana? Kenapa 20%? Belum lagi urusan dengan bank-bank. Tapi, saya sebagai pemegang saham kecil, saya tetap ingin dividen dong. Nah, sekarang sudah deviden policy clear, bonus clear, dan lain sebagainya. Kalau perlu modal tambahan lagi, tingkatkan equity, dengan segala tools yang ada.

Dari 30% tadi itu, termasuk karyawan tidak?

Tidak. Karyawan ada lagi. Karyawan itu apa bedanya kalau di sini? Kita lihat, direksi di sini bukan karyawan. Perusahaan itu merupakan suatu legal entity. Siapa yang “wakilin” legal entitiy ini? Kalau direksi kaya, maka akan berat sebelah ke karyawan. Jadi direksi itu harus independen. Dia juga tidak bisa menjadi pemegang saham. Ini merupakan idaman saya juga, dan sudah berjalan. Maka itu, dia (Chandra Widjaja, putri Robert) tidak boleh menjadi direksi. Bu Lianne, walaupun ada nama Widjaja di belakangnya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan keluarga. Ibu Lianne bukanlah keluarga saya. Jadi dari seluruh direksi, tidak ada yang berhubungan(keluarga).

Memang, masih di dewan komisaris ada. Tapi itu pun, kalau tergantung dari saya, saya gak setuju. Tapi berhubung saya sudah tua, jadi saya sudah tidak bisa terlibat secara langsung. Jadi yang mewakili pemegang saham ya direksi. Direksi jugs mewakili kepentingan karyawan.

Selain EVA, apa lagi yang diintroduksi di Tigaraksa Satria ini?

Selain EVA, yang diintroduksi di sini adalah ABC (Activity Based Costing). Tetapi, saya punya permasalahan yang cukup besar waktu terapkan konsep ini. Karena, kata pertama pada ABC itu adalah activity, dan apa itu activity? Activity is process. Sedangkan dalam organisasi tidak bisa berorientasi hanya pada proses. Jika begitu jadinya, tetap fungsional. Sedikit aneh. Mau melakukan ABC, tapi masih fungsional. Jadi costing nya berdasarkan aktivitas di fungsi. Itu mengganjal sekali. Saat itu saya belum menemukan St. Gallen. Jadi, ketika itu banyak sistem-sistem, yang kalau diterapkan, bisa-bisa menjadi banci, cuma setengah.

Pada waktu itu, ada satu hal yang kami banggakan dan sampai sekarang itu masih jalan, yaitu rolling forecast. (Rofo). Model seperti itu inhouse. Kalau seperti ABC itu kami adopsi dari luar. Rolling forecast ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ABC.

Rolling forecast adalah sebuah contoh, bahwa setiap perusahaan bikin forecast. Kami semua tahu, bahwa forecast itu sama dengan dengan budget, ada midyear revision¸ end-year revision, dan lain-lain, terus direvisi. Saya bilang, kalau bisa revisi dua kali kenapa tidak adakan revisi monthly. Jadi, kami coba-coba saat itu bikin revisi bulanan. Karena sebenanrya, jika kita sudah berada kearah yang salah, terus dipertahankan selama 6 bulan, apa gunanya? Jadi, sebenarnya harus diadakan revisi tiap bulan agar bisa kembali ke jalur yang benar.

Kemudian, pada akhir 2007, saya jatuh sakit, cukup berat. Untuk itu, saya memutuskan untuk resign. Karena saya rasa tidak akan bisa responsible jika kondisi fisik seperti itu. Saya mengundurkan diri dari semua aktivitas. Termasuk menjadi komisaris pun saya tidak mau. Untung pulih lagi sekarang. Ya setidaknya sampai seperti saat ini, masih terkendali. Cuma tetap, masih sakit. Saya punya multi immune disorder. Jadi setiap saat bisa jatuh.

Kemudian, bulan Mei 2008, saya menemukan buku St. Gallen. Saya baca artikel di The Jakarta Post. Dari situ, saya merasa bahwa buku itu yang memang saya butuhkan untuk menerapkan model manajemen di perusahaan. Saya cari itu buku. Buku itu tipis, hanya 87 halaman. Susah nyarinya. Setelah dapat, sulit sekali untuk mengerti buku itu. Sampai saya terjemahkan ke bahasa Indonesia. Tetap saja susah dimengerti.

Apa yang menarik dari buku St. Gallen itu?

Buku itu dimulai dari pengaruh lingkungan yang ada. Di buku itu disebutkan ada 4 lingkungan yang mempengaruhi, yaitu nature, society, technology, dan economy. Ke-4 hal tersebut sangat mempengaruhi perusahaan, dan perusahaan itu pun tergantung ada dimana, apakah ada di Jakarta atau kota lainnya dan wilayah lain. Jadi banyak hal yang mempengaruhi sebuah perusahaan. Jika kita punya perusahaan, keempat hal itu harus diperhatikan.

Terus, ada 2 teori. Yaitu, teori neo-liberal, yang mana tujuan perusahaan adalah menciptakan shareholders wealth, yang masih banyak dianut di Indonesia. Saya katakan tidak untuk itu. Keputusan saya itu sudah ada sebelum saya baca St. Gallen. Saya ambil dari Johnson & Johnson. Kalau di sini, kita menganut stakeholders wealth. Kami ingin menciptakan nilai untuk stakeholders. Stakeholders kita ada 6. Apapun yang kami lakukan adalah untuk stakeholders. Tapi, kesulitannya setiap stakeholders kebutuhannya berbeda. Prinsip yang kami anut adalah, stakeholders penting buat kami, tapi kami juga penting untuk stakeholders.

Lalu, bagaimana kami meyusun hubungan dengan stakeholders? Ini semua dijadikan sebagai basic believes kami. Disamping itu, kami mesti susun how to do-nya, dan ini kami jadikan sebagai operational belives kami. Bahwa kami harus tentukan terlebih dahulu, structuring forces, kekuatan-kekuatan yang menentukan yang membentuk proses-proses. Yang terpenting untuk proses tersebut adalah, perusahaan harus memiliki strategi, bukan dalam arti bagaimana caranya, tapi strategi mengenai apa yang harus dicapai. Kemudian, harus ditentukan terlebih dahulu struktur perusahaan, dan yang terakhir adalah pentingnya corporate culture.

Ketiga hal tersebut harus ditentukan terlebih dahulu, baru setelah itu lari ke proses. Jadi, kelihatan sekali, the vertical integration bukan berdasarkan fungsi, tapi dari kekuatan pembentuk ke proses yang horizontal. Proses horizontal tersebut dimulai dari yang gampang terlebih dahulu, yaitu proses bisnis atau core processes. Proses tersebut adalah proses yang menciptakan value bagi para outsiders, atau yang berada di luar organisasi. Disamping itu, ada support processes, seperti bagian SDM, karena SDM tersebut tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Ini adalah inhale and exhale dari pendekatan St. Gallen. Kalau dilihat dari itu semua, tidak ada itu struktur organisasi fungsi. Kalau saya memberanikan diri mengganti fungsi tersebut, banyak penolakan, terutama dari dalam perusahaan.

Jadi, proses struktur implementasinya seperti apa?

Jadi sekarang, di Tigaraksa Satria, tidak ada gambar struktur. Tigaraksa Satria sekarang punya 4 proses bisnis dan 4 proses support. Yang pertama adalah proses yang membina dan memperluas bisnis dengan para prinsipal kami. Kami harus meyakinkan Rofo kepada prinsipal.

Kemudian proses bisnis yang kedua, bagaimana diterapkan ke semua regional, area, teritori, supervisor, sampai hingga ke sales, bahwa target ini yang mereka harus capai. Berdasarkan proyeksi Rofo ini, kemudian dilanjutkan dengan proses bisnis yang ketiga, yang kami sebut logistik adalah bagaimana memastikan bahwa produk itu ada. Sedangkan untuk bisnis proses yang keempat adalah trademarketing, dan karena itu, banyak promosi yang dilakukan di toko-toko.

Sementara itu, untuk support processes terdiri dari human resources, information technology, information system, accounting, dan finance. Keseluruhan hal tersebut memiliki peran masing-masing.

Dari konsep yang sebegini banyak, Pak Robert pikirkan sendiri apa ada partner untuk sharing atau pertajam lagi?

Chandra Widjaja (anak Robert): Tidak. Beliau mengumpulkan semua informasi dari buku-buku dan dia tulis kembali di buku barunya, apa saja ilmu yang dia dapatkan

Pak Robert: Unfortunately, not yet!

Belajar sistem-sistem tersebut dari mana?

Boleh dikatakan belajar secara otodidak selama hampir 19 tahun, yakni dari tahun 1993.

Maka dari itu, dengan latar belakang pendidikan politik Pak Robert, kan agak sedikit tidak relevan dengan bidang yang dijalankan saat ini. Apa benar begitu?

Terus terang, dengan saya belajar ilmu politik tersebut, baca bagi saya menjadi lebih mudah untuk mengerti. Buku pertama yang saya dapat saat itu, walaupun lebih kepada salah milih, adalah buku Herbert Marcuse. Buku itu sulitnya setengah mati untuk dimengerti. Tapi, saya dulu punya asisten bagus saat itu. Waktu itu, saya selama satu semester harus bisa mengerti dulu buku itu. Setelah mengerti buku itu baru saya boleh baca yang lain. Ketika itu saya masih di Jerman. Dulu teori Herbert Marcuse dikenal dengan teori New Left. Saya dulu dicap sebagai komunis ketika di Jerman. Saya dulu masuk sekolah tahun 1968. Dulu, saya punya paper tentang Cina setelah revolusi kebudayaan tahun 1971, akan lebih maju daripada India yang sudah demokrasi dan segalanya.

Jadi, kembali ke awal, implementasi dari konsep-konsep Pak Robert tersebut bagaimana caranya, benturannya seperti apa dan lain-lainnya?

Tadi saya sempat katakan bahwa saya memiliki aversi terhadap planning, saya juga punya aversi terhadap implementasi. Alasannya sederhana, saya sudah lakukan seperti yang disuruh pada implementasi, tapi kok tidak berhasil? Jadi saya sebisa mungkin lebih condong menggunakan kata eksekusi. Beda definisi eksekusi ini terletak pada melakukan sesuatu dengan sukses melalui knowledge. Tidak boleh berdasarkan untung-untungan.

Kalau begitu, bagaimana benturan yang terjadi atau proses yang terjadi ketika eksekusi sedang mengeksekusi konsep-konsep tersebut?

Caranya, saya kan sudah ada kerjaan lagi. Saya bikin buku sampai tidak tahu lagi berapa jumlahnya. Dalam membuat buku-buku tersebut, dasarnya adalah seperti ini. Saya membagi hal tersebut ke dalam 3 bagian. Bagian yang pertama adalah mengenai teori, sistem, dan konsep berbagai manajemen. Seperti ABC, Rofo, EVA, dan lain sebagainya. Bagian ke-2, saya jelaskan secara singkat tentang model manajemen yang akan digunakan. Bagian ke-3 adalah, bagaimana Tigaraksa Satria menggabungkan kedua bagian tersebut ke dalam perusahaan. Bagian pertama, sudah saya tulis. Begitupun dengan bagian yang ke-2. Bagian ke-3, sedang saya tulis. Tetapi kali ini akan ditulis dalam bahasa Inggris. Buku ini diharapkan bisa diterbitkan tahun 2013.

Lalu, apa yang dimaksud dengan Robu (Rolling budget)?

Kalau saya bisa bikin Rofu, apa susahnya saya bikin Robu! Bedanya, kalau di budget ini ada costing. Rolling budget ini biasanya digunakan khususnya pada funding. Dari situ akan keluar kebutuhan dana saya, untuk working capital dan capital expenditure.

Benefit apa yang dirasakan setelah melakukan perubahan dari functional based ke process based?

Belum ada yang dirasakan. Tetapi benefit yang pertama akan dirasakan adalah, ABC langsung bisa berjalan dengan sempurna. Penggunaan ABC sendiri, tujuannya lebih banyak kepada cost management. Karena itu, sebenarnya ada dua sistem yang disebut ABC dan satu lagi disebut ABM. Jika ABC berarti Acitivity Based Costing, sedangkan ABM berarti Activity Based Management. Jadi ABM bermaksud untuk menghilangkan atau mengganti manajemen yang tidak menciptkan value sesuai dengan cost nya.

Nah ini baru dieksekusi, tapi belum digunakan oleh masing-masing. Namun, semua sudah di-set. Jadi jika ingin mengetahui biaya bisnis proses 3, dengan menggunakan ABM ini akan menjadi lebih mengetahui biayanya secara akurat. Semua biaya aktivitas tersebut menjadi dasar bagi Robu. Ada sales-nya ada biayanya.

Benefit yang diharapkan seperti apa?

Nah, yang sekarang sedang kami kerjakan sebenarnya yang paling susah, yakni revenue growth. Untuk meningkatkan revenue ini sangat susah. Ini yang kami sedang perbaiki. Seperti yang sudah saya katakana tadi, bagaimana meningkatkan LOC (Level of Consumption).

Revenue growth, asal usul dasarnya adalah take competitor’s customers, increase usage, convert non users, produk baru untuk excisting market. Jadi sekarang kami mesti punya kemampuan untuk melihat di mana letak low hanging fruits, yang paling mudah dan yang efeknya paling besar. Ini sedang saya introduksikan. LOC ini belum ada 2 bulan.

Bentuk eksekusi LOC ini nantinya seperti apa?

Bentuk eksekusinya adalah, jika kita sudah tahu, lalu mengikuti salah satu teori yang mengharuskan kita untuk menentukan masalah yang ada terlebih dahulu, lalu kita ukur keadaannya bagaimana, kemudian kita analisa dan improve. What we have to do? Kalau kita ingin take competitor’s costumers, maka tujuan kami disini akan memiliki target yang jelas.

Jadi kami akan tahu apa saja yang harus kita lakukan, dan apa saja input yang kami perlukan. Itu prosesnya. Simple, outputnya jelas, customers-nya jelas, input-nya apa, supply-nya siapa, baru aktivitas. Output-nya dulu tentukan.

Sekarang bisa kelihatan, betapa sulitnya dan betapa besarnya faktor SDM. Ini yang semua kami lakukan toh? Mereka mesti dilatih, diyakinkan, dan di coach. Saya bedakan latih dengan coach. Training atau latih merupakan transfer of knowledge. Itu gampang. Coaching adalah merupakan kemampuan masing-masing, bagaimana mengeksplorasi kemampuan masing-masing.

Sekarang pertanyaann yang akan saya jawab adalah, apakah saya masih tertarik ke dunia politik? Kalau secara sistem, sangat tertarik. Sepakbola pun boleh, olahraga pun boleh. Kita harus punya general knowledge.

Kalau kedepan, Pak Robert ingin Tigaraksa menjadi seperti apa?

Wah, kalau itu salah arah pertanyaannya. Sebenarnya simple, seperti tertera di depan ruangan, “Always Ahead”. Saya cuma kasihkan bahannya saja ke manajemen. Kalau yang kasih bahan sih gampang, yang susah kan yang eksekusi, yaitu direksi atau manajemen.

Lianne Widjaja: Jadi kami tetap akan di core business kami, yaitu sales & distribution ompany. Bisnis Tigaraksa secara keseluruhan adalah penjualan dan distribusi. Contohnya, divisi buku yang kami miliki, termasuk bisnis sales & distribution. Hanya saja, kami melakukannya secara direct selling. Kemudian divisi blue gas, produksinya hanya sedikit, dan kebanyakan beli dari luar. Ini juga sama, direct selling. Kami jual ke end users. Jenis produk bisa macam-macam, tapi untuk kali ini kami sedang fokus ke produk-produk kitchen appliances. Dari beberapa supplier. Hingga saat ini, anak perusahaan hanya satu, yaitu Blue Gas.

Kalau mengenai perampingan yang terjadi di PT Tigaraksa ini, termasuk dari konsep Pak Robert yang mana?

Lianne WIdjaja: Iya, itu termasuk konsep yang dikembangkan oleh Pak Robert, yaitu Cost Management.

Bagaimana cara Pak Robert mentransfer konsep-konsep yang nantinya harus dieksekusi oleh pihak manajemen/direksi?

Lianne Widjaja: Pada saat Pak Robert punya ide atau sesuatu, biasanya kami brainstorming dulu di level direksi. Jadi istilahnya Pak Robert menjadi mentor kami. Kami godok sama-sama ide Pak Robert itu.

Pihak Manajamen pernah merasa underpressure tidak, dengan banyaknya ide dan konsep Pak Robert?

Lianne: Oh tidak pernah. Kami sudah terbiasa dengan perubahan-perubahan. Kami juga merasa, ini semua demi kebaikan Tigaraksa. Dan kenyataannya berhasil.

Chandra Widjaja (anak): Satu yang pasti, kami selalu berprinsip: We must change. Kami harus berubah, kalau tidak maka tidak akan bisa bersaing.

Berapa anak Pak Robert? Sepertinya Bu Chandra yang paling banyak men-transfer ilmu-ilmu Pak Robert.

Chandra: Iya, saya satu-satunya anak yang terjun ke bisnis ini. Saya punya kakak yang berbisnis restoran, namanya Patrick. Kemudian saya, dan di bawah saya ada adik saya, namanya Charise yang merupakan ibu rumah tangga. Cucu Pak Robert ada 7 orang.

Kenapa yang turun ke dunia bisnis ini hanya Bu Chandra? Apa memang dari kecil sudah di arahkan ke dunia bisnis?

Chandra: Saya dari kecil memang kerja terus. Saya awalnya hanya membantu-bantu saja. Terutama di bisnis fashion dan publishing.

Apa message Pak Robert saat ini?

Message saya gampang, di Tigaraksa Satria, saya ingin tidak ada karyawan yang “hanya”. Dalam arti, “dia hanya tukang antar barang”, dan lain “hanya-hanya” yang lainnya. Mereka semua penting. Tanpa mereka, Tigaraksa tidak akan sempurna. Semua mempunyai tugas masing-masing. Jadi, jangan ada karyawan yang “hanya” di perusahaan ini.

Apa passion Pak Robert sendiri?

Saya punya passion dalam hal membaca. Kalau dulu masih golf, tapi sekarang sudah tidak.

Saya, kalau disuruh bangun bisnis berdasarkan koneksi, saya gak sanggup. Karena itu jual diri kita, saya gak bisa seperti itu. Saya bukanlah orang yang punya kebutuhan banyak. Makananan yang saya suka, murah-murah.

Suka olahraga apa?

Dulu golf. Tapi sekarang tidak. Saya tidak pernah suka satu olahraga saja, tapi juga tidak semua olahraga saya lakukan. Karena saya punya handicap. Kepala saya tidak bisa menengok/memutar. Dulu saya juga suka menyetir mobil. Tapi karena macet di mana-mana, mengantre dimana-mana, saya stop berkendara. Karena usia, ya baca buku sudah yang paling gampang. Artikel. Saya tidak suka surfing di internet. Facebook saya tidak punya. Tapi ada satu alat (gadget) yang saya suka, yaitu Kindle. Tidak repot, hurufnya bisa besar bisa kecil. Mencari buku apa saja bisa disitu.

Kalau keluarga/anak-anak diarahkan seperti apa?

Tidak ada arahan yang terlalu bagaimana. Hanya saya arahkan menjadi orang baik saja.

Apakah Bapak satu angkatan sama BJ Habibie ketika di Jerman?

Tidak satu angkatan. Habibie lebih senior. Jadi waktu Pak Habibie sekolah, saya jualan kacang. Asal usulnya saya di Jerman, saya bukan hanya jual tapi bikin kacang atom. Tahun 1960, saya juga jual sambel, jual tahu, dan bikin tauge. Itu asal-usul saya di Jerman

Berapa tahun di Jerman?

13 tahun. Memang Pak Habibie juga di Jerman. Tapi ketika beliau sekolah, saya kan jualan. Ketika mereka sudah pulang, saya baru mulai sekolah. Saya punya dompet agak aman, saya baru masuk sekolah lagi, tahun 1968. Itu setelah 8 tahun kerja, saya sekolah lagi, lulus tahun 1971.

Setelah itu saya pulang ke Indonesia, tepatnya tahun 1973. Ketika balik ke Indonesia, disambut dengan “kembang api”, atau persitiwa Malari. Mobil saya sempat dibawa kabur. Utung supir saya pintar. Dia bawa ke dalam markas Kostrad. Jadi tidak dibakar.

Tapi, dasar orang baru kembali ke Indonesia, saat kejadian itu malah saya ambil motor dan keliling Jakarta, ingin lihat di mana ada api. Sama juga kejadiannya dengan tahun 1998. Kalau orang lain pada takut di sini, sampai ada yang ke luar negeri, saya malah muter-muter Jakarta naik mobil, lihat-lihat situasi saat itu.

Bapak kembali ke Jakarta pada tahun 1973 itu, apakah diminta oleh pihak keluarga?

Oh tidak. Sebenarnya, sebelum itu saya sudah sering kembali ke Jakarta. Sejak orde baru, bisins dibuka, saya sering mondar-mandir ke sini. Berbisnis, apa saja dikerjakan.

Kalau Tigaraksa itu sendiri, kapan mulai Bapak operasikan?

Sebenarnnya begini, di perkebunan Tigaraksa, saya pernah menjadi administrator di perusahaan ini. Akan tetapi, perkebunan itu tidak punya masa depan karena terlalu kecil. Hanya 600 hektar, di kota Tigaraksa. Itu nama kota tersebut asal-usulnya dari situ. Sedangkan jika ingin dijadikan perkebunan karet, 600 hektar tidak bisa. Perkebunan karet minimal harus 1.500-2.000 hektar. Jadi akhirnya dicabut hak guna bangunannya. Kami diambil, kemudian sekarang dikenal sebagai kota Tigaraksa.

Nama ini terus digunakan. Waktu itu bisnisnya masih belum jelas. Waktu itu, arahnya ke bermacam-macam bisnis, antaraem lain sales & distribution. Bisnis ini kemudian saya pisahkan menjadi jadi Tigarasksa Satria, pada tahun 1986 mulai didaftarkan, tapi mula beroperasi pada tahun 1988. Tahun 1990 go public. Pada saat itu, Pak Djoko menjadi Dirut. Dulunya dia di Johnson & Johnson.

Sekarang kan ada Tigaraksa dan ada Tigaraksa Satria, itu bedanya apa?

Sebetulnya kalau Tigaraksa Satria itu hanya memegang sales & distribution. Sedangkan Tigaraksa, yang dulu merupakan holding, memiliki berbagai macam aktivitas. Sekarang terbalik, Tigaraksa sebagai holding sudah tertidur. Waktu tahun 2000, saya setengah dipecat oleh saudara-saudara saya, karena saya tidak setuju dengan keinginan mereka yang ingin menjual saham Sari Husada.

Founder-nya Tigaraksa Satria siapa aja?

Pak Jhonny, terus yang paling tua Pak Thonny, dan ada saya, yang merupakan anak termuda. Di luar itu masih ada 5 saudara lagi. Orang yang paling kaya di Jakarta zaman dulu adalah leluhur saya. Leluhur saya dulu matinya digantung. Kalau saya bilang, saya gak punya jabatan, tapi peran saya penting. Sekarang mana yang lebih penting, jabatan atau peran? Ada yang gila jabatan, tapi gak ada yang gila peran. Apa yang saya katakan, kalau mereka (manajemen) tidak mau lakukan, ya tidak apa-apa. Kalau saya paksa mereka lakukan sesuatu, nantinya saya yang bertanggung jawab. Saya tidak mau bodoh. Nanti, hasilnya pun silakan mereka yang ambil.

Bagaimana regenerasi dari keluarga untuk menjabat di perusahaan, untuk di direksi?

Chandra: Tidak ada yang mampu, kalau menurut Pak Robert

Lianne: Ya kembali lagi ke prinsip awal Pak Robert, direksi harus orang yang independen.

Yang menyeleksi BOD siapa?

Yang sangat berperan yang Pak Budi (Purnawanto). Termasuk pemilihan Bu Sianne untuk jadi Direktur Utama.

Pak Budi siapa yang mendapatkan?

Pak Budi memang dari awal sudah berasal dari dunia Human Resources. Dulunya di Sari Husada. Terus pindah ke Tigaraksa Satria. Waktu itu kalau tidak salah yang merekrut Pak Dwiyatno dari Sari Husada.

Chandra: Pak Budi cocok dengan Pak Robert. Cocok itu tidak mesti nurut terus. Harus ada yang jadi counter part.

Kira-kira apa yang ingin disampaikan atau dinasehatkan kepada dunia bisnis di Indonesia?

Saya tidak ada nasehat-nasehat yang bagaimana.

Dari Bu Chandra, apa nilai-nilai yang diingat dari Bapak?

Chandra: Yang saya pelajari dalam waktu 2-3 tahun dari Bapak adalah, untuk membangun perusahaan yang sukses, kita harus belajar organisasi sebaik-baiknya. Open minded, learn, and challenge.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved