Editor's Choice Corporate Action

Siap Dipisah, Siap Terbang Lebih Tinggi

Siap Dipisah, Siap Terbang Lebih Tinggi

“Pada April 2012 Air Operator Certificate (AOC) akan didapat Citilink, sehingga dapat berdiri sendiri,” ujar Elisa Lumbantoruan, Direktur Keuangan Garuda Indonesia. AOC merupakan persetujuan yang diberikan otoritas penerbangan nasional untuk memperoleh izin menggunakan pesawat dengan tujuan komersial. Dengan mengantongi sertifikat AOC, maka Citilink nanti tidak lagi menjadi strategy business unit (SBU) Garuda, melainkan di-spin off sebagai entitas bisnis tersendiri berbentuk PT.

Elisa Lumbantoruan, Direktur Keuangan Garuda Indonesia

Keputusan Garuda menjadikan Citilink maskapai mandiri bukan asal-asalan. Melalui riset pasar ditemukan fakta rata-rata pertumbuhan industri penerbangan mencapai 20%-21% per tahun. Apalagi layanan low cost carrier (LCC) kian diminati dengan menyedot 80% pangsa pasar, sedangkan full service hanya 20%. Keberhasilan Qantas yang melayani format full service sembari mengembangkan JetStar untuk LCC yang lebih jelas segmentasi dan pengelolaannya, makin membulatkan tekad Garuda.

Dengan strategi tersebut, tak heran Citilink kian agresif membenahi diri. Memang tampak agak telat dibanding kompetitor yang sudah terbang jauh dengan konsep LCC. Padahal, jika ditengok ke belakang, Citilink justru perintis penerbangan murah sejak 2002 yang kemudian diikuti beberapa pemain lain seperti Adam Air yang akhirnya rontok, sementara yang lainnya seperti AirAsia, Sriwijaya dan Lion Air tetap mengangkasa.

Rontoknya sejumlah maskapai LCC memberikan pelajaran berharga: perlu LCC yang lebih berkualitas dan berkesinambungan. Maka, terhitung tahun 2008 Garuda benar-benar memisahkan Citilink dengan menjadikan Surabaya sebagai kantor utama, tetapi belum berbentuk PT tersendiri. Pendeknya segala kegiatan operasional, tim, dan sistem Citilink berbeda dari Garuda. “Sebenarnya rencana Garuda serius menggarap Citilink sejak tahun 2002. Namun, waktu itu jenis pesawat, kru dan operasional Garuda sama dengan Citilink. Yang beda hanya kursinya saja, Citilink full kelas ekonomi,” Elisa menguraikan.

Mengapa Garuda telat membenahi Citilink lebih serius? Kala itu Garuda sedang fokus melakukan transformasi sejak tahun 2007 dan puncaknya pada 2010 yang ditandai dengan Garuda go public. Saat itu Garuda sedang sibuk memperkenalkan banyak hal, seperti Garuda Experience, budaya baru, persiapan initial public offering, plus restrukturisasi utang. Baru tahun 2011 Garuda mulai fokus membenahi dan mengembangkan Citilink.

Beberapa langkah diayunkan untuk turnaround Citilnk. Pertama, pemilihan SDM andal yang jam terbangnya tinggi. Maka, dibajaklah mantan CEO dan COO JetStar Asia, mantan CMO AirAsia, dan mantan eksekutif Bank Mandiri. “Mantan CEO JetStar kini menjadi VP Citilink, sedangkan eksekutif lainnya ditugaskan untuk mempersiapkan Citilink sebagai PT tersendiri yang diperkirakan akan kelar Mei 2012,” ujar Elisa yang hingga kini belum tahu siapa nanti eksekutif yang bakal menjadi CEO Citilink.

Langkah berikutnya: menyegarkan merek Citilink. Dulu warna korporat Citilink adalah merah dan sama sekali tidak ada logo Garuda. Sejak Juli 2011 pesawat Citilink tampil dengan simbol warna gradasi hijau dan putih dengan ornamen sayap serta ekor yang menyerupai armada Garuda. Juga, akan ada perubahan interior pesawat, kantor penjualan, uniform awak kabin, dan peremajaan situs.

Selain itu, ada penambahan jumlah pesawat. Citilink telah menandatangani kontrak dengan Airbus untuk membeli 50 pesawat. Untuk tahap awal 25 pesawat akan dikirim mulai tahun 2014 dengan tipe Airbus 320. Dibanding armada kompetitor, Citilink butuh waktu buat mengejarnya. Sebagai gambaran, Citilink cuma 9 pesawat, AirAsia punya 16 pesawat, Sriwijaya 40 pesawat dan Lion Air 60 pesawat.

Juga, langkah pengurusan SIUP Citilink sebagai PT sendiri. “Kami sudah mendapatkan SIUP-nya Januari lalu, sekarang sedang persiapan pendiriannya,” Elisa menegaskan.

Pilot dan kru kabin pun dibangun sendiri. Pilot berpengalaman dari dalam dan luar negeri ditarik. Saat ini ada lebih dari 110 pilot di Citilink. “Jadi dengan rasio satu pesawat 9 pilot, kami sudah cukup untuk bisa mengoperasikan 12-13 pesawat,” katanya. Para pilot ini diberi pelatihan lagi oleh Citilink. Menariknya, pilot-pilot asing itu bersedia digaji seragam dengan pilot lokal, lantaran ada penurunan bisnis airlines di luar negeri dan reputasi terpercaya Garuda menjadi daya tarik mereka.

Pembenahan Citilink diikuti pula dengan mendekatkan e-commerce ke penumpang. Citilink menyediakan layanan call centre, pembelian melalui website, pembayaran dengan kartu kredit, kartu debit, Internet banking, ATM dan pembelian melalui agen.

Yang jelas, dalam pengelolaan Citilink, Elisa ingin menekankan bahwa pihaknya tidak akan menekankan penjualan dan promosi pada low price. “LCC artinya yang low itu cost-nya, tapi dalam implementasinya lebih pada low fair airlines,” dia menguraikan.

Sejauh ini, langkah turnaround Citilink membuahkan hasil. Paling tidak indikasinya per Juni 2011 Citilink terpilih menjadi The Best LCC pada Indonesia Tour & Tourism Award. Februari 2012 pada Singapore Air Show mendapat gelar The Best LCC di regional dari perspektif pemasaran. Pertumbuhan jumlah penumpang dan pesawat dari 2010 ke 2011 meningkat 174%. Sementara load factor sudah 85% pada akhir Desember 2011 dan tahun ini ditargetkan di atas 85%. Untuk jumlah penumpang hingga akhir tahun 2012 ditargetkan 4 juta orang. Target lain, komposisi penumpang Citilink dan Garuda: fifty-fifty.

Pengamat penerbangan memuji terobosan Garuda dalam membenahi Citilink. “Pemisahan (spin off) Citilink dari induknya Garuda merupakan keputusan yang strategis bagi kedua maskapai, mengingat keduanya memiliki target pasar dan model bisnis yang berbeda,” papar Hentje Pongoh, Partner Pacific Aviation Consultant. Dosen STMT Trisakti dan mantan Direktur Pelayanan Tamu AirAsia Indonesia itu menyodorkan 8 strategi kompetitif yang tepat bagi Citilink: (1) Hanya beroperasi dengan satu tipe pesawat; (2) Hanya melayani penumpang kelas ekonomi tanpa embel-embel; (3) Maksimalkan penjualan tiket secara langsung/online; (4) Optimalkan frekuensi penerbangan dari dan ke destinasi yang potensial; (5) Maksimalkan utilisasi jam terbang pesawat; (6) Minimalkan ground time/transit time pesawat; (7) Fokus di pasar domestik dengan membangun bandara hub di wilayah Indonesia Barat, Tengah & Timur; (8) Fokus untuk mencapai lowest operating cost dengan mengacu pada cost efficiency & cost effectiveness.

Namun pemerhati penerbangan Hasan M. Soedjono mengaku masih terlalu dini untuk menilai potensi ataupun persiapan Citilink sekarang. “Saya tak pantas untuk menilai turnaround Citilink sekarang. Yang jelas, banyak perubahan yang harus diwujudkan, dan memang terlihat ada itikad bulat dari direksi Garuda untuk melahirkan kembali Citilink dengan DNA (budaya perusahaan) tersendiri,” katanya. Artinya, untuk terbang lebih tinggi, masih banyak PR yang mesti dikerjakan.

Eva Martha Rahayu & Herning Banirestu

Riset: Sarah Ratna


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved