Listed Articles

Atasan Vs. Bawahan: Komunikasi "Tidak Nyambung"

Oleh Admin
Atasan Vs. Bawahan: Komunikasi "Tidak Nyambung"

Rupanya, di republik tercinta ini, kebuntuan komunikasi bukan saja terjadi di tataran elite politik. Di ranah bisnis pun, kesenjangan komunikasi telah menjadi momok yang memprihatinkan. Fakta menunjukkan ada kesenjangan besar antara persepsi manajer dan anak buah (associate) dalam pemberian umpan balik dan coaching. Di banyak organisasi perusahaan, komunikasi antara atasan dan bawahan kerap “tidak nyambung”.

Gambaran seperti terlihat dari hasil survei sistem manajemen performa (SMP) yang dilakukan Development Dimensions International -” di Indonesia mengibarkan bendera PT Daya Dimensi Indonesia (DDI). Survei ini dilandasi tiga siklus manajemen: planning, tracking dan reviewing. Pada siklus pertama, Vina G. Pendit, Direktur DDI, menjelaskan, manajemen performa menyusun perencanaan satu tahun ke depan. Kedua, dalam proses itu manajer berusaha mencapai target yang telah dicanangkan di awal tahun (tracking). Dan siklus terakhir adalah evaluasi dari hasil yang dicapai.

Survei SMP sebenarnya merupakan survei global yang melibatkan 283 perusahaan di 15 negara -” termasuk Indonesia — dilaksanakan DDI dua tahun sekali. Namun, di Indonesia baru pertama kali. Di sini ada 20 perusahaan papan atas yang ikut survei. Dalam survei ini, setiap perusahaan mengirim 20 manajer dan 20 bawahan (associate) “nonmanagement/leader dan 1 orang human resources leader.

Menurut Vina, dari hasil survei, sejatinya secara umum manajer di Indonesia tidak punya masalah dalam membuat rencana. Gap antara persepsi manajer dan bawahan terhadap aspek yang disurvei dalam siklus perencanaan boleh dibilang tipis: 3%-12% (lihat Grafik).

Namun, kondisinya berbeda di fase tracking dan reviewing. Ada kesenjangan di dua bagian itu. Di fase tracking, 95% mengaku telah memberikan umpan balik untuk memperbaiki kinerja, tapi hanya 55% bawahan yang merasa telah menerima umpan balik. Dalam hal memaksimalkan kinerja bawahan, 89% manajer merasa telah memberikan umpan balik dan coaching, tapi ternyata hanya 50% bawahan yang mengaku menerimanya.

Begitu pula, umpan balik terhadap pekerjaan yang dilaksanakan dengan baik, 90% manajer merasa telah memberikan umpan balik, tapi hanya 63% bawahan yang merasa pernah menerimanya. Kemudian, 95% manajer merasa telah memberikan dukungan dan arahan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, ternyata 65% bawahan yang merasa memperolehnya. Lagi pula, hal itu bukan hanya terjadi di Indonesia. “Sebagian besar hasil survei secara global, atasan merasa sudah memberikan bimbingan, dukungan dan rekognisi, tapi ternyata bawahan tidak merasakan hal itu,” papar Vina.

Sementara itu, dalam siklus reviewing, terlihat apakah hasil kajian ulang telah merefleksikan tingkat performa yang sebenarnya, 72% manajer di perusahaan di Indonesia yang disurvei menyatakan setuju dan sangat setuju, sedangkan bawahan hanya 51%. Artinya, gap persepsi pada tahap reviewing juga masih tinggi: 20% lebih.

Vina juga mengamati banyak manajer Indonesia tidak proposional menerjemahkan tujuan bisnis perusahaan. “Banyak yang terjebak pada persoalan angka melulu,” ujarnya. Di banyak benak manajer yang kerap terbayang target pendapatan tahun ini sekian miliar rupiah. Dari temuan DDI diperoleh fakta, ketika melaksanakan proses tracking yang dibahas ternyata hanya seberapa jauh pencapaian hasilnya. Proses pencapaian target, rupanya kurang diperhatikan.

“Ibarat pelatih sepak bola, mereka cuma bisa mematok berapa banyak gol yang harus ditendang ke gawang lawan. Namun, lupa membimbing bagaimana cara menghasilkan gol itu,” ungkap Judhi Kristantini, juga Direktur DDI. Dalam pandangan Judhi, seharusnya setiap unit manajer mempunyai kemampuan menerjemahkan tujuan atau sasaran bisnis perusahaan di bidangnya masing-masing, baik finansial maupun nonfinansial. Tolok ukur sejauh mana proses sasaran tercapai, itulah proses tracking “- yang dapat dilaksanakan setiap tiga, empat atau 6 bulan sekali.

Ketika era keterbukaan kerap didengungkan sebagai bagian dari wacana reformasi, tak pelak karyawan pun semakin kritis terhadap hak dan kewajibannya. Apalagi, serikat pekerja tak lagi dipandang sebelah mata dan telah menjadi mitra dalam mengelola SDM. Sehingga, SMP bisa menjadi basis untuk menjelaskan implementasi good corporate governance dan fairness dalam organisasi perusahaan.

Judhi menegaskan, semua fase SMP menuntut kemampuan berkomunikasi, yakni pada umpan balik. Ditambahkan Vina, umpan balik sejatinya merupakan jiwa dalam fase tracking. “Komunikasi adalah kuncinya dan itu adalah skill yang harus dikuasai, bukan saja oleh manajer tetapi juga bawahan,” ia menguraikan.

Proses memberi dan menerima umpan balik tersebut harus dipelajari dan terus dilatih kedua pihak. “Terkadang manajer merasa memberikan feed back tapi belum spesifik, sehingga bawahan bingung,” lanjutnya. Kejadian seperti itu yang harus dihilangkan. Manajer dan bawahan harus terasah berkomunikasi dan memberikan umpan balik secara spesifik.

Diingatkan Judhi, yang penting dalam memberikan umpan balik, manajer jangan cuma mengatakan, “Kerjaan Anda bagus,” atau “Kerjaan Anda salah.” Kelemahan manajer Indonesia kerap memberikan komentar tanpa rincian bukti bagus atau kurang secara spesifik. Persoalan gap komunikasi juga bisa timbul dari rasa sungkan menegur orang. Menurut Vina, inilah bagian dari kultur orang Indonesia yang sudah mendarah daging. Ketika menemukan kesalahan, atasan yang lebih muda biasanya sungkan menegur bawahan yang lebih tua usianya atau yang sudah lebih lama di unit bisnis yang dia pimpin. “Di situ gap komunikasinya, karena tidak ada perilaku spesifik dan kepemimpinan,” ujar Vina.

Lingkungan kerja atau suasana yang kondusif memang bisa memicu harmonisasi hubungan komunikasi atasan-bawahan. Namun, dalam pemahaman atas beberapa aspek yang dinilai — seperti penghargaan terhadap ide, rasa percaya satu sama lain, pemahaman yang baik terhadap perubahan, dan saling membantu antarkelompok atau antarunit — ternyata juga masih terdapat kesenjangan antara atasan dan bawahan (lihat Grafik).

Survei DDI juga mengungkapkan, dibanding manajer luar negeri, manajer Indonesia belum bisa menerima perbedaan cara kerja. Meskipun hasil akhirnya bisa sama, cara kerja yang berbeda tak jarang dinilai salah. Yang menarik, kerja sama saling membantu antarkelompok/unit organisasi perusahaan di Indonesia begitu menonjol dibanding hasil survei global. “Ini dianggap penting oleh manajer Indonesia,” ujar Vina.

Dampak manajer Indonesia yang kurang bisa menerima perbedaan, menurut Vina, menjadikan orang yang punya terobosan terkungkung. Akibatnya, bawahan yang kreatif kurang bisa melakukan sesuatu. Di sisi lain, semangat saling bantu yang berlebihan membuat karyawan yang lemah dan sering terbantu jadi kurang terdorong menutupi kelemahannya sendiri. Kendati demikian, disebutkan Vina, kedua hal tadi tidak begitu saja diartikan sebagai kelemahan. “Bisa juga dinilai bagus, tergantung dari sisi mana melihatnya.”

Ketidakjelasan sistem organisasi dan minimnya kualitas komunikasi juga membawa dampak manajer Indonesia kurang bisa menghargai organisasi timnya sendiri. Itu tercermin dari jawaban pertanyaan survei: Apakah mereka merekomendasi organisasinya kepada orang lain, yang menjawab setuju dan tidak setuju hanya 54%, lebih kecil 10% dari jawaban manajer global. Sementara itu, selisih bawahan cuma 7% –53% banding 60%. Turnover manajer Indonesia juga lebih tinggi (33%) ketimbang manajer global (25%).

Yang menarik, dari hasil survei terungkap, membimbing bawahan ternyata belum menjadi bagian penting bagi manajer di sini. “Manajer banyak menganggap ini cuma sebagai tugas tambahan,” ungkap Vina. Kecenderungan seperti itu, lanjutnya, karena organisasi luput menjadikan tugas pengelolaan tim sebagai kegiatan baku manajer. “Kalau manajer performed sendirian, sementara timnya jeblok, justru harus dipertanyakan apa saja kerja manajer itu?” Vina mempertanyakan. Terlihat pula dari hasil survei: Manajer atau leader ternyata lebih berorientasi pada tugas mereka, bukan bagaimana mengerjakan tugas itu. “Tidak ada keseimbangan antara apa sasaran tugas mereka dengan bagaimana mencapai sasarannya,” Vina menegaskan.

Hasil temuan itu bisa terlihat dari paparan seorang karyawan di perusahaan pengolahan makanan. Sumber yang tak mau diungkap jati dirinya ini membenarkan fakta adanya kesenjangan antara manajer dan bawahan, paling tidak di unit kerjanya. Ia melihat sang manajer ternyata tipe yang tak mau melihat inisiatif anak buah. Seorang anak buah disalahkan, karena berinisiatif menelusuri salah pengiriman hadiah dari program consumer retention yang belum lama ini digelar.

Rupanya, si atasan telanjur berpersepsi buruk terhadap bawahannya. Ia menilai stafnya itu kelewat sering “bermain sendiri” dan kurang koordinasi dengan atasan. Atasan juga paling anti melibatkan anak buahnya dalam rapat bersama dengan lapisan di atasnya. “Apalagi, mempromosikan anak buahnya,” kata sumber SWA tadi.

Dalam pandangan pengamat SDM dari Lembaga Manajemen FEUI Budi W. Soetjipto, terciptanya gap komunikasi manajer-bawahan berawal dari persepsi. “Persepsi ini yang kerap memengaruhi komunikasi,” ujar Budi yang juga dosen Universitas Indonesia itu. Ia menjelaskan, persepsi ditentukan oleh interpretasi seseorang terhadap informasi yang diperoleh dari lingkungan. Manajer yang punya persepsi buruk terhadap bawahannya, secara otomatis ia menciptakan gap komunikasi antara dirinya dengan bawahan. Apalagi, bila manajer atau atasan adalah tipikal orang yang mudah percaya rumor. Akibatnya, kesenjangan semakin mudah tersulut. Yang tercipta sebatas hubungan vertikal, atas-bawah. Alhasil, bawahan hanyalah dipandang sebagai orang suruhan.

Salah persepsi juga bisa timbul dari cara pandang manajer yang demografis, misalnya karena mmpertimbangkan suku, agama, alumni atau catatan demografis lain. Praduga awal menyesatkan juga bisa jadi pemicu gap komunikasi. “Manajer harus selalu positive thinking,” ia menyarankan. Kekeliruan persepsi ini tentu merepotkan, ketika dinamika organisasi bisnis semakin dituntut lihai bergelut di pasar.

Komunikasi yang ideal, menurut Budi, timbul dari hubungan kesetaraan, atau hubungan kolegial. Bawahan dan atasan berada di garis sejajar. Sudah tentu, kondisi seperti itu menuntut bawahan yang tidak pasif dan serba menurut –istilahnya yes man. “Bawahan juga harus agresif dan kritis,” ujar Budi. Celakanya, banyak juga manajer yang berpandangan anak buah tidak boleh lebih pintar dari atasan. Pandangan ini pastilah salah besar. Seyogyanya, kemampuan itu bisa dimanfaatkan demi kepentingan organisasi.

Di mata Budi, orang yang paling bertanggung jawab terhadap kesenjangan komunikasi — tak pelak lagi — adalah manajer. “Bagaimana pun dialah pemimpin. Dia seharusnya menciptakan suasana kondusif,” ungkap Budi. Suka melempar kesalahan, mudah marah kepada bawahan adalah gambaran adanya gap komunikasi. Menurutnya, baik-buruknya hasil pekerjaan anak buah adalah cermin bagaimana seorang pemimpin. “Jangan harap hasil pekerjaan anak buah bagus kalau atasan tidak bisa memimpin,” cetusnya.

Solusi yang dianjurkan Budi untuk mengurai komunikasi yang kusut di organisasi, pertama, ciptakan hubungan kolegial. Kedua, manajer harus memiliki persepsi baik terhadap bawahan. Ketiga, ciptakan apresiasi. Ia memberi gambaran bagaimana kiat yang dilakukan manajer supaya bisa lancar berkomunikasi dengan bawahannya.

Manajer mesti berusaha mencari tahu kesamaan minatnya dengan bawahan. Sebagai contoh, ternyata mereka sama-sama suka nonton film serial Mahabharata. Manajer mengajak ngobrol anak buahnya soal Mahabharata untuk mencairkan komunikasi. Sambil larut dengan Mahabharata dia bisa mengaitkan dengan tugas kantor. “Inilah bagaimana atasan membangun apresiasi terhadap bawahan melalui kesamaan minat,” ungkapnya.

Reportase: Abraham SusantoRiset: Siti Sumariyati

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved