Editor's Choice

Sulit Membandingkan Remunerasi di Kalangan Eksekutif Puncak

Sulit Membandingkan Remunerasi di Kalangan Eksekutif Puncak

Bagaimana sistem penggajian top eksekutif di berbagai perusahaan di Indonesia, baik perusahaan keluarga, perusahaan publik, maupun BUMN. Hari Sudarmaji, Managing Partner Optima Resources Center, mengemukakannya kepada Rangga Wiraspati:

Seperti apa praktik penggajian eksekutif/BOD di perusahaan-perusahaan Indonesia?

Praktik penggajian eksekutif di Indonesia tidak persis sama dengan teori kompensasi, bahkan tergolong unik. Berdasarkan pengamatan dan data kami, range gaji yang diterima eksekutif di Indonesia sangat variatif.

Pada sektor industri tertentu, ada tren untuk merekrut eksekutif dengan kompetensi yang spesifik. Beberapa tahun lalu industri pertambangan batu bara dan perkebunan sawit menjadi primadona. Sementara itu, tahun depan industri retail, properti, dan beberapa jasa keuangan diperkirakan mampu bertahan. Bulan Agustus menjadi saat yang tepat bagi perusahaan untuk berburu eksekutif, karena biasanya rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) dimulai pada bulan Oktober.

Sangat diperlukan penelitian tentang perbandingan gaji pada level manajerial dan BOD. Ini menarik karena calon eksekutif di sebuah perusahaan idealnya adalah kader dari internal perusahaan itu sendiri, namun seringkali kebutuhan akan eksekutif yang sudah matang sangat mendesak dan direksi kebingunan mencari penggantinya. Penyebab hal ini adalah career track di perusahaan tidak berjalan, dan divisi HRD yang terdesak akhirnya mencari solusi ke headhunter. Dalam kondisi itu hukum supply dan demand sangat berlaku. Tidak heran, terjadi disparitas besaran gaji yang besar di kalangan eksekutif sendiri.

Persoalan lainnya, biasanya eksekutif yang banyak diincar meminta remunerasi yang bermacam-macam, sehingga sulit untuk membandingkan remunerasi di kalangan eksekutif. Beberapa komponen remunerasi eksekutif memang tidak bisa dibandingkan, seperti misalnya overseas allowance, overseas training, dan stock option. Praktik ini terjadi karena jarang organisasi menyiapkan kader internal, sehingga stok eksekutif andal sedikit, ibaratnya kolamnya tidak banyak dan ikannya sedikit.

Perusahaan multinasional atau yang sudah go public biasanya sudah menyiapkan kader-kader internal, sehingga tidak bingung. Jika sudah menyiapkan sistem pengkaderan internal, maka disparitas besaran gaji eksekutif akan sempit.

Eksekutif

Apa aturan yang dipakai untuk mematok alokasi anggarannya (based on revenue, based on net profit atau yang lainnya)?

Saya amati, penggajian eksekutif di Indonesia masih banyak tergantung pada kebijakan pemilik. Jika sistem penggajian dan pengelolaan SDM di sebuah perusahaan sudah bagus, maka gaji eksekutif akan termasuk biaya. Namun jika belum, kecocokan dan perhitungan bisnis tertentu dari pemilik perusahaan terhadap calon eksekutif menjadi penentu. Hal inilah yang berpotensi merusak sistem di perusahaan. Terkadang perhitungan pemilik tidak normatif sebab mereka kebingungan dalam mencari pengganti eksekutif.

Dalam perusahaan yang sistem penggajian dan pengelolaan SDM-nya sudah baik, patokan yang dipakai untuk penerapan gaji eksekutif tergantung pada kompetensi yang dimilikinya. Misal, pada industri keuangan, seorang eksekutif diharapkan membawa bisnis masuk, sehingga dengan masuknya dia maka kinerja bisnis perusahaan ikut naik. Begitu pun jika ia keluar, maka akun yang ia bawa masuk pun ikut hilang bersamanya. Dalam kondisi seperti ini, eksekutif seperti menggaji diri sendiri. Untuk mengantisipasi, diperlukan sistem penggajian yang ajeg untuk kalangan eksekutif agar disparitas dan ketidaknyamanan di kalangan direksi bisa dicegah.

Penerapan sistem penggajian eksekutif yang sudah mapan biasanya ada pada perusahaan yang telah go public. Belakangan ini beberapa BUMN pun sudah bagus sistemnya. Yang mengkhawatirkan adalah perusahaan keluarga, karena banyak di antara mereka yang belum menetapkan visi bagi perusahaannya. Karakteristik industri pun sangat berpengaruh terhadap sistem penggajian eksekutif, karena biasanya ada ekspektasi tertentu terhadap eksekutif yang diincar. Misalnya, pada industri manufaktur, keahlian operasional alat berat menjadi pertimbangan, sementara pada industri finansial, keahlian networking menjadi nilai plus. Oleh karena itu, seorang eksekutif juga perlu memiliki kompetensi etika, tidak hanya kompetensi teknis, sehingga sistem penggajian eksekutif bisa lebih teratur.

Selama ini seperti apa struktur penggajiannya/kompensasinya (mulai dari gaji basic, apa jenis tunjangan dan benefitnya, dan bagaimana besar bonusnya?

Masih ada eksekutif yang mendapatkan gaji secara konvensional (gaji pokok, tunjangan, dsb), tetapi ada juga yang langsung menginginkan remunerasi dan benefit tertentu. Di beberapa BUMN, sistem yang ada menghendaki eksekutif untuk mendapatkan gaji dengan struktur konvensional, dan untuk mengubahnya sangat sulit. Memang pemakaian struktur konvensional itu masih dominan di Indonesia, dugaan saya bisa mencapai 90%.

Benefit tertentu yang diinginkan beragam, bisa jadi kemungkinan untuk mendapat saham, atau juga asuransi jabatan yang mengharuskan perusahaan membayar sisa gaji jika suatu saat ia diberhentikan. Kondisi ini ada pada perusahaan yang menerapkan prinsip human capital dalam penggajian eksekutif, di mana eksekutif dianggap sebagai investasi. Jika perusahaan menerapkan prinsip ini, biasanya eksekutif hanya memperhitungkan besaran take home pay dan non-cash remuneration. Namun penerapan prinsip human capital di Indonesia tidak banyak, karena iklim dan infrastruktur bisnis di sini belum mendukung. Beberapa industri yang memakai prinsip tersebut adalah perbankan dan ritel.

Penerapan bonus pada eksekutif di Indonesia biasanya berdasarkan performance. Repotnya, belum tentu bagusnya kinerja bisnis sebuah perusahaan merupakan hasil dari performa dan kompetensi si eksekutif. Bisa saja kinerja bisnis terangkat karena kondisi ekonomi nasional atau akuisisi perusahaan lain. Meski peranan sang eksekutif kecil, karena bisnis perusahaannya bertumbuh maka ia tetap dapat bonus besar.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan perlu menyiapkan kontrak mendetil kepada calon eksekutif. Performance bonus untuk eksekutif harus dibedakan secara spesifik, misalnya performance atas market share, atau performance atas produk baru. Sayangnya, hal ini masih jarang dibicarakan perusahaan kepada calon eksekutif karena isunya sensitif. Banyak sistem HRD yang bisa diaplikasikan untuk pemberian bonus eksekutif, masalahnya sedikit divisi HRD yang berani menerapkan, karena mereka belum dipandang sebagai business partner.

Apakah ada bedanya dengan di negara AS atau Eropa, atau negara ASEAN lainnya?

Perbandingan dengan negara-negara lain biasanya tergantung kultur lokal. Di AS dan Eropa, penerapan gaji sangat saklek, seseorang akan dibayar berdasarkan apa yang ditugaskan perusahaan. Jika seseorang kinerjanya buruk, maka ia segera dipecat. Di Indonesia, toleransi terhadap kinerja cukup besar dan jamak dilakukan. Sistem penggajian eksekutif yang disiapkan perusahaan jadi tidak bisa diterapkan menyeluruh karena tergantung pada suasana dan kultur di perusahaan itu. Baik perusahaan maupun calon eksekutif di Indonesia tidak biasa dengan hal-hal detil, sehingga seringkali job desk seorang eksekutif overlapping dengan eksekutif lainnya, akhirnya friksi timbul karena di situ ada uang.

Di AS dan Eropa, BOD bisa saja menolak calon eksekutif karena mereka tidak merasakan adanya chemistry, tetapi di Indonesia siapapun calon yang direstui pemegang saham atau pemilik mau tidak mau harus diterima direksi lainnya, karena budaya sopan santun dan toleransi atas ketidak nyamanan masih utama di Indonesia. Di ASEAN saya amati penerapan gaji eksekutifnya tidak jauh berbeda, karena latar belakang budaya yang hampir mirip.

Sejauh mana pengaruh kepuasan eksekutif terhadap gajinya dengan kinerja perusahaan? Gaji seperti apa yang biasanya dianggap/dinilai memuaskan?

Pada level eksekutif, biasanya ada dilema mengenai pilihan untuk tetap menjadi profesional atau menjadi entrepreneur. Bisa saja seorang eksekutif mengambil gaji yang lebih rendah karena ada tantangan besar yang ingin ia garap, ia butuh aktualisasi diri. Dilema ini biasanya ada pada eksekutif dalam usia muda, karena ia masih mencari bentuk. Jadi, belum tentu semakin tinggi gaji yang diterima eksekutif maka kinerja bisnis perusahaan akan semakin bagus.

Dalam pengamatan saya, ada eksekutif yang memiliki sensitifitas moral tinggi; ia merasa tidak pantas menerima gaji yang besar karena ia pikir tanpa dirinya perusahaan akan tetap berkembang. Ada juga yang tetap menerima tawaran besar walaupun kantor barunya itu adalah perusahaan yang sudah dewasa dari segi sistem pengelolaan.

Gaji yang dianggap memuaskan dari seorang eksekutif adalah gaji yang sesuai targetnya mengenai karier dan kepentingannya. Jika seorang eksekutif punya kebutuhan aktualisasi diri, maka ia tidak akan cocok jika ditempatkan di perusahaan yang sudah mapan, karena ia tidak bisa melakukan banyak hal. Namun, jika seorang eksekutif ingin mengumpulkan modal usaha dari gajinya, pasti ia akan melakoni tawaran tersebut.

Bagaimana mestinya instrumen gaji bisa dipakai untuk mengelola dan meretensi eksekutif andalan?

Menurut saya itu tergantung dari besarnya peranan dan fungsi dari divisi HRD. Seorang pimpinan HRD harus cermat dalam mengamati suasana hubungan eksekutif dengan iklim organisasi yang ia buat. Di Indonesia jarang sekali pihak manajerial yang berani mendemo eksekutif. Oleh karena itu, eksekutif pada bidang HRD punya tantangan untuk menjadi business partner, tidak sekedar administratif. Mereka perlu melakukan studi banding dengan perusahaan di industri sejenis, mengenai perlakuan yang diberikan kepada eksekutif. Pada level eksekutif instrumen gaji menjadi alat untuk mencapai tantangan-tantangan baru, sehingga perlu diperhatikan motivasi dari seorang eksekutif ketika ia menyanggupi tawaran perusahaan. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved