Listed Articles

Ambisi Menjadi Raja Alat Tulis

Oleh Admin
Ambisi Menjadi Raja Alat Tulis

Kalau Anda kebetulan mengunjungi pameran buku di Jakarta Convention Center yang berakhir Minggu 3 Oktober lalu, tentu Anda melihat spanduk besar bertulisan ?Mileno? tersebar memenuhi ruang pameran. Sudah dua tahun berturut-turut, Mileno — merek produk alat-alat tulis — memang menjadi sponsor utama pameran buku terbesar yang diselenggarakan oleh Ikatan Penerbit Buku Indonesia (Ikapi) bekerja sama dengan Dyandra Promosindo. ?Saya berambisi menjadi pemain terbesar di produk stationery,? kata Yohannes Ribli, sang pemilik merek Mileno yang lagi gencar membangun brand.

Padahal, sebelumnya, menjadi wirausahawan tak pernah terlintas di benak Yohannes. Setelah lulus dari Jurusan Teknik Sipil ITB, sesungguhnya ia bercita-cita menjadi profesional andal seperti Laksamana Sukardi. Begitu pula ayahnya, wirausahawan di bidang garmen yang ingin melihat anaknya sebagai karyawan berdasi. ?Maklum, ayah lulusan SD. Ia ingin anaknya tidak bersusah payah seperti dirinya,? ujar Yohannes. Maka, setamat kuliah, ia bekerja di Itochu Corp., perusahaan perdagangan asal Jepang. Lalu, lulusan Wijawiyata Manajemen PPM ini pindah ke PT Jangkar Jati, anak perusahaan PT Wicaksana Overseas International.

Dorongan untuk menimba ilmu membuatnya terbang ke Amerika Serikat, melanjutkan studi di Massassuchetts Institute of Technology. Sekembalinya dari AS, Yohannes justru didamprat kakeknya. ?Buat apa bekeja untuk orang lain. Berapa sih yang kamu terima? Kenapa tidak membuat usaha sendiri,? kenangnya menirukan ucapan sang kakek.

Waktu itu, Yohannes mengaku sempat sombong, ?Saya kan lulusan universitas bagus, buat apa susah-susah bikin usaha.? Apalagi, saat itu ia merasa tak ada hebatnya membuat usaha sendiri. Kakeknya marah besar kala tahu cucunya merasa bangga menjadi profesional, bukan menjadi wirausahawan seperti cucu-cucunya yang lain. Maklum, keluarga mereka berlatar belakang wirausaha meski bukan pengusaha besar. Akhirnya, anak keempat dari 6 bersaudara ini pun mengikuti desakan sang kakek. Namanya juga baru mulai usaha, maka apa pun yang menghasilkan uang diraihnya, asal halal.

Usaha pertama yang diraihnya adalah jual-beli sarang burung walet (1998). ?Saya beli di sini, lalu dijual ke Hong Kong,? ujar Yohannes. Namun, devaluasi memaksa harga jual terus ditekan pembeli, sehingga usaha itu akhirnya dia hentikan. Seorang temannya di Hong Kong mengatakan, barang seperti pen lampu, pen tali dan pen wangi bakal laku keras di Jakarta. Berbagai alat tulis unik itu kemudian dibawanya pulang untuk dijual. ?Tidak besarlah, hanya 40 karton, yang nilainya hanya Rp 100 jutaan,? tutur Yohannes, yang tidak kesulitan menjual barang-barang itu. Apalagi pen bisa hapus — produk pertama yang dijual lumayan banyak — lagi ngetren waktu itu. Ditambah sejumlah produk lain seperti bola lampu dan bola nyanyi, yakni bola yang jika dilempar ke lantai bisa menyala atau bernyanyi. Pendeknya, produk yang sedang meledak di Cina, ia bawa ke Jakarta, pasti mudah diserap pasar. Tentunya pula ia tak kesulitan menempatkan barang-barang itu di berbagai toko alat tulis kecil yang memang menjadi sasaran pasar produk ini.

Yohannes dibantu 7 tenaga kerja untuk menjajakan produk-produknya. Dengan modal kecil, keuntungan yang didapat saat itu sangat besar. ?Bisa dibilang, beli Rp 100, untungnya juga Rp 100,? katanya. Mengingat usahanya masih serabutan, ia belum menggunakan nama perusahaan. Barang yang dibeli pun tidak dalam jumlah besar, karena barangnya bersifat musiman dan belum tentu pasar di sini mau menerimanya. ?Wah, jantungan deh. Bisa jadi, waktu ambil barang itu, harganya di sini sudah anjlok karena banyak orang yang bermain di bisnis ini,? kata ranking ketiga lulusan ITB ini.

Ketegangan selama setahun di bisnis itu mendorongnya untuk fokus pada produk tertentu. Sebagian besar produk yang dijualnya berjenis pen, maka pria berdarah Singkawang kelahiran 20 Februari 1971 ini pun memutuskan lebih fokus menggelutinya. ?Saya ambil gel pen, pen berbahan dasar tinta gel,? katanya. Saat itu memang belum banyak yang menggarap bisnis ini. Kalau pun ada, produk buatan Korea yang harganya lebih mahal. Peluang inilah yang ditangkap Yohannes dengan mencari produk serupa buatan Cina yang harganya murah.

Memilih produsen di Cina juga gampang-gampang susah. Banyak industri rumahan yang menawarkan jasa memproduksi pen tersebut, sehingga ia harus benar-benar selektif. Kalau tidak, kualitas yang diharapkan tak bisa tercapai. Terlebih, produsennya juga harus mau menjadi produsen eksklusif produk pesanannya. Padahal, orientasi mereka cuma mengejar keuntungan. ?Bahkan ada yang sekadar ganjal perut, jadi usahanya asal saja, tidak sungguh-sungguh,? kata Yohannes.

Kejelian memilih produsen sangat penting, agar tidak tertipu, terutama untuk konsistensi mutu produk. Sebab, mutu menjadi masalah utama produk keluaran Cina. Yohannes lantas menunjuk orang setempat (di Cina) untuk menjadi pengontrol kualitas. ?Sayang, dia juga sama saja pola pikirnya, ya rada miring dalam kontrol kualitas. Produk cacat sedikit dianggap biasa,? ujar Yohannes yang hanya setahun menggunakan jasa itu. Selanjutnya, untuk mendapatkan produk berkualitas bagus, ia harus mendapatkan produsen dengan visi jangka panjang, memiliki ISO, dan kemampuan manajemen untuk mengontrol produk hingga hasil akhir. Selama dua tahun sejak 2000, beberapa kali ia gonta-ganti produsen. Baru pada 2002 ia menemukan produsen yang cocok dengan kemauannya. Hingga kini, ada empat produsen dari luar negeri yang diajak kerja sama, dua produsen gel pen dari Cina, satu produsen oil pastel dari Korea, dan satu produsen correction pen dari Hong Kong.

Produk yang dipesan dari luar itu lalu diberi label Mileno. Nama ini diambil dari kata milenium, sebagai pengingat tahun dimulainya ia serius membangun usaha. Agar terlihat unik, mereknya dibuat berbeda dalam penulisan. Bentuk huruf ?e? dalam kata Mileno dimiripkan dengan simbol @. ?Agar terlihat keren,? kata Yohannes sambil tertawa. Sejak itu pula, ia mulai memikirkan usahanya dinaungi badan hukum. Realisasinya pada 2002, dengan mendirikan PT Indopen Global Perkasa. Langkah ini membuat dia leluasa menawarkan dan mempromosikan produknya ke toko-toko buku yang lebih besar seperti Gramedia, Utama, Kharisma, dan sebagainya.

Produk alat tulis sangat tergantung pada distribusinya. Maka, ia pun serius membangun jaringan distribusi. Mulanya Yohannes memakai tenaga sales yang disebar di berbagai kota dan daerah yang tugasnya menjual produk ke grosir dan toko buku. Cara ini ternyata berisiko tinggi. Sales yang nakal bisa mengakibatkan piutang macet dan pengiriman barang terhambat. Maka, bersamaan dengan pemberian nama perusahaan, ia mengganti sistem distribusinya. Caranya dengan menunjuk distributor utama di setiap kota. . ?Saya pilih distributor yang jago menjual stationery,? kata ayah dua anak ini. Para distributor ini bersifat aktif dan wajib menyediakan sales yang khusus menjajakan produk Mileno. Sistem ini diadopsi dari para produsen besar seperti Asaba, produsen pen Zebra dan berbagai produsen consumer goods. Sementara produsen alat tulis umumnya memilih sistem grosir yang memasok produk ke agen grosir, baru kemudian dilempar ke pasar.

Diakui Yohannes, memang sulit membangun kepercayaan distributor untuk menjual produknya dengan baik. Apalagi Mileno termasuk produk baru. Maka, agar distributor yang bagus memercayainya, ia menarik salah seorang mantan sales Asaba untuk mempercepat langkahnya. Langkah ini tepat, sebab ia bisa banyak mengenal distributor Asaba. Malah, di beberapa daerah, Mileno mendompleng distributor Asaba. ?Mungkin mereka keberatan, tapi barang yang saya jual kan harganya jauh di bawah mereka, sehingga untuk daerah kecil, Mileno lebih bisa diterima,? paparnya.

Meski begitu, tidak semua distributornya menghasilkan penjualan yang memuaskan. Di beberapa daerah, seperti Kendari, distributor menahan produk Mileno karena penjualan produk Zebra menurun. ?Mereka sepertinya takut, Asaba kan perusahaan besar, dan Mileno produk baru,? kata pelahap buku manajemen ini. Yohannes tak hilang akal. Ia pun menawarkan komisi lebih menarik agar para distributor tetap mau memasarkan produknya.

Hanny Mulyadi, misalnya, betah menjadi distributor Mileno sejak tahun 2000. Menurut distributor di Bandung ini, produk Mileno sangat diterima pasar. Barang yang datang setiap dua hari, selalu habis dalam hitungan hari pula. Menurut Hanny, selain Mileno ia mendistribusikan produk sejenis seperti Winner dan MG. ?Mileno paling laku, lainnya kurang jauh,? tutur mantan kepala cabang Asaba di Bandung yang kini pemilik PT Tribuana Kencana. Hanny mengaku kerja sama dengan Mileno memuaskan. Di samping penjualan barangnya bagus, bonusnya juga menarik seperti TV, DVD atau VCD player.

Agar konsumen tidak cepat bosan, Yohannes memvariasi produknya dengan meragamkan warna, bentuk ataupun jenisnya. ?Kami paling lengkap, awalnya kami memang mau konsentrasi di gel pen,? tuturnya. Pemain di ceruk ini memang sedikit, antara lain Kin Geller dan Stadard, sehingga model dan warna yang ditawarkannya pun sedikit. Namun, usahanya untuk menjadi pemain terbesar di produk alat tulis tidak sampai di situ. Pertengahan 2002, Yohannes menyadari langkahnya tidak akan panjang jika hanya bergelut di bisnis pen. ?Pikiran saya memang sempit waktu itu,? tuturnya.

Dari pengamatannya, ternyata masih sedikit pemain di bisnis alat tulis yang menggarap pemasarannya secara serius, kecuali pemain besar dari Jepang. Bersamaan dengan berkibarnya perusahaan yang berbadan hukum, ia pun serius mengembangkan produk alat tulis lain. Berbagai produk ditawarkannya selain gel pen, antara lain oil pastel, correctionpen, bolpoin, pensil mekanik, pensil warna, cutter, dan sebagainya. Barang bukan lagi hanya dari Cina, tapi juga dari Korea dan Hong Kong.

Bisnisnya sangat terbantu dengan menurunnya daya beli masyarakat. Sejak diluncurkan hingga kini, penjualan Mileno meningkat 45%-50%. ?Sebenarnya mudah meningkatkan penjualan, tinggal menambah item-nya,? tuturnya. Awal tahun ini, Yohannes berhasil menggaet produsen oil pastel untuk bekerja sama dengan merek Mileno. ?Produsen itu malah tertarik membuat pabriknya di sini. Kalau ini mungkin, baru bisa terealisasi tahun depan,? ujar Yohannes, yang berambisi mengambil pasar oil pastel kelas menengah-bawah yang kini didominasi produk bermerek Titi. ?Sekitar 20%-lah, malah kalau bisa lebih besar dari mereka,? sambungnya mantap.

Ambisinya merebut pasar pesaing, membuatnya bersemangat menjadi sponsor utama pameran buku yang diadakan Ikapi. ?Sudah dua kali jadi sponsor utama, tahun lalu dan tahun ini, kalau bisa malah seterusnya,? kata Yohannes bersemangat. Sebelumnya, pameran buku itu disponsori oleh Pilot, pesaingnya. Ia yakin, Mileno bisa besar dengan menjadi sponsor utama pameran buku yang menurutnya terbesar di Asia Tenggara itu. Yohanneslah yang aktif menawarkan diri menjadi sponsor utama pameran buku yang tahun ini menginjak tahun ke-24. ?Saya lihat Pilot jadi sponsor dua tahun lalu, kok berhasil, saya kan sangat bersaing dengan produk Jepang itu, sedangkan dia sendiri tidak pernah promosi,? Yohannes berujar.

Mileno juga menjadi sponsor utama pameran buku besar lainnya seperti Pesta BukuJakarta, Pameran Buku Bandung dan Pameran Buku Yogya. Penetrasi pasar juga dilakukan dengan membuat konter khusus di beberapa toko buku besar seperti Gramedia, Kharisma, Utama, serta berbagai toko buku besar di daerah seperti Fajar Agung (Lampung), Promedia (Makassar), Merah (Yogya), Sekawan (Solo), dan kota lainnya. Adapun di toko-toko kecil, Mileno dipampang dengan displai yang khas. Dengan promosi yang gencar, Yohannes yang kini dibantu sekitar 50 karyawan berharap tahun depan bisa merebut 20% pangsa pasar pemimpin pasar masing-masing produk yang dijualnya.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved