Listed Articles

Ada Peluang di Balik Limbah Berbahaya

Oleh Admin
Ada Peluang di Balik Limbah Berbahaya

Limbah atau sampah, harus diakui, memang merepotkan. Apalagi, limbah rumah sakit. Kalau tak tertangani secara benar, malah bisa membahayakan. Maklum, di antara limbah itu ada yang bersifat infeksius.

Hasil pengujian dan evaluasi yang dilakukan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta bulan lalu terhadap 99 rumah sakit di Jakarta, cukup mencemaskan. Pasalnya, hanya tiga rumah sakit yang lulus uji baku mutu: Rumah Sakit Pondok Indah, RS Husada dan RS St. Carolus. Kriteria penilaian dalam evaluasi ini antara lain: apakah penanganan limbah cair memenuhi baku mutu, teknologi pengolahannya ramah lingkungan, dan RS itu secara rutin melaporkan hasil pantauannya.

Sebenarnya, situasi semacam ini bukan hanya di Jakarta saja. Bila kita telusuri lebih jauh, lebih dari 300 rumah sakit di Indonesia, baik swasta maupun milik pemerintah, belum memiliki insinerator (mesin pembakar limbah) medis untuk memusnahkan limbah padat (sampah padat) dari rumah sakit. Dari hasil survei yang dilakukan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, terungkap dari 700 rumah sakit yang disurvei, sebanyak 49% belum memiliki instalasi tadi.

Mengerikan? Begitulah kenyataannya. Padahal, limbah rumah sakit bukan limbah sembarangan, karena mungkin saja mengandung bakteri, virus dan kuman yang mematikan seperti tipus, kolera, hepatitis, HIV dan sebagainya, yang siap menyerang pasien ataupun pegawai rumah sakit bila penanganannya kurang baik. Berdasarkan Buku Pedoman Sanitasi Rumah Sakit dari Depkes, limbah rumah sakit dikelompokkan menjadi beberapa bagian: limbah umum (noninfeksius), limbah infeksius (mengandung virus atau bakteri patogen), limbah sitoksis (beracun) dan limbah radioaktif. Limbah infeksius seperti jarum suntik, alat bedah, kapas, noda darah, perban atau kain yang sudah digunakan untuk merawat pasien dan lain-lain, dimasukkan ke kantong plastik berwarna kuning. Adapun kantong plastik ungu untuk limbah sitoksis, kantong merah untuk limbah radioaktif, dah kantong hitam untuk limbah umum atau domestik.

Dari hasil penelusuran SWA, beberapa pengelola rumah sakit di Jakarta umumnya mengelompokkan limbah rumah sakit menjadi dua: limbah padat dan cair. Rudy Cahyadi S., CEO RS Mitra Internasional di Jl. Jatinegara Timur, Jakarta, membenarkan. “Kedua jenis limbah ini, baik padat maupun cair, sama-sama berbahaya,” Rudy menegaskan. Menurutnya, limbah cair baru dibuang ke kali setelah melalui proses pengolahan instalasi pengolahan air limbah (IPAL). “Limbah ini secara periodik dicek di laboratorium,” katanya.

Akhir 2001, rumah sakit ini memperbarui sistem pengolahan limbahnya dengan investasi sekitar Rp 1,5 miliar. Dana itu digunakan untuk pembelian mesin dan konstruksi bangunannya. Rudy mengklaim, mesin pengolah limbah cair ini sudah memadai, sesuai dengan hasil baku mutu yang ditetapkan BPLHD DKI Jakarta. Menurutnya, mesin pensteril ini punya kualitas sterilisasi yang lebih baik dibanding mesin terdahulu. Memang, dipersiapkan untuk mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan rumah sakit ini ke depan.

Sebagai gambaran, saat ini volume limbah di Mitra Internasional, limbah cairnya sekitar 250 m3/hari, limbah padat domestik (noninfeksius) semisal bungkus makanan 6 m3/hari, dan limbah padat infeksius 80 kg/hari.

Untuk menangani limbah infeksius, menurut Rudy, Mitra Internasional akan melakukan langkah proteksi kontrol infeksi untuk dua kepentingan. Pertama, sebagai proteksi terhadap pasien, jangan sampai pasien tinggal di rumah sakit lebih lama lantaran terkena dampak penanganan tenaga medis atau tertulari pasien lain. Kedua, sebagai proteksi terhadap tenaga medis pada saat menangani limbah rumah sakit yang bisa berupa jarum suntik, sarung tangan dan lain-lain.

Contohnya, dalam penanganan limbah jarum suntik. Aturannya, setelah dipakaikan pada pasien, alat suntik itu tidak boleh ditutupkan lagi. Pasalnya, bila dilakukan tergesa-gesa, bisa meleset melukai anggota tubuh tenaga medis. Bahayanya, bila si pasien mengidap penyakit menular serius macam hepatitis B. Karena itu, Mitra Internasional punya cara tersendiri menangani jarum suntik tadi, yakni dengan memasukkan ke dalam botol dan dibuang dalam sharp container (kontainer khusus untuk limbah padat tajam). “Tidak semua rumah sakit di Jakarta sudah menerapkan kebijakan seperti ini,” kata Rudy.

Di Mitra Internasional, limbah yang tidak berbahaya dibuang ke tempat sampah umum, sedangkan limbah infeksius harus dimusnahkan melalui insinerator. Namun, lantaran rumah sakit tidak mempunyai mesin insinerator, menurut Rudy, pihaknya bekerja sama dengan RS Suryanti Saroso di Sunter untuk memusnahkan limbah infeksius. Berapa biaya jasa yang harus dibayarkan ke mitranya itu, Rudy tak mengungkapkan. “Kami tidak memiliki insinerator, karena keterbatasan lahan,” ujar Rudy beralasan. Boleh jadi, karena ketiadaan fasilitas ini, Mitra Internasional tidak termasuk yang lulus uji BPLHD DKI Jakarta.

Memang, dari seluruh rumah sakit yang beroperasi di Indonesia, belum semuanya memiliki insinerator sendiri. Rumah sakit yang belum punya alat ini biasanya menjalin kerja sama dengan rumah sakit yang memiliki insinerator untuk memusnahkan limbah padat infeksiusnya (dialihdayakan).

Sayang, Rudy tidak bersedia menyebut biaya yang dikeluarkan untuk menangani limbah tersebut. Ia hanya menegaskan, tak akan menekan biaya, lantaran menganggapnya sebagai tanggung jawab perusahaan.

Lain lagi penanganan limbah di RS Husada, Mangga Besar, Jakarta, salah satu rumah sakit yang dinilai lulus uji BPLHD Jakarta. Menurut Rudy Surjanto, direkturnya, sebagai rumah sakit yang berada di lingkungan sangat padat penduduk, manajemen Husada sangat peduli masalah lingkungan. Hal ini diwujudkan dengan adanya unit pengolah limbah cair dan padat tersendiri di Husada.

Pengolahan limbah cair di Husada dengan sistem biodetoks sudah ada sejak 1980-an. Sementara itu, sistem IPAL dibangun pada 1993, dengan nilai investasi saat itu sekitar US$ 100 ribu. Insinerator yang dimiliki Husada pada 1998 sempat direnovasi dengan biaya Rp 200-300 juta, lantaran sistem sebelumnya dinilai sudah tertinggal dan tidak bisa menghasilkan pembakaran yang maksimal. Menurut Surjanto, setidaknya untuk pengolahan limbah ini total investasi yang dikeluarkan Husada Rp 2-3 miliar.

Untuk menangani limbah padat, disebutkan Surjanto, Husada menyediakan dua macam kantong di setiap ruangan. Kantong hitam untuk sampah domestik yang tidak berbahaya seperti makanan, kertas dan lain-lain, sedangkan kantong kuning untuk sampah infeksius. Untuk jarum suntik — seperti di Mitra Internasional — tidak dibuang langsung ke dalam plastik, tapi dimasukkan dulu ke jerigen, kalau sudah penuh baru dimasukkan ke kantong plastik kuning. Dengan cara demikian, petugas kebersihan tahu, mana sampah yang akan dibawa ke tempat pembuangan akhir dan mana yang harus melalui insinerator.

Limbah padat bekas pasien seperti noda darah, kain dan jarum suntik, akan dibakar oleh insinerator. Dengan temparatur 1.000 derajat Celcius, berbagai mikroba dapat dipastikan tidak aktif lagi, dan semuanya melebur menjadi debu. Di dalam insinerator, limbah ini dibakar selama dua jam melalui dua tungku pembakaran. Nantinya, debu dimasukkan ke dalam kantong, kemudian dibuang ke TPA yang terletak di lingkungan rumah sakit. “Nah, tidak semua rumah sakit punya fasilitas seperti ini,” kata Surjanto.

RS Pondok Indah pun memiliki fasilitas yang tidak jauh beda dari Husada. Menurut Hermansyur Kartowisastro, presdirnya, rumah sakit ini telah memiliki pengolahan limbah padat dan cair. Pengolahan limbah ini dibangun bersamaan dengan pembangunan rumah sakit pada 1987. Investasinya? “Saya tidak tahu angkanya, tapi sekitar 10%-20% total biaya pembangunan,” katanya.

Pengolahan limbah cair di Pondok Indah, menurut Hermansyur, dilakukan secara fisik dan kimiawi. Teknik yang digunakan yaitu teknik aerasi (penambahan oksigen), bahan kimia dan pemanfaatan bakteri. Cara kerjanya, seluruh limbah cair ditampung dalam wadah penyaringan, kemudian diproses secara kimiawi dan kandungan zat berbahayanya dinetralisasi, sehingga bisa digunakan untuk menyiram tanaman atau disalurkan menuju saluran pembuangan Sungai Grogol. Limbah cair rumah sakit ini 80-150 m3 per hari, sedangkan limbah padatnya 80-100 kg per hari. Hermansyur menyebutkan, kebanyakan rumah sakit lama -? antara lain RSCM dan RS St. Carolus -? dibangun dekat kali pembuangan.

Selama ini, di antara rumah sakit memang ada saling kerja sama dalam mengolah limbah. Contohnya, Husada terkadang membantu menangani pengolahan limbah infeksius dari RS Pluit. Hal ini dilakukan bila rumah sakit lain menghadapi masalah, seperti mesin pengolah limbahnya rusak. Artinya, kerja samanya bersifat nonkomersial. Seperti dituturkan Surjanto, sejauh ini Husada belum pernah menangani limbah padat dari rumah sakit yang belum memiliki pengolah limbah. Alasan Husada tak menyediakan jasa komersial alih daya pengolahan limbah, menurutnya, lantaran belum ada tenaga pengelolanya.

Surjanto menambahkan, idealnya tiap rumah sakit punya pengolah limbah sendiri. Ia menyebutkan, kapasitas insinerator beragam, sehingga kalau volume limbahnya masih kecil bisa menggunakan insinerator dengan kapasitas kecil. Namun, kalau memang lahannya tidak memungkinkan, alih daya merupakan pilihan terbaik.

Saat ini, di Indonesia, selain rumah sakit belum ada investor independen yang berani mengelola jasa pengolahan limbah rumah sakit. Padahal, Hermansyur menyebutkan, di Malaysia dan Prancis, ada pihak swasta yang berani mengembangkan sistem alih daya penanganan limbah padat infeksius.

Pendapat senada juga dilontarkan Rudy Cahyadi. “Sepengetahuan saya belum ada, padahal ini peluang bisnis yang bisa digarap pihak swasta,” katanya. Hanya saja, untuk mengelolanya selain kemampuan investasi juga dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan. Pasalnya, penanganan limbah infeksius bukan hal yang mudah, meskipun bukan berarti tidak bisa dipelajari. Menurut dia, pengelola limbah yang profesional tidak hanya melakukan jasa pembakaran, tetapi juga bisa memberikan saran layaknya konsultan, bagaimana penanganan limbah dari hulu ke hilir atau dari pengumpulan hingga pemusnahan.

Surjanto juga berpendapat, bukan tidak mungkin hal ini dikelola swasta. Alasannya, banyak rumah sakit kecil di Indonesia yang harus berhitung bila berinvestasi sendiri untuk mengelola limbahnya. “Bila biayanya tidak terlalu mahal, saya yakin banyak rumah sakit yang berminat mengalihdayakan pengelolaan limbah infeksiusnya, karena rumah sakit bisa berkosentrasi pada bisnis utamanya,” Hermansyur menambahkan.

Sebagai gambaran, volume limbah infeksius di RS Pondok Indah dan Mitra Internasional saja, rata-rata 80-150 kg/hari. Dengan asumsi volume limbah infeksius sekitar 100 kg/hari, dan dari 99 rumah sakit di Jakarta terdapat 50% (50 rumah sakit) belum memiliki pengolah limbah, paling tidak volume limbah infeksius dari rumah sakit di Jakarta yang bisa menjadi peluang untuk digarap, mencapai 5 ton/hari. Sebagai gambaran, biaya untuk pembakaran limbah infeksius beberapa rumah sakit seperti RSCM Rp 2 ribu/kg, RS Pusat Infeksi di Tanjung Priok Rp 3 ribu/kg, di Bandung Rp 4 ribu/kg dan di Malang Rp 10 ribu/kg. Ambil rata-rata biayanya Rp 5 ribu/kg, berarti peluang jasa pengolahan limbah rumah sakit di Jakarta sekitar Rp 25 juta/hari. Memang, tidak terlalu besar, tapi itu baru di Jakarta, belum seluruh rumah sakit di Indonesia yang jumlahnya 300-an. “Ini peluang yang bisa dikembangkan,” kata Surjanto. “Kalau lebih efisien, saya yakin rumah sakit akan memilih alih daya,” ujarnya. Nah, siapa berminat?

Riset: Siti Sumariyati.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved