Listed Articles

Bintang Zero, Inovatif atau Blunder?

Oleh Admin
Bintang Zero, Inovatif atau Blunder?

“100% Bintang, 0% alkohol,” demikian bunyi iklan produk terbaru PT Multi Bintang Indonesia Tbk. (MBI), Bintang Zero. Perusahaan yang berdiri 75 tahun lalu ini belakangan memang terlihat mencari jadi diri baru sebagai produsen minuman (tidak hanya bir). Setelah sebelumnya cukup sukses melipatgandakan penjualan Green Sands — salah satu produknya — dengan cara menghilangkan kandungan alkoholnya, MBI meluncurkan minuman-minuman baru yang juga tidak mengandung alkohol, seperti Fit n Fun dan Bintang Zero.

Wajar saja strategi ini ditempuh MBI. Berada di negara yang 85% penduduknya beragama Islam, MBI tidak bisa berharap banyak dari penjualan bir yang masuk kategori haram (dilarang) dalam hukum Islam. Tak mengherankan, pasar bir pun hanya mengambil porsi yang sangat kecil dari total pasar minuman di Indonesia. Demikian juga, tingkat konsumsi bir per kapita di Indonesia, yang hanya 0,6 liter/tahun. Bandingkan dengan Jerman yang konsumsi bir per kapitanya mencapai 120 liter/tahun. “Pasar bir hanya 3% dari total pasar minuman,” ungkap Indah Soelistyawati, Direktur Pemasaran MBI.

Sebenarnya, posisi MBI di pasar bir tergolong cukup kuat. Hingga akhir 2004, perusahaan yang merupakan bagian dari produsen bir dunia, Heineken, ini menguasai 65,6% pasar bir di Indonesia. Pesaing terdekatnya, PT Delta Djakarta (merek Anker), yang menguasai sekitar 30% pasar. Namun, sejak krisis melanda Indonesia tahun 1997, pasar bir dari tahun ke tahun terus menurun. “Dari 2000 hingga 2003 pasar bir turun 21%,” kata Indah.

Menurunnya pasar bir antara lain disebabkan berkurangnya jumlah wisatawan asing — salah satu konsumen utama produk ini — yang berkunjung ke Indonesia. Selain itu, meningkatnya harga bahan baku juga memaksa podusen bir menaikkan harga jual produknya, yang secara tidak langsung juga berakibat pada menurunnya permintaan akan produk bir. Sebagaimana diketahui, produk minuman beralkohol dikenakan cukai Rp 2.300/liter dan pajak barang mewah (luxury tax) sebesar 40%. “Ini membuat harga bir melambung,” ujar Indah.

Kondisi ini jelas sangat tidak menguntungkan MBI. Untuk menyikapi hal tersebut, sejak tiga tahun lalu, MBI menjajaki memproduksi minuman non-alkohol. “Kami harus memaksimalkan kapasitas produksi pabrik yang terus menurun,” kata Indah. Langkah awalnya, menghilangkan kandungan alkohol pada Green Sands — sebelumnya produk ini mengandung alkohol, meski jumlahnya sangat kecil (di bawah 1%). Langkah ini tergolong cukup berhasil. Penjualan Green Sands melonjak tiga kali lipat. “Logikanya, dengan produk yang tidak beralkohol, kami bisa menjangkau 220 juta penduduk Indonesia.”

Indah mengakui, lahirnya Bintang Zero memang diilhami produk bir non-alkohol yang banyak beredar di negara-negara Eropa. Hanya saja, Bintang Zero tidak mentah-mentah meniru konsep produk tersebut. “Bintang Zero bukan bir tanpa alkohol. Kami menyebutnya minuman malt bebas alkohol,” ujarnya. Berbeda dari produk di luar negeri yang rasanya sama dengan bir tetapi tanpa alkohol, Bintang Zero menawarkan rasa yang berbeda dibanding bir. “Berdasarkan survei yang kami lakukan, masyarakat Indonesia kurang menyukai rasa bir,” ujarnya.

Indah menegaskan lagi, Bintang Zero sama sekali berbeda dari bir Bintang. Tak hanya rasa dan kandungan alkoholnya yang berbeda, tapi juga positioning dan target konsumen yang dibidik. Bintang Zero diposisikan sebagai minuman mild (bukan soft drink) dengan target konsumen pria dan wanita usia 20-35 tahun, sedangkan bir Bintang adalah produk bir yang ditujukan untuk pria dewasa.

Namun, meski positioning dan target konsumen yang dibidik berbeda, MBI tetap menggunakan merek Bintang untuk produk ini. Demikian juga, desain serta ukuran kemasan pun sama dengan bir Bintang, hanya warnanya yang berbeda. Bahkan, di pasar (khususnya pasar modern), produk ini ditempatkan berdampingan dengan bir Bintang atau pada kategori produk bir.

Indah mengatakan, penggunaan merek Bintang untuk produk ini bukan tanpa alasan. MBI telah melakukan survei mendalam sebelum mengambil keputusan menggunakan merek Bintang untuk produk barunya ini. “Awareness terhadap merek Bintang cukup tinggi. Merek ini juga sudah dipersepsikan memiliki kualitas tinggi,” ujarnya.

Jika MBI yakin penggunaan merek Bintang akan memperkuat produk barunya, lain dengan Roy Goni, pengamat pemasaran yang juga staf pengajar Unika Atma Jaya. Menurutnya, justru pilihan itu merupakan blunder. “Bintang Zero bisa disebut sebagai produk gagal. Kesalahannya sangat mendasar, karena mereka tetap menggunakan merek Bintang yang sudah sangat identik dengan alkohol,” ujar Roy tegas. Dalam analisisnya, keberanian MBI tetap menggunakan merek Bintang pada produk ini tak lain ditujukan untuk memberikan pilihan kepada konsumen bahwa selain produk yang beralkohol (bir), Bintang juga tersedia dalam varian non-alkohol. “Ini malah celaka. Positioning Bintang Zero menjadi sangat tidak jelas, dan ini tidak menimbulkan daya tarik bagi konsumen,” tambahnya.

Roy mengatakan, di negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim seperti Indonesia, produk-produk yang mengandung alkohol sangat sulit berkembang. MBI pun sudah dipersepsikan sebagai produsen minuman beralkohol, sehingga apa pun yang mereka lalukan, produknya selalu dikonotasikan dengan alkohol. “Green Sands pun tidak seberapa sukses meski sudah alcohol free,” tambahnya.

CEO Brandmaker Simon Jonatan setali tiga uang. Menurutnya, Bintang Zero tergolong produk yang aneh. Ia menjulukinya ghost product. Namun, Simon menengarai ada tujuan lain yang ingin dicapai MBI. Sebagaimana diketahui, sejak 1999 semua produk yang mengandung alkohol dilarang beriklan, baik melalui kegiatan above the line maupun below the line. Pengalaman membuktikan, semua produk yang tidak dikomunikasikan lama kelamaan potensinya akan turun. Nah, mungkin bir Bintang merasakan turun,” ujar Simon menganalisis.

Dia mengatakan, semua orang tahu bahwa Bintang adalah bir, kecuali anak kecil yang mengasumsikannya sebagai bintang di langit. Jika komunikasi dihentikan, dimungkinkan terjadi gradasi terhadap awareness. Karenanya, mereka meluncurkan produk yang pasti dapat beriklan, dan mereknya pun disamakan. “Makanya, kemudian produk ini langsung bridging karena memakai kebesaran bir Bintang,” katanya.

Fenomena ini, di mata Simon, menarik. Menurutnya, nol persen alkohol bukan untuk membuat bridging, MBI punya bir Bintang dan sekarang mengeluarkan soft drink. Namun, lebih dari itu, tujuan utamanya adalah agar mereka bisa beriklan. Bir Bintang beriklan melalui Bintang Zero. Logikanya, kalau ada Bintang zero alkohol, berarti ada yang beralkohol. “Harapannya, bir Bintangnya naik. Makanya, mereka mempersiapkan bahwa produk ini harus memiliki ghost product. Prinsipnya, laku syukur nggak laku kebangetan,” ujarnya. Area abu-abu inilah yang menyebabkan orang bingung.

Analisis Simon boleh jadi benar. MBI memang langsung menggeber iklan setelah Bintang Zero diluncurkan. Berdasarkan pemantauan Nielsen Media Research, pada semester II/2004 tak kurang dari Rp 5,2 miliar digelontorkan MBI untuk mengomunikasikan produk “bir banci” ini. Tahun 2005 (hingga April), MBI sudah menghabiskan Rp 9,6 miliar untuk beriklan di berbagai media.

Handito Hadi Joewono, Mitra Pengelola Arrbey Indonesia, berpendapat lain. Meski mengakui bahwa posisi Bintang Zero berada di perbatasan yang menyerempet bahaya, jika dilihat dari sisi segmentasi-targeting-positioning-nya, produk ini menurut Handito masuk ke segmen pasar yang selama ini tidak diperhatikan. Secara geografis, minuman yang berada di antara bir dan soft drink ini masuk ke kalangan kota dan pinggiran. Secara demografis, minuman ini dikelompokkan untuk anak muda dan profesional muda. Dari sisi tipografinya, masuk ke segmen yang tahu bahwa menurut ajaran keyakinan mereka, minuman beralkohol tidak boleh tapi mereka minum produk ini karena 0% alkoholnya. “Ternyata pasar yang tidak diperhatikan ini cukup besar. Tinggal bagaimana pemasar menangkap potensi tersebut,” katanya.

Namun, Handito mengakui, tak mudah menggarap produk sejenis Bintang Zero. Pasalnya, orang masih akan mempertanyakan Bintang Zero mengandung alkohol ataukah tidak. “Ini sesuatu yang sulit. Biasanya pemasar enggan masuk ke sana, karena terkadang ambivalen. Namun, (keberadaan) produk itu membuktikan ada pemasar yang main di segmen pasar ini,” tuturnya.

Indah mengakui, penggunaan merek Bintang memang mengundang banyak polemik. Apalagi, Bintang Zero tidak dilengkapi label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Bukan kami tidak mau mendapatkan label halal, tapi persyaratan yang ada tidak memungkinkan bagi kami untuk memperolehnya,” ujar Indah. Saat ini Bintang Zero masih menggunakan mesin produksi yang sama dengan bir Bintang. Sehingga, MBI pun tidak bisa memperoleh sertifikat halal dari MUI — tak hanya untuk Bintang Zero, tapi juga untuk produk-produk lainnya. “Tapi kami bisa memastikan bahwa produk ini bebas alkohol dan kami pun sudah mendapat pengakuan dari Dirjen POM (Pengawasan Obat dan Makanan),” tambahnya.

Bintang Zero dibuat dari bahan malt (semacam gandum) — demikian juga bir Bintang — tetapi tidak melalui proses fermentasi seperti bir. “Ini bisa dibuktikan,” Indah menegaskan. Namun, untuk mengantisipasi kontroversi, MBI menggunakan jasa konsultan public relations untuk menangani krisis citra ini. Bersama konsultan PR-nya, MBI menyiapkan bukti-bukti sah secara hukum bahwa Bintang Zero memang bebas alkohol, seperti sertifikat dari Sucofindo, Bea Cukai dan Dirjen POM.

Tidak hanya sampai di situ, MBI pun menarik sementara iklan Bintang Zero (baik di media cetak maupun TV) yang menyajikan anak-anak muda yang tengah beraktivitas, untuk kemudian diganti dengan iklan yang bergambar Bintang Zero secara utuh yang dilengkapi pernyataan-pernyataan dan hasil riset yang sah. “Setelah situasi membaik dan melihat respons pasar atas upaya ini, kami akan keluar dengan iklan lama,” ujar Budi Janto, Manajer Merek Grup MBI.

Upaya yang dilakukan MBI itu, menurut Roy, sulit mendapatkan hasil yang maksimal. Dikatakannya, pembenaran-pembenaran seperti itu — kalau ditargetkan untuk remaja — akan sia-sia. “Jadi, upaya ini adalah langkah paling akhir yang dilakukan Bintang, sebagai pertanda bahwa mereka gagal. Menggunakan institusi untuk pembenaran merupakan senjata terakhir yang biasa digunakan produsen,” ungkapnya.

Roy menandaskan, apa pun hasil riset yang disajikan, toh konsumen tidak bisa dipaksa. Bahkan ada penelitian di Inggris, banyak konsumen yang tidak percaya pada institusi yang memberi informasi semacam itu. Namun, ia mengatakan, langkah tersebut memang harus dilakukan MBI karena produknya telanjur diluncurkan.

Simon sependapat dengan Roy. Dia mengatakan, orang Indonesia tidak terlalu peduli terhadap informasi dari berbagai institusi yang biasa dijadikan sebagai alat pembenaran. Menurutnya, langkah yang bisa ditempuh adalah memperlakukan Bintang Zero sebagai merek yang sama sekali terpisah dari bir Bintang, dan harganya juga diturunkan sejajar dengan minuman soft drink lainnya. “Saran saya, Bintang Zero harus memakai endorser yang kuat, harganya diturunkan, dan dikomunikasikan secara gencar,” ujarnya.

Pendapat Simon diamini Handito. Penyandang gelar Certified Professional Marketer Asia Pasifik ini menyarankan agar Bintang Zero harus mulai disapih. Saat ini, menurutnya, brand awareness Bintang Zero sudah cukup bagus. “Bintang Zero harus dimandirikan. Artinya, secara manajemen atau iklannya harus dipisahkan dari bir Bintang. Kalau tidak, akan terbawa bir Bintang terus. Akhirnya, anggapan orang akan terus ke bir Bintang,” tuturnya. Bintang Zero mesti dianggap sebagai identitas merek baru dan sebagai bisnis yang layak dikembangkan kalau memang mau dikembangkan. “Jadi, tidak tanggung-tanggung. Dengan demikian, persepsi (yang menyamakannya) dengan bir Bintang akan sedikit demi sedikit hilang,” katanya.

Handito tetap percaya bahwa produk ini masih berpotensi dikembangkan, dengan catatan jika dieksekusi dengan baik, tentunya. Namun, sejauh ini ia belum melihat upaya yang sangat serius dari MBI untuk mengorbitkan produk ini — dengan risiko kanibalisasi terhadap bir Bintang. “Bintang Zero tidak dikelola secara full. Karena kalau kuat, bir Bintang akan keteteran.Bukankah MBI masih ingin jualan bir?” tanyanya.

Roy pun punya analisis yang sama. Dia melihat, Heineken sebagai induk MBI masih ingin menggunakan Bintang sebagai ikon. “Jika itu pilihannya, peran Bintang Zero dalam portofolio brand mereka harus ditinjau kembali,” ujarnya. Maka, lanjut Roy, dibutuhkan perusahaan yang sangat strategis dalam strategi pemasaran MBI.

Menurut Handito, identitas baru harus dimunculkan untuk Bintang Zero. Dengan logo baru, misalnya. Selain itu, komunikasi yang dilakukan juga tidak harus melulu lewat iklan. “Sampling mungkin akan jauh lebih efektif ketimbang hanya iklan.”

Apa pun analisis dan opini yang berkembang, toh Bintang Zero terus melaju. Bahkan, Indah sangat optimistis, penjualan Bintang Zero akan terus meningkat. “Dari evaluasi yang kami lakukan, trennya sangat baik,” ungkapnya. Ke depan, MBI berencana menggeber iklan dan menggelar berbagai program promosi — khususnya sales promo — di jalur-jalur penjualannya.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved