Editor's Choice Youngster Inc. Entrepreneur

Wanita di Balik Bergeloranya Zalora

Wanita di Balik Bergeloranya Zalora

Sejak Januari 2012 kesibukan Catherine Hindra Sutjahyo berubah. Bila sebelumnya jam kerjanya habis untuk memberikan saran ke perusahaan besar yang menjadi klien McKinsey – perusahaan konsultan kelas dunia tempatnya berkarier – sejak awal tahun 2012 dia lebih banyak memikirkan bagaimana toko online shopping-nya (zalora.co.id) disambut cepat oleh pasar fashion di Tanah Air. Direktur Pengelola Zalora Indonesia ini selalu memutar akal agar produk yang dijual cocok dan menarik bagi pembeli di Indonesia. Dan melihat pamor Zalora yang melesat dalam dua kuartal terakhir, rasanya kerja keras Catherine tak bertepuk sebelah tangan.

Catherine Hindra Sutjahyo

Catherine Hindra Sutjahyo, Direktur Pengelola Zalora Indonesia

“Saya memang suka start-up. Saya percaya potensi e-commerce di Indonesia, khususnya untuk produk fashion. Konsumen ingin gampang cari baju, tapi selama ini aksesnya kurang. Dengan e-commerce online seperti ini akan jauh lebih gampang,” papar co-founder Zalora Indonesia ini soal alasannya mendirikan Zalora. Bersama mitranya, Hadi Wenas, kini Catherine bahu-membahu sebagai country manager untuk membesarkan Zalora di tengah pasar online Indonesia yang “menggemaskan”. Tentu saja dalam hal ini Catherine juga banyak sharing dengan prinsipalnya karena Zalora Indonesia merupakan bagian dari Rocket Internet yang punya subholding company yang bermain di bisnis fashion online shopping, bernama Zalando. Zalando sudah hadir di 17 negara.

“Kami ingin Zalora menjadi the one destination di Indonesia. Kalau orang mau belanja fashion, pertama yang mereka ingat langsung Zalora. Sama seperti orang mau beli air minum, mikirnya langsung Aqua!” kata Catherine seraya menunjuk. Untuk menjadikan Zalora sebagai destinasi fashion dan gaya hidup, pihaknya berupaya menyediakan produk yang lengkap. “Bukan hanya sepatu dan baju, kami komplet. Ada aksesori, produk kecantikan, malah kami ada seperti home-nya pernak-pernik. Jadi kalau mau beli apa, gampang, di satu tempat. Pengiriman juga terjamin sampai ke rumah,” Catherine menjelaskan konsep bisnis Zalora.

Dari sisi teknologi dan platform bisnis e-commerce, mungkin Zalora tak punya masalah berarti karena bisa memasang pola yang sudah sukses diterapkan di luar negeri yang dimiliki grupnya. Namun bagaimana mendekati dan mengedukasi pasar Indonesia, tentu hal itu pekerjaan terberatnya. Tampak sekali, lajang kelahiran Surabaya 14 Januari 1983 ini berusaha agar situs Zalora Indonesia cepat dikenal publik maya. Tak heran Zalora sangat agresif dalam berpromosi dan mengenalkan diri, baik di dunia maya maupun offline.

Untuk promosi online, hal itu dilakukan di tempat mahal seperti Google dan Yahoo yang dari titik ini kemudian menyebar otomatis ke banyak situs. Sementara offline, antara lain promo TV di SCTV dan First Media (Kabel Vision). “Dalam mengedukasi, channel pertamanya online, baru kemudian offline,” papar putri kedua dari tiga bersaudara pasangan Hindra Sutjahyo dan Emi yang besar di Surabaya ini. Zalora Indonesia mulai soft launching pada 24 Februari dan grand launching di bulan September 2012.

Catherine yang kini banyak mengurusi aspek buying (pilihan persediaan barang) menceritakan ada beberapa keunggulan yang dibawa Zalora. Pertama, pilihan barangnya lebih komplet: sekarang punya sekitar 21 ribu SKU di website Zalora dengan melibatkan hampir 500 merek. Merek terkemuka seperti Nike, Adidas, Fila, Volcom, Surfer Girl, Working Hours, tersedia di sana. Kedua, free delivery ke seluruh Indonesia, baik yang di Jabotabek maupun di Papua dan Aceh. “Kami pakai metode pembayaran cash on delivery. Bayar di tempat. Kalau itu masih belum cukup, kami juga ada punya program 7 hari pengembalian, money back guaranteereturn policy. Jadi setelah barang sampai, tapi kurang cocok, bisa dikembalikan. Kami ingin hadirkan experience yang berbeda dalam online shopping,” kata Catherine yang menyebutkan sejauh ini tingkat return sangat rendah.

Hingga saat ini Catherine menilai kinerja Zalora sangat baik. “So far so good, we’ve been very happy. Average order per day 600-700 transaksi,” ungkap penggemar buku ini. Dilihat dari barang yang laku, rata-rata di kisaran Rp 150-350 ribu. Konsumen Jabotabek mengontribusi 45% penjualan Zalora, selebihnya dari Bandung, Surabaya dan Makassar. “We have big hope. Karena pasarnya besar,” ujar Catherine bersemangat. Zalora Indonesia kini memiliki sekitar 200 karyawan dengan pusat distribusi di Jakarta Timur seluas 5 ribu m2.

Yang pasti, dalam mengelola bisnis e-commerce ini Catherine banyak terbantu pengalamannya di McKinsey. “Membantu dalam artian proses thinking-nya. Semua bisnis, at the end of the day tujuannya sama. Pengalaman di McKinsey membantu structuring dan pemikirannya. Tapi kalau pengetahuan di industri fashion, saya justru belajar banyak dari teman-teman di sini. Kami saling melengkapi,” ujar Catherine merendah.

Dengan potensi yang dimiliki bersama mitra kerjanya, Catherine yakin situsnya akan menjadi nomor wahid sebagaimana sister company-nya di banyak negara lainnya yang juga menjadi market leader. Tak heran, keyakinan itulah yang membuat wanita ini begitu bergelora demi Zalora.

Sudarmadi

Reportase: Gustyanita Pratiwi; Riset: Armiadi Murdiansah


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved