Editor's Choice

Sonita Lontoh: Srikandi Indonesia di Lembah Silicon

Sonita Lontoh: Srikandi Indonesia di Lembah Silicon

Sonita Lontoh dikenal oleh dunia lewat kiprahnya di bidang green technology, khususnya tentang Smart Grid. Fokusnya saat ini adalah mengedukasi keuntungan yang didapat dari Smart Grid untuk mempercepat adopsi global. Perempuan yang memiliki darah Manado-Padang ini memang menduduki posisi eksekutif di Trilliant, sebuah perusahaan berkonsep ‘green technology’ cukup ternama bertempat di Silicon Valley, US, yang produk utamanya adalah Smart Grid.

Peraih Master of Engineering dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang juga cross registered di Harvard Business School ini rupanya sadar betul tentang pendidikan. Di waktu yang sama ia juga berhasil meraih gelar MBA dari Kellogg School of Management di Northwestern University, serta gelar Sarjana Teknik Industri dan Operasi di University of California Barkeley.

Sonita tercatat sebagai mentor profesional untuk Program TechWoman pimpinan HillaryClinton yang mengimplementasikan visi Presiden Barack Obama tentang peningkatkan hubungan baik antara Middle East dengan pemerintah AS di bidang energi. Sonita juga aktif dalam Clean Energy Education & Empowerment (C3E), sebuah program inisiatif Departemen Energi AS dan MIT untuk memajukan kepemimpinan profesional perempuan dalam clean energy. Istri dari Adam Skargard ini juga tercatat sebagai penerima penghargaan Diaspora untuk Kewirausahaan dan Keunggulan Korporasi, yang diberikan sendiri oleh Pemerintah Indonesia untuk diaspora yang luar biasa dan telah diundang untuk bertemu dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Sonita Lontoh

Pengalaman profesionalnya di bidang energi dan teknologi ramah lingkungan memang terbilang sudah cukup mumpuni yaitu lebih dari 10 tahun. Ia pun pantas digelari pakar yang cukup dikenal di Amerika. Lewat kompetensinya itu, wanita berambut pendek yang senantiasa selalu menampilkan senyum ramahnya ini berkeinginan untuk menambah jumlah pemimpin wanita di bidang yang sekarang banyak didominasi oleh kaum pria ini

Seperti apa kiprah, wanita luar biasa ini lebih jauh? Berikut wawancara ekslusif Gustyanita Pratiwi dan Ario Fajar dari SWA dengan peraih Global Emerging Leader Under 40 in 2012 dari National Association of Asian MBA di AS, yang tatkala diwawancara sedang cuti selama 1 minggu untuk liburan ke kampung halamannya di Indonesia:

Jadi kalau SWA itu karakteristiknya lebih seperti memprofilkan sejak narasumber studi, kemudian lulus, sampai sekarang, dan nanti juga, ekspektasi ibu ke depan seperti apa? Saya juga baca banyak tentang profil ibu, cukup menarik, memang dari kecil apakah Ibu bercita-cita untuk berkarir di luar negeri dan bekerja di dunia teknologi atau seperti apa Bu?

Dari kecil? Enggak. Terus terang kalau dari kecil sih saya memang senang matematika. Makanya waktu mau cari jurusan di universitas, saya bingung. Saya suka teknik, tapi juga suka bisnis. Jadi akhirnya, saya mengambil jurusan Teknik Industri di Barkeley. Setelah saya lulus, saya juga pikir-pikir, nanti mau kerja di bidang apa? Terus terang pertama kali saya lulus (di Barkeley), saya bertemu dua teman. Mereka mengajak saya untuk membuat semacam perusahaan internet tepatnya pada tahun 1998. Tadinya kami ingin, perusahaannya seperti Yahoo!. Tapi Yahoo!-nya buat Greater China Region, karena kebetulan, dua teman yang ketemu saya di Barkeley ini, satu dari Cina daratan, satu lagi dari Chinese American. Tapi, setelah akhirnya kami incorporasi ke Beijing, kemudian buka officedengan 30 orang pegawai, kami melihat business modelnya Yahoo! kan dapat revenue-nya dari advertising ya? Nah, kami advertising-nya masih agak rendah. Jadi kami harus cepat-cepat ganti business model. Tapi kami masih bingung, business model-nya kira-kira seperti apa? Kemudian kami melakukan semacam market survey (1998). Dari situ kami mempelajari bahwa kebanyakan internet user di China adalah laki-laki dengan umur 18-36 tahun dan mereka suka bermain game online. Saat itu, kebanyakan dari mereka tidak punya internet conection dari rumah, tapi dari kantor sehingga jam mereka di kantor sangat panjang. Dan kadang-kadang saya lihat mereka bekerja sambil bermain game juga. Jadi gara-gara itu, akhirnya diubah business model-nya ke online games company. Selang beberapa lama, perusahaan tersebut kemudian dijual ke perusahaan lain, di mana mereka ingin memasuki bidang yang sama, tapi beli saja dari perusahaan yang sudah ada user basenya. Investornya ada yang dari Amerika, friends and family, ada juga yang dari Taiwan.

Kenapa perusahaan tersebut mau dijual?

Waktu itu kami bertiga sedang berpikir, apa kami mau meneruskan usaha ini atau tidak? Dan sepertinya, dua mitra bisnis saya itu kelihatannya sudah ada interest untuk do something else. Jadi, istilahnya kami tidak ingin mematikan bisnis ini, walaupun diserahkan ke orang lain, yang penting masih bisa dilanjutkan. Jadi kebetulan, karena ada orang yang tertarik, dan dia ingin memasuki bidang ini, tapi tidak memulai dari awal, akhirnya kami jual ke mereka.

Semua saham dijual pada waktu itu?

Semua saham dijual. Waktu saya di Beijing, saya bolak-balik San Fran Sisco-Beijing, lantas saya balik ke Amerika (San Fransisco) full time. Setelah itu saya bekerja di beberapa perusahaan softwareinternet di Amerika, tapi bidangnya seperti Business Development and Marketing. Jadi, kalau dipikir-pikir, meskipun saya dari Teknik Industri, sebenarnya saya tidak pernah benar-benar bekerja di Teknik Industri.

Kenapa keluar track?

Mungkin kalau saya benar-benar jujur dengan diri saya, sebenarnya waktu saya under graduate itu saya mungkin belum begitu mengerti, hidup saya maunya apa. Kan biasanya kalau anak-anak muda itu banyak yang sudah tahu kira-kira hidupnya mau kemana? Tapi kalau menurut saya, saat itu saya masih kurang jelas.

Apa jangan-jangan waktu itu Ibu di-drive keluarga?

Actualy, keluarga saya tipenya itu bukan tipe yang suka nyuruh-nyuruh. Memang ibu saya pernah bilang :”Wah kayaknya kamu cukup ada talent (skill) di bidang matematika, coba dipikirin, bidang apa kira-kira yang bisa memakai ‘itu’, tapi juga bukannya harus jadi ilmuwan atau jadi professor,”. Beliau pernah bilang begitu. Tapi hanya begitu saja, tidak pernah menyuruh saya harus jadi begini atau begitu.

Habis itu, saya kerja beberapa tahun. Sebenarnya saya ingin bangetbalik ke graduate school. Saya sudah tahu itu. Kalau ditanya kenapa, saya pikir alasan utamanya adalah saya melihat kalau di luar negeri, kayaknya tuh kalau kita mau lebih maju, lebih bagus punya degree yang di atas S1, karena lebih berkualitas, tapi bukan jaminan juga sih. Setelah bekerja beberapa tahun, saya memang sudah tahu, saya ingin balik ke graduate school. Tapi is not a matter of if, is more a matter of when. Akhirnya, sekitar tahun 2003-an, saya merasa sudah waktunya kembali ke sekolah S2. Saya sudah punya pengalaman kerja dari 5-6 tahun. Waktu itu S2-nya juga tetap ingin yang ada kombinasi dari engineering dan bisnis. Saya sekolah MIT, saya ambil Master Engineering. Habis itu saya langsung ambil MBA juga, dari Kellogg School. Dua sekaligus, jadi seperti back to back. Terus terang waktu itu saya stress banget deh. Waduh, berat badan turun 10-15 kg ha…ha..ha…! Tapi, ya sudah, akhirnya selesai, dan terus terang saya senang. Sekarang kalau saya lihat ke belakang kepengalaman tersebut, menurut saya sangat oke untuk build caracter. Hanya memang MBA itu seperti put a framework formulize, everything into like a frame, makanya kalau yang di bisnis saya sebelumnya itu kan istilahnya kami seperti melakukan saja. Tidak pernah terpikir teorinya apa, framework-nya apa, jadi you know it’s good, i think, for the MBA to gave me market framework to formulize apa yang sudah saya lakukan dalam usaha saya itu.

MBA saya kan di kota lain tuh, Boston dan Chicago. Waktu itu saya sudah menikah. Suami saya tinggal di San Fransisco. Jadi pertanyaan pertama untuk karier adalah, saya bakal balik ke San Fransisco atau tidak? Nah, suami saya juga tipenya very open minded. Jadi, dia bilang, misalnya saya dapat pekerjaan yang menyenangkan di kota lain, benar-benar pekerjaan yang saya mau, dia willing untuk pindah sama saya. Tapi istilahnya kalau hanya pindah-pindah terus, itu juga agak susah buat dia, karena dia lawyer. Kalau di Amerika, lawyer itu ada semacam perizinan di tiap negara bagian di mana dia harus mengurus lagi kalau sedang berpindah tempat. Akhirnya saya batal balik ke San Fransisco.

Waktu itu saya dapat beberapa tawaran. Satu di bidang pureIT, software. Satu di biotechnology, satu lagi di bidang energi. Nah, kebetulan waktu saya di business school, saya punya target, istilahnya saya ingin kerja di bidang yang interseption dari teknologi, policy, dan bisnis, tapi, at the same time, saya juga ingin bidangnya yang contributing something more to society. Jadi, bukan cuma jual barang. Meskipun jual barang juga, that is nothing wrong with that, right like you make people happy, tapi i always think like if you work in health care, or if you work in energy, your’e like contributing something more to society dibanding cuma kayak jual permen, misalnya. Jadi terus terang dari tiga tawaran itu, saya pilih ide yang energi atau bioteknologi. Akhirnya setelah menimbang-nimbang banyak sesuai saran guiding principle saya, saya pilih yang bidang energi ini. Nah saya kerja di perusahaan yang namanya Pasific Gas and Electric Company — kalau di sini seperti PLN.

Waktu saya direkrut ada semacam program rotasi. Jadi, tiap tahun, perusahaan itu pergi ke sekolah-sekolah MBA yang lima besar, kemudian mereka ambil 8-10 orang. Dari 8-10 orang ini nanti dirotasi. Nanti perusahaan ini kasih banyak proyek dalam dua tahun. Kalau dalam waktu dua tahun bisa selesai, maka bisa dijadikan kepala bagian. Tergantung kepala bagiannya, skill atau interest-nya di mana.

Proyek pertama saya terus terang adalah di kantornya presiden dan COO. Waktu itu perusahaannya sedang in the turn around project. Maksudnya CEO-nya itu ingin perusahaannya dalam hal balance sheet bisa diperkuat. Sebenarnya rencana dia setelah balance sheet-nya diperkuat, nanti mau membeli banyak perusahaan lain. Jadi, mau merger and acquisition but they have to strengtenthdan balance sheet her first. Dia ada hire 1 orang, dari perusahaan telekomunikasi Inggris Vodafone. Nah, orang yang di-hire ini datang untuk membantu COO untuk turn the company around supaya operasionalnya lebih baik, balance sheet-nya lebih baik. Proyek pertama saya itu di kantornya orang baru dari Vodafone tadi, jadi saya membantu dia dan Chief of State dia untuk melihat semua yang ada di dalam perusahaan ini. Perusahaannya sebenarnya cukup besar sih dengan 20 ribu orang pekerja, asetnya sekitar US$ 43 billion miliar dan revenue sekitar US$ 14-15 miliar. Perusahaan ini banyak matriks-matriks di dalamnya. Jadi, perusahaannya ini banyak bagian-bagiannya, ada bagian customer care, ada bagian trade mission and disitribution, emerging procurement, legal regulatory, dan lain-lain. Nah setiap bagian ini ada matrik-matrik di mana kinerjanya itu bisa dievaluasi berdasarkan matrik-matrik tersebut. Waktu pertama kali saya datang ke situ, orang baru dari Vodafoe ini bilang: kenapa perusahaan ini tidak beroperasi bagus? Itu karena matrik-matrik yang dipakai adalah bukan matriks-matriks yang seharusnya dipakai untuk mengevaluasi operasional setiap bagian ini. Selain itu juga banyak unaccountability waktu itu. Kepala bagian ini misalnya tidak bertanggungjawab untuk hasil dari matriksnya itu.

Jadi salah satu proyek saya yang pertama adalah mengambil semua matriks-matriks yang ada di perusahaan yang jumlahnya ada ribuan. Nanti matriks-matriksnya ini harus dibuat di dalam suatu governance structure di mana setiap minggu, presiden dan COO itu akan bertemu dengan semua kepala-kepala bagian dan matriks-matriksnya setiap minggu akan dibahas. Misalnya, matriks customer care ini kok merah minggu ini, kenapa? Atau misalnya satu lagi, matriks reliability. Reliability itu untuk mencegah mati lampu. Di Amerika itu, kalau mati lampu, istilahnya it’s very big deal. Kalau PLN Amerika mati lampu, oleh pemerintah akan dikasih penalti. Jadi, kalau mati lampu, perusahaan sejenis PLN di Amerika inginnya mati lampu bisa berlangsung secepat dan sesedikit mungkin, karena semakin banyak dan semakin lama mati lampunya, semakin besar banyak pula penaltinya. Jadi istilahnya, proyek saya ini membantu supaya semua kepala bagian dan juga matriks-matriks yang diperhatikan oleh manajemen adalah matriks-matriks yang benar. Semua insentif seperti bonus, itu semua tight back to performance of those matriks. Jadi people start to be more accountable. Sebelumnya, kan kalau diistilahkan kayak semau-maunya saja. Tapi setelah itu, bonusnya, dll, matriksnya tiap minggu dibuka di forum yang setiap orang bisa dengar, mereka jadi lebih focus on operation.That’s my first project. Then my second project, sebenarnya saya interest-nya lebih ke green energy. Is there anything I can do about that. Nah, kebetulan, saat itu perusahaan banyak program emerging energy solution. Programnya masih baru-baru. Jadi, untuk orang Amerika sendiripun, kayak masih belum biasa. Mereka menamakannya Smart Energy Solution. Macam-macam. Ada energy efficiensy, ada carbon offset, ada demand respon, renewable energy,dll. Jadi, mereka seperti punya suatu brand, satu smart energy solution dengan bermacam-macam program.

Nah, kebetulan bos saya bilang, kalau kamu memang ada interest di sini, kenapa kamu tidak saya masukkan ke dalam bidang ini untuk istilahnya help manage and reach you know like the goal. Jad, tiap-tiap program ada tujuannya. Misalnya carbon offset, tujuannya meng-offset carbon 2 juta carbon dioksida dalam dua tahun. Like every program has goal and then my responsibility, is to lead the team, together the recources with the budget to reach the goal. So I did that for couple years and actualy, their was the first time how I got into green energy because before that I dont have any background in that. To those really the first time. Jadi belajar dari situ. Terus terang, kalau perusahaan seperti PLN itu, jujur saja sih, of course right now looking back, i’m glad, I had the direct experience. Tapi bagaimana ya? Perusahaannya birokratis. PLN kalau di Amerika bukan milik pemerintah tapi milik swasta. Tapi, meskipun milik swasta, PLN ini sangat diregulasi oleh pemerintah karena di mata pemerintah adalah perusahaan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Jadi harus benar-benar diregulasi. Nah, culture-nya itu beda sekali. Sedangkan sebelumnya saya dari bidang teknologi, apalagi di Silicon Valey. Bidang teknologi itu kan istilahnya cepat, kapitalnya lebih efisien, tidak usah yang kapitalnya gede-gede banget juga sudah bisa maju. Terus orang-orang teknologi itu juga lebih risk taking,berani mengambil risiko. Sedangkan orang energi itu sebaliknya. Harus kapitalnya besar sekali, tipenya juga sangat tidak berani mengambil risiko, memang itu karena ada alasannya. Karena they are not in the business of inovation, their in the business of managing decrease. Kan mereka mau memastikan tidak ada yang meledak besar.

Makanya mereka punya power plan, whatever, tapi jadinya orang seperti saya itu, meskipun saya senang ada kesempatan untuk bisa belajar, tapi juga saya jadi agak-agak frustasi karena tempatnya itu sangat birokratis. Istilahnya setiap keputusan, apapun lensanya adalah lensa risk management dan juga dari lensa regulasi, bukan dari lensa enterpreneurship atau lensa inovasi. Semua dari lensa yang sangat konservatif. Jadi, meskipun saya enam tahun di situ dan saya mempunyai banyak kesempatan untuk mempelajari bidang itu, saya merasa kayaknya saya tidak mau di situ selama-selamanya. Karena itulah, istilahnya itu bukan tipe perusahaan yang saya ingin stay long term.

Jadi akhirnya saya dapat dua tawaran dari perusahaan di luar, bukan PLN tapi perusahaan teknologi yang jual ke PLN sih. Itu di Silicon Valey, bidang Smart Grid. Simpelnya energi kita kan namanya energi value chain, jadi energinya itu dibangkitkan oleh macam-macam, ada nuclear power, gasa lam, atau kalau di Amerika juga ada wind, solar, atau hydro. Kalau hydro besar (dam), di Amerika justru tidak termasuk yang renewable. Hanya yang kecil yang renewable. Karena kalau dam besar itu, pengaruh ke lingkungan tidak bagus.

Jadi energinya di-generate, terus dari energi generate ini langsung ke transmision line. Transmision line ini high voltage. Lalu dari transmision line ke distribution line yang low voltage. Dari distribution line baru ke rumah-rumah kita, ke gedung-gedung, segala macam. Nah, kalau di Amerika, sekarang ada konsep, energi itu tidak berhenti di rumah dan di gedung saja, tapi juga di distributeenergi recources, di mana ada solar panel, electric vehicle, danenergy storage. Ini semuanya ikut di energy value chain. Nah, kalau traditionaly, energy value chain kita semua itu di-generate ke sini terus dipush one way ke demand, sementara supply-nya tidak tahu demandnya butuhnya berapa banyak, dimana, kapan, tidak tahu. Pokoknya buta.

Nah, kalau Smart Grid ini istilahnya semua energy value chaindi-layers dengan intelijen IT. Karena ada layering injelejen IT itu, maka ada komunikasi dua arah dari demand ke supply. Demandakan bilang ke supply, saya butuh energi di jam ini, hari ini, sebanyak ini. Jadi dia tahu. Tadinya dia tidak tahu, generate-nya banyak sekali. Apalagi kalau di Amerika sangat tidak mau ada mati lampu. Jadi the generation, reserve-nya banyak sekali. Boros sekali. Sekarang kalau ada layer intelejen Smart Grid, ada two way communication, jadi ada balance antara supply dan demand. Si supply-nya ini generate-nya istilahnya kayak just in time. Kalau saya pikir-pikir, dulu tahun 1980-an sebelum Toyota mendirikan just intime inventory, itu orang kalau buat inventory kan banyak sekali, karena tidak tahu kapan maunya, tapi Toyota akhirnya punya sistem yang namanya just in time inventory, pokoknya inventory part apa yang dia butuh adalah benar-benar ada pada saat dia butuh. Jadi tidak banyak waste. Smart Grid itu sebenarnya konsepnya seperti itu.

Komunikasi dua arahnya itu seperti apa?

Bisa macam-macam. Bisa wireless communication, jadi seperti ada router, ada wireless communication. Di sini ditaruh, komunikasi-komunikasi, di sini juga, bisa wireless, bisa juga selular, pakai selular telepon (jaringannya telepon). Perusahaan yang sekarang saya bekerja ini memberikan communication platform untuk enable two way communication antara energy supply dan energy demand.

Terus terang, Smart Grid ini benefitnya sangat besar sih. Ada Studi McKinsey yang bilang Smart Grid akan menganable 3 kinds of energy applications. The way, I think about it, kadang-kadang saya berpikir untuk menjelaskan ini sepertinya konsepnya agak-agak abstrak. Bagaimana caranya menjelaskan supaya orang bisa mengerti. Think about Smart Grid Communication Platform Tecnologyitu seperti Cisco, perusahaan yang menetwork komputer, karena dia networking komputer, jadi ada internet. Internet itu kan ada karena komputer terhubung satu sama lain. Setelah ada internet, itu ada aplikasinya kan? Ada Google, Amazon, Yahoo, macam-macam, itu aplikasi di atas internet kan? Tapi sebelum internetnya itu ada, perusahaan seperti Cisco harus connected on computer. Smart Grid itu in the similar way seperti connected di seluruh energy value chainyang punya banyak energy devices. Energy devices pikirnya seperti komputer-komputer itu. Ada electric vehicle, ada solar panel. Think of it like komputer-komputer yang diconect sama Cisco itu. Smart Grid itu akan connected semua energy-energy devices ini. Nanti di rumah kita bisa ada AC pintar, kulkas pintar, mesin cuci pintar, dll. Nah semua barang-barang energi ini harus di-conected, dibuat seperti energy internet. Smart Grid ini, nanti 10 tahun lagi jika benar-benar sudah jadi istilahnya akan ada creating energy internet. Nanti setelah energy internet itu jadi, akan ada banyak aplikasi. Nah aplikasi itu terus terang untuk saat ini, orang masih belum bisa berpikir aplikasinya apa saja. Karena istilahnya internetnya itu juga belum terhubung. Nah perusahaan yang sekarang saya ada ini adalah seperti Cisco, tapi instead of conecting computer, conecting energy devices.

Kapan ibu mulai bergabung dengan Trilliant ini?

Bergabung dengan Trilliant sudah hampir dua tahun.

Langsung masuk sebagai apa?

Langsung masuk sebagai Kepala Bagian Marketing.

Apa saja tugas/tanggung jawabnya lebih seperti apa?

Perusahaan ini jauh lebih kecil dibanding yang sebelumnya. Kalau ini 250 orang, tempatnya di Silicon Valley. Mereka sudah raise moneydari investor US$ 150 juta. Tapi terus terang US$ 150 juta kalau buat perusahaan Smart Grid itu tidak cukup, karena seperti yang saya bilang, bidang energi itu butuh kapital yang sangat besar. Anyway, responsibility-nya macam-macam. Karena perusahaannya jauh lebih kecil, tugasnya macam-macam, mulai dari public relations, analyze relations, branding, positioning, solution marketing kayak product marketing, marketing communication, event,jadi mencakup semuanya.

Perusahaan ini pionir atau sebelumnya sudah ada perusahaan yang modelnya seperti ini?

Terus terang perusahaan yang seperti saya ini hanya ada 2, yang ‘benar-benar’ seperti ini. Ada sih kayak Perusahaan GE atau apa yang besar, tapi mereka sebenarnya fokusnya bukan di Smart Grid. Mereka fokusnya membuat semacam energy devices-nya, misalnya membuat mitter-nya, smart apliances-nya, tapi untuk membuat mereka smart, untuk conect-nya itu, hanya Triliant ini dan 1 perusahaan lagi yang lain.

Kalau dari Ibu sendiri definisinya apa s green technology itu?

Memang sih kalau green techology kayaknya wah, very an old compesie, very big, right? Tapi menurut saya in the simplest term, sebenarnya adalah produk atau service yang enable manusia untuk menjadi lebih energy efficient. Dan juga untuk mengurangi green house gas emition dan carbon food crime. That’s it. Menurut saya sih itu. Produk atau servis yang bisa membantu manusia achiev hal-hal itu.

Seberapa urgensi akhirnya Ibu terlibat di bisnis/kegiatan ini bukan dilihat dari segi bisnis atau pekerjaannya, tapi dilihat dari dampaknya ke komunitas, adanya perusahaan dan bisnis ini?

Terus terang kalau di Amerika sih, sekarang ini, sayangnya kebanyakan perusahaan-perusahaan yang memakai produk kami adalah tetap karena mandat dari pemerintah. Sebenarnya itu sayang, mungkin bisnisnya memang masih emerging, masih baru. Seperti zaman dulu sebelum internet belum command, itu kan orang belum banyak yang tahu. Di Amerika biasanya kalau industri-industri yang masih baru, memang kebanyakan pemerintah yang ada mandat. Karena pemerintah mengharuskan, jadi orang do that.Tapi hopefully like wants we get true that stage, maksudnya orang bisa lihat benefit-nya sendiri, dan mereka mau menggunakannya. Tapi kalau sekarang, terus terang kebanyakan masih karena pemerintah memandatkan.

Bisnis ini modelnya B to B?

B to B. Jadi perusahaan ini menjual komunikasi teknologinya ke utility.

Kliennya siapa saja Bu?

Kliennya ada lumayan banyak. Semuanya perusahaan energi ada di North America, mostly, and then di Eropa. Sekarang ini ada beberapa di Asia juga. Ada lebih dari 200 klien yang ada di seluruh dunia. Tapi istilahnya masih emerging, belum mass scale.

Contohnya mengerjakan apa sih Bu kalau misalnya di British Gas?

Contohnya sekarang ini kami masih di bidang smart metering. Pokoknya meter di rumah orang-orang itu, itu kan sifatnya masih’bodoh’. Meternya tidak bisa ngomong langsung ke utility-nya untuk kasih tahu, misalnya deal-nya kan harus diestimasi. Ini semua proyeknya adalah membuat si meternya itu smart. Itu baru tahap pertama dari Smart Grid. Tapi sekarang semua proyek fokusnya ke situ, karena orang bilang bikin itu dulu. Sebelum meternya smart, sangat sulit untuk mengetahui energy usage dari seseorang. Terus bagaimana orang itu bisa save energi? Jadi sekarang sebenarnya semua proyek ini adalah bikin meternya jadi smart.

Singkatnya apa yang ibu hasilkan dari kegiatan ini?

Actualy that’s a good question, singkatnya saya bilang tiga. Satu, kami membantu konsumen-konsumen perusahaan energi agar lebih ada energy awareness. Karena sebelum-sebelumnya mereka masih punya meter ‘bodoh’, sehingga mereka tidak tahu kapan menggunakan energinya, berapa banyak, atau yang mana yang paling banyak memakan biaya. Nah, sekarang karena sudah ada smart meter itu, kita bisa tahu, misalnya cuci baju, jam enam sore itu mahal sekali. Sedangkan kalau cuci bajunya jam 10 malam, lebih murah. Misalnya empowering consumer to know that their energy use. Kedua adalah membantu mengurangi mati lampu. Sebelum adasmart meter, kalau mati lampu, biasanya PLN tidak tahu yang mati lampu sebelah mana? Konsumennya yang harus telepon. Pas PLN kirim orang ke sana, juga tidak tahu sirkuit mana yang mati lampu? Jadinya harus cari lagi. Itu kan lama. Kalau ada teknologi ini, maka setidaknya akan mengurangi mati lampu. Kalau di Amerika, mati lampu bisa very big things juga karena sekarang ini ada studi yang mengestimasi kalau infrastruktur di Amerika sudah tua, sehingga kalau mati lampu, tiap tahun bisa mengakibatkan economics cost. It’s costing by blakout it’s about US$ 100-200 billion per years.

Padahal kalau dipikir mati lampunya Amerika tidak sebanyak di sini sih. Tapi dengan adanya blackout, perusahaan besar tidak bisa beroperasi, seperti Chevron, Walmart, dll. Kalau mau dipikir, wah kok kayaknya nggak seksi ya? Orang kan nggak pernah mikirin mati lampu berapa lama? Tapi sebenarnya itu economics cost yang di-costing of that is like a lot. Jadi, kedua reducing the economics cost of blackout? Yang ketiga adalah membantu mengurangi green house gas emmision, the reason for that is like of course one is consumer are more aware of their energy use, think wanna useless. So that’s more energy efficient, and you don’t have to generate as much. Itu satu. Kedua, kalau ada Smart Grid Technology, orang juga bisa lebih banyak pakai solar panel atau wind. Ini semua adalah sources of energy yang renewable. Jadi enabling the integration of more renewable energy recources and reducing green house gasses. So I guess the answer question, it could be three things.

So once is empowering consumer to is like helping to reduce the economics cost from blackout. And the third is like to reduce green house gasses by helping to integrated more renewable energy and also distributed energy recources seperti solar panel, electric vehicle, dll.

Itu memungkinkan bisnisnya jadi ke end user langsung?

Tidak bisa. Karena at the end of the day, menyangkut infrastruktur bisnis. Kalau ke konsumen langsung ya perusahaan yang jual mobil listrik atau solar panel atau perusahaan seperti GE yang buat mesin cuci, kulkas, dll. Tapi kalau kami mainnya di infrastruktur. Kami justru jualannya ke GE, PLN, dan perusahaan semacam itu.

Ibu tadi bilang bahwa ini hal yang baru. Edukasi, branding ke Amerika atau bahkan dunia bagaimana caranya? Apalagi di Indonesia kan namanya juga belum dikenal sekali tentang Smart Grid ini?

Exactly, you know what? Actualy you ask me a good question.Soalnya di Amerika saja, orang bisa tanya : Smart what?!! They don’t know. They know smart meter, soalnya sekarang sudah banyak orang punya smart meter. Tapi Smart Grid? Mereka bertanya apa? You know, jadi terus terang usaha edukasinya harus everyone. Tidak bisa hanya vendor saja. Kalau seperti kami kan vendor ya. Harus pemerintah, policy maker, utilitynya sendiri (PLN-nya sendiri). Pokoknya harus banyak orang yang bekerja sama untuk educate the consumer. Tidak bisa satu pihak saja.

Sejauh ini pemahaman mereka tentang Smart Grid seperti apa?

Pemahaman mereka tentang Smart Grid ada gradasinya. Tergantung orangnya tinggal di mana. Kalau tinggal di California yang sudah pada punya smart meter ditambah PLN California sangat gencar untuk mengedukasi konsumennya, maka mereka mengerti. Tapi kalau misalnya negara bagian lain yang belum memasang, dan PLN negara bagian tersebut belum engage dengan konsumennya, mereka juga tidak begitu tahu. Misal yang tinggal di New York, mungkin ada beberapa negara bagian yang sudah tahu, tapi tidak semua negara bagian. Jadi untuk menjawab pertanyaan tadi knowledge-nya based at depent the where you lived.

Tantangan bekerja di sana apa saja sih Bu selain tadi susah mengedukasi pasar? Jualannya susah juga tidak Bu?

Oh iya susah banget. Nilai proyeknya kan US$ 200 juta. Bisa dibayangkan, kan tidak mungkin tiap hari ada pembeli. Terus pembelinya kan orang-orang seperti PLN, waduh untuk lobi-lobinya saja sudah bisa 1,5 tahun sendiri. Itu pun baru sampai mana, baru bisa goal. Bukan PLN saja, istilahnya PLN kan juga berhubungan dengan pemerintah. Perusahaan seperti PLN ini tidak akan mau maju melakukan proyek ini kecuali pemerintahnya juga mengharuskan atau mengiyakan. I think it’s just a really long sales cycle. Misal, kalausales cycle-nya sekitar 18-20 bulan, ya perusahaan harus besar. Kalau 18 bulan nungguin baru dapat proyek kan susah juga.

Tapi untungnya sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan seperti PLN yang bilang belum tentu bakal maju yang proyek besarnya. Mereka mau coba-coba. Mereka bilang: Ayo kita coba pilot ini pilot itu, kecil-kecil. Jadi pilot itu biasanya seperti kontrol area. Ambil contoh, misalnya Cikini, kita coba lihat bagaimana. Kalau di Cikini okey, ya mungkin diperbesar. Challenge-nya yang pertama adalah long sales cycle. Kedua, orang belum begitu mengerti apa sih Smart Grid. Apa manfaatnya? Ketiga, karena ini kan bidangnya masih baru sekali. Bayangkan, kalau kita harus membuat energi internet, istilahnya semua barang-barang harus bisa interofferable which each other. Ada standarnya. Nah, salah satu chalenge-nya, sekarang ini karena masih baru, perusahaan seperti tempat saya bekerja, harus sudah banyak partner-nya, supaya teknologi kami bisa bekerja dengan barang-barang mereka. Tapi kan kalau mau dipikir, barang di dunia ini banyak sekali. Dan untuk membuat interoperate itu butuh waktu dan biaya. I would say the third challenge, untuk membuat hal ini menjadi real, kami harus bisa bekerja sama dengan banyak sekali devices in this world.

Bagaimana cara mengatasinya?

Satu-satu. Misalnya ada proyek pilot ini. Kan langsung ketahuan pilotnya siapa saja, teknologinya, mungkin device-nya dari GE, kami bangun suatu interoperatebility untuk proyek itu. Selama kami bangun, diharapkan bukan cuma buat itu saja, tapi supaya yang sudah bekerja bisa dibawa ke tempat lain dan dikerjakan di tempat lain juga.

Sekarang ibu membawahi berapa pegawai?

I see, yang full timenya ada 6, 7 outside contraktor, jadi total 13.

Ibu punya representatif office di luar negeri selain di Amerika?

Punya. Head quarter office-nya ada di Silicon Valley, Kanada ada office 2, Boston, Chicago, Singapura, dan London.

Konsepnya, dulu sebelum ada internet kan komputer yang terhubung kan sangat sedikit. Setelah ada internet, katanya ada sekitar 2 miliarn komputer terhubung. Di atasnya itu kan ada aplikasinya, Google, Yahoo!, Facebook, dll. In the future, mereka bilang akan ada banyak sekali energi internet sekitar 4 miliar yang akan dikonek. Dan ini lebih besar dari internet.

Bu, kalau bicara soal Indonesia, apa Indonesia sudah mengadopsi Smart Grid itu? Atau bagaimana tentang energy technology di Indonesia?

Kalau yang saya lihat, begini, saya tidak mau jadi ahlinya, karena terus terang saya juga tidak begitu tahu keadaan di Indonesia. Tapi saya sudah ngobrol-ngobrol lah dengan beberapa orang. Smart Grid Tecnology sih belum. Karena yang saya mengerti untuk Indonesia prioritas nomor satunya adalah elektrifikasi. Yang saya dengar banyak, daerah-daerah remote di Indonesia yang belum ada listriknya. Kalau menurut pemerintah Indonesia harus begini, ya benar menurut saya. Mereka bilang Smart Grid nanti dulu. Fokusnya adalah semua rakyat mendapat konektivitas tadi. Kedua, yang saya tahu, bagusnya Indonesia menurut apa yang sudah saya dengar, kita mempunyai green house gas reduction target untuk tahun 2020 katanya ingin mengurangi by certain percentage, saya lupa berapa persen, tapi saya pernah dengar. Nah, karena ada itu, jadi meskipun tidak perlu pakai Smart Grid, mungkin Indonesia akan lebih interesteduntuk mendapatkan energinya dari solar, angin, dll. Salah satu susahnya kenapa Amerika atau negara bagian utara/selatan tidak bisa pakai solar semua karena mataharinya tidak menyinari terus. Kapasitas faktornya very small. Beda dengan di Indonesia, yang berada di ekuator sehingga matahari bersinar full, guarantee 200 jam sehari. Itu kan almost guarantee, kapasitas faktornya naik. Jadi kalau pakai solar di Indonesia tidak semahal di Amerika atau di Australia.

Jangan-jangan bisnis seperti ini tidak akan laku di negara berkembang seperti Indonesia, cocoknya di Jepang, Korea, Singapura?

Ini terus terang, saya lagi pikir karena kami lagi mau ekspansi ke Eropa, Asia. Kami sudah bagi begini sih. Kita lihat negara itu ada dua tipe. Kalau di pikiran kami, kami tidak pernah berpikir geografisnya. Yang kami pikirkan adalah negara maju atau negara berkembang. Tantangannya juga beda-beda. Soalnya kalau negara maju, masalah green house gas, honestly like they care about that, mereka lebih peduli dan mau reduce green house gas emition, mau integrated renewable, mau integrated electric vehicle. Kalau negara berkembang, kebanyakan mau pakai meter itu untuk preventif. Karena mereka bilang di negara berkembang banyak elecrticity test. Nah, kalau punya meter yang smart, mereka bisa prevent. Jadi orang bisa prepay, sempat telepon, bayar dulu. Kesannya kalau tidak bayar dia bisa mati sendiri. Challenge-nya beda.

Menurut saya kalau seperti ini, apakah ini pas atau tidak untuk negara berkembang, karena kebanyakan infrastrukturnya juga belum dibangun. Line-line teleponnya misalnya belum banyak dibangun, langsung pakai mobile phone semua. Jadi, kenapa kami tidak bangun langsung ke yang advance. Kalau di Amerika, Eropa, Jepang, itu sudah dibangun. Mereka upgrade infrastructure. Jadi kenapa tidak langsung ambil yang bagusnya.

Tapi terus terang yang dibilang biaya, itu benar sih. Karena kita lihat, di negara berkembang, bedanya begini dengan negara maju : Misalnya Jepang, Amerika, atau perusahaan yang mau pakai decision, itu punya uang. Mau decide do that tecnology, uangnya ada. Tapi kalau negara seperti Indonesia, saya belum tahu juga sih, kalau seperti Thailand, Filipina, Vietnam itu fund-nya dapat bukan dari uang dia sendiri, tapi dari World Bank, IMF, US Aid, all aid, untuk membuat proyek seperti ini. Uangnya selalu mereka akan tanya siapa yang akan biayai, nanti kelihataannya pembiayaan datang dari aid.

Tapi Ibu ada target tidak Bu apakah konsep Smart Grid akan dibawa ke perusahaan di Indonesia?

Lagi pikir-pikir. Belum benar-benar dilakukan sih, tapi saya sudah bertemu beberapa orang, ngobrol dengan mereka. Kayaknya sih mungkin harus dimodifikasi sedikit untuk Indonesia.

Apa advice yang dapat Ibu berikan, misalkan ada perusahaan sejenis yang asli lokal yang ingin terjun di bisnis yang sama?

Menurut saya bidang ini sangat complicated. Istilahnya bukan cuma teknologi (jual teknologi). Tapi teknologi, policy, dan bisnis. Jadi kalau policy dari pemerintahnya tidak ada, menurut saya tidak bisa. Bisnis ini juga terkait infrastruktur. Kalau bisnisnya jual ke konsumen langsung, biarpun pemerintah tidak turun tangan, masih bisa. Jadi harus ada long term policy yang komprehensif.

Tapi sejauh ini, apakah sudah sesuai ekspektasi kalau dalam karier Ibu sendiri?

Enggak tahu ya. Kalau saya biasanya tiap beberapa tahun rasanya seperti terus bertanya what’s next ? He..he…he..tapi untuk saat ini saya oke lah.

What’s nextnya apalagi nih Bu?

Suatu hari mungkin saya ingin usaha sendiri lagi. Tapi belum tahu kira-kira bidang apa. Kayaknya kalau bidang ini agak susah. Karena kapitalnya besar sekali, juga policynya sangat complicated. You have to be like a long term. Sedangkan saya, terus terang meskipun sekarang di bidang ini saya senang, saya merasa kayaknya orang butuh teknologi yang cepat. Nah, kalau maunya cepat, kayaknya jual langsung ke konsumen. Tidak bisa main di infrastruktur. So i don’t know, maybe something to do consumer, you know be like one day. Mungkin 10 tahun lagi lah.

Bu kalau misalkan boleh mengklaim prestasi yang pernah Ibu dapat dan membuat ibu bangga apa saja? Mungkin sesuatu yang sifatnya intangible memberi sesuatu ke komunitas yang ada di Amerika?

Terus terang yang saya agak sukai adalah saya kan ikut program Tech Women-nya Bu Hillary Clinton. Nah, saya rasanya jadi lucu ya…Kemarin saya pikir, saya mau share, saya masih WNI. Ada sertifikatnya, waktu saya baca, saya jadi ketawa, karena dia bilang “Thank you for your support for American Public Diplomacy”. Nah, programnya Bu Hillary ini adalah Presiden Obama ingin supaya Amerika hubungannya dengan negara-negara Middle East lebih baik. Sebenarnya banyak juga perempuan-perempuan engineeer di Middle East. Jadi mereka, meskipun tinggalnya di Middle East, tapi mereka punya PhD, punya usaha, apa semua di bidang teknologi. Pak Obama bilang ke Bu Hillary untuk membuat program ini di mana teknologi di Amerika itu di-match sama teknologi dari Middle East. Ada juga perempuan-perempuan Middle East ini dibawa ke Amerika untuk beberapa bulan, untuk bekerja sama di proyek-proyek, di mana mereka bisa membantu perempuan-perempuan dari Middle East untuk mendapatkan akses dan oportunity supaya ketika mereka pulang ke negaranya bisa lebih mengembangkan usahanya di bidang teknologi.

Terus terang, saya suka yang begitu-begitu. Karena saya merasa lebih : it’s a one of one interaction. Kalau misalnya usaha-usaha lain, kayaknya lebih mass produce. Sedangkan kalau program seperti ini saya senang, karena saya benar-benar kenal sama orangnya. Saya bekerja sama dengan dia selama 6 minggu, dan bergabungnya baru tahun lalu. Kegiatannya, waktu perempuan-perempuan ini datang dari Middle East, mereka kan di-match oleh masing-masing perempuan yang bergelut di bidang teknologi di Amerika. Tiap hari, mereka datang ke kantor kami, nah kami bekerja di satu proyek. Tapi kan proyeknya juga harus hati-hati ya, karena mereka hanya 6 minggu. Jadi proyeknya harus bisa dikerjakan dalam waktu itu, tapi juga bisa berguna untuk mereka. Nah, kalau yang saya dapat ini Engineer dari Lebanon, namanya Jesicca, dia kerja di Ministry of Energy United Nation Development Program untuk membantu supaya kota-kota di Lebanon bisa lebih banyak solar and energy efficient technology. Waktu si Jesicca datang ke Amerika, saya tanya, kamu mau belajar apa selama 6 minggu.

Terus terang sih yang ingin dia bilang, dia ingin lebih mengerti tata cara bisnis di Amerika, tapi yang lebih ingin dia pelajari adalah bukan teknologinya, tapi ilmu leadership dan komunikasinya. Karena dia bilang, yang dia find outs, back home, itu teknologinya sebenarnya sudah okey, tapi many things you have to be able to communicate the value. Kalau tidak bisa mengkomunikasikan value, orang tidak akan mau membeli. Jadi akhirnya saya dan dia bekerja sama untuk membangun suatu case study, ada suatu kota di Amerika. Perusahaan saya kerja dengan kota itu untuk membangun proyek Smart Grid. Nah proyek ini sudah mulai selesai dan sudah mulai ada beberapa benefit yang direalisasikan dari proyek tersebut. Jadi Jesicca dan saya bekerja sama untuk membuat sebuah case studyini supaya case study-nya ini bisa di-share oleh kota-kota lain, bisa di-share balik di negara dia, so you know, karena like train till helper to understand the project in the US, but also in the same time, helping here, so that result, she can take it and show under people as like a sample.

Tidak ada keinginan untuk pindah warga negara Bu?

Belum sih, pokoknya tetap orang Indonesia aja deh

Tapi bidang ini memang Ibu sangat nyamani?

Sekarang sih iya.

Berarti belum tahu besoknya seperti apa? Interest selain ini apa Bu?

Pendidikan saya suka. Mengajar, bukan berarti benar-benar jadi guru, tapi seperti menjadi mentor, volunteer untuk membantu anak-anak muda yang ingin talk about carier, like graduate school, something like that, i’m really like it

Pertanyaaan terakhir ini Bu, kalau ekspekstasi dalam hidup Ibu itu apa?

Ya menurut saya sih, happy-happy saja

Kalau mendeskripsikan diri dalam 3 kata bisa nggak bu?

Wah it’s so hard. Emmmmmmmmmm…..curious. Saya sangat curious, inovatif, dan terus terang saya senang belajar hal-hal baru. He…he…he…Oh, satu lagi saya senang ketemu orang-orang baru. Saya lebih senag ketemu orang, get to know that.

Hobi apa Bu?

Simpel-simpel saja sih, nge-gym senang

Kalau menghabiskan waktu dengan keluarga kemana, kalau weekend-weekend gitu?

Makan-makan saja, nyobain restoran baru. Terus kalau ada waktu kadang-kadang liburan. Liburan pendek, kemana gitu.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved