Listed Articles

Bisnis Gemuk di Balik Hama

Oleh Admin
Bisnis Gemuk di Balik Hama

Tidak bisa dipungkiri, berbagai jenis hama (seperti tikus, nyamuk, kecoa, rayap, lalat dan sebagainya), bisa dijumpai di sebagian besar gedung perumahan, apartemen, perkantoran, ataupun pabrik. Apalagi, di musim penghujan seperti sekarang. Sayang, masih sedikit orang yang peduli untuk memerangi pelbagai hama tadi. Ketika menjumpai nyamuk di rumah misalnya, umumnya pemilik rumah hanya membasmi dengan obat antinyamuk cair ataupun bakar, yang sebenarnya hanya bersifat sementara. Epidemi demam berdarah yang kini melanda dan mengancam warga di berbagai wilayah Indonesia, adalah sebuah contoh masih lemahnya pengendalian hama lingkungan.

Secara umum, hama lingkungan dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu: serangga, tikus dan rayap. Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris misalnya, kesadaran membasmi hama sudah muncul sejak puluhan tahun silam. Hal ini dibuktikan dengan munculnya perusahaan pengendalian hama. Terminix misalnya, yang di AS hadir sejak 1927.

Di Indonesia, sebenarnya perusahaan yang memberikan jasa pengendalian hama (pest control service) cukup banyak, bahkan konon mencapai ratusan, mulai dari yang kelas kacangan hingga nama-nama yang mendunia. Hanya saja, yang mendominasi pasar Indonesia cuma dua nama: Rentokil (Inggris) dan Terminix (AS). Nama lain yang patut diperhitungkan adalah Etos, Proton dan Aardworlf.

Secara umum, bisnis jasa pengendalian hama dikelompokkan menjadi tiga macam. Pertama, general pest control, yakni jasa mengendalikan aneka hama: serangga, kecoa, nyamuk, lalat, tikus dan sebagainya. Kedua, termite control, yang khusus mengendalikan rayap (pemainnya, selain beberapa perusahaan di atas, juga Guci Mas). Ketiga, fumigasi atau pengendalian serangga khususnya produk komoditas dan furnitur (pemain dominan di bidang ini PT Sucofindo).

Boleh dibilang, pasar bisnis pengendalian hama di Indonesia sangat besar, mengingat pasarnya mencakup segmen perumahan, apartemen, pertokoan, perkantoran dan pergudangan. Apalagi, dengan semakin banyak bermunculan proyek properti yang sejatinya memang membutuhkan jasa pest control. Toh, menurut Soegianto, General Manager PT Rentokil Indonesia, tingkat kesadaran orang di Indonesia untuk menggunakan jasa ini masih relatif rendah. Kecuali di kelompok menengah-atas. “Pasarnya cukup besar, meskipun hanya di kelompok menengah-atas,” katanya. Meski belum ada data pasti, ia memprediksi baru sekitar 10% dari pasar potensial, yang memperhatikan pentingnya pengendalian hama.

Harlan Bengardi, General Manager PT Agricon Putra Citra Optima (Apco) — pemegang merek dagang Terminix di Indonesia — berpendapat senada, bahwa pasar masih cukup besar. “Kami sendiri sedang dalam tahap edukasi pasar,” katanya.

Walau belum ada data yang pasti bagaimana pangsa pasar masing-masing pemain, Rentokil yang telah berkiprah lebih dari 25 tahun di sini, pantas dianggap sebagai market leader. Setidaknya, terlihat dari jumlah kliennya yang mencapai sekitar 3.300 pelanggan, dengan total omset Rp 28 miliar. Berikutnya adalah Terminix (dipegang Apco) yang masuk tahun 1996, dan mengklaim berada di urutan kedua dengan omset tahun lalu sekitar Rp 12 miliar. “Kami berhasil merebut sebagian pasar Rentokil, karena Apco membidik segmen pasar atas,” kata Robby Hadisubrata, Manajer Pemasaran & Penjualan Nasional Apco mengklaim. Sebelumnya, Apco merupakan divisi dari PT Agricon (yang membidangi penyediaan pestisida pertanian), kemudian dibentuk sebagai perusahaan tahun 2000 guna memasarkan Terminix.

Menurut Robby, sukses Apco/Terminix di bisnis ini tidak terlepas dari kepiawaian tim sales dan technical service yang menjadi ujung tombak di lapangan. Robby menyebutkan, Apco tidak akan membiarkan karyawan masuk begitu saja tanpa melalui proses pelatihan. Hampir setiap bulan, bila ada materi pelatihan baru dari AS, para konsultan hama dari Apco pun diberi pelatihan. Dengan 11 kantor yang tersebar di Jakarta, Bogor, Denpasar, Surabaya dan Medan, Apco memiliki 300-an karyawan, yang meliputi 30% tenaga konsultan, 50% tenaga teknisi, dan 20% tenaga administrasi. Tahun ini Apco berencana ekspansi ke Yogyakarta.

Keunggulan Apco, menurut Robby, karena membawa nama Terminix (lewat pola waralaba dari pusatnya di AS), sehingga memiliki standar kerja, peralatan dan sistem yang sama. Apalagi, Terminix memiliki pengalaman di bisnis ini sejak tahun 1927. Kualifikasi SDM-nya pun, lanjut Robby, harus bisa mengacu pada konsep Integrated Pest Management (IPM). Karena itu, untuk tenaga teknisinya saja dipersyaratkan minimal lulusan D-3 — berbeda dari kebanyakan tukang semprot hama yang ada sekarang. Alasannya, dengan konsep IPM, dibutuhkan kemampuan menganalisis kondisi lapangan dan mengambil tindakan yang tepat saat itu juga. ?Kalau menggunakan tenaga lulusan SMA, belum tentu bisa,” katanya.

Robby mengaku tidak mudah memasarkan jasa ini. Selain tingkat kesadaran yang masih rendah, di sisi lain, promosinya pun tak banyak terdengar. Karena itu, untuk memasarkan jasa ini pihaknya harus mampu mengedukasi. ?Pelanggan residensial sebagian besar awam sekali jasa ini,? ujarnya. Repotnya, karena terkait dengan bahan-bahan beracun, tenaga yang menangani sebenarnya harus yang profesional di bidang ini.

Setelah melakukan edukasi, tenaga sales — yang sering disebut konsultan — biasanya akan menyurvei secara menyeluruh untuk mengetahui jenis hama apa saja yang ada di dalam suatu bangunan/hunian. Jika, misalnya dari survei ditemukan kotoran tikus, berarti bisa disimpulkan bahwa di rumah itu ada tikus. Dari sini juga harus ditelusuri, karena jenis tikus beragam (tikus got, tikus rumah dan tikus atap). Uniknya, sang konsultan dari Apco akan menjelaskan bagaimana ketiga jenis tikus tadi bekerja dan sekaligus memberikan solusinya, agar tikus-tikus tidak memasuki bangunan. Artinya, tenaga penjualan ini juga dituntut punya pengetahuan detail mengenai hama. Misalnya, ia harus tahu bahwa tikus atap umumnya bersarang di loteng atau rongga dinding, dan tikus dengan berat 0,08-0,12 kg ini mampu melahirkan 4-6 kali dalam setahun dengan jumlah setiap kelahiran 6-8 ekor.

Untuk solusi pengendalian hama tikus pun diterapkan bertahap, mulai dari pencegahan (menggunakan kawat), jebakan mekanis hingga bahan kimia (rodentisida kronis dan rodentisida akut). “Pokoknya, kami berusaha agar bahan kimia merupakan jalan terakhir,” katanya.

Nah, kalau harga sudah disepakati calon klien, baru dilakukan perjanjian kontrak. Uniknya dalam penentuan harga masing-masing pemain berbeda. Apco misalnya mematok harga berdasarkan luas bangunan dan tingkat permasalahan (tergantung jenis hamanya). Misalnya, untuk pengendalian hama nyamuk tarifnya tidak sama dengan pengendalian hama tikus.

Umpamanya, untuk rumah seluas sekitar 200 m2, dari hasil survei ditemukan tiga hama (lalat, tikut dan kecoa), maka biaya untuk pest control sekitar Rp 200 ribu/bulan. Nah, pemain lain, disebutkan Robby, biasanya mematok harga dengan pukul rata (tanpa membedakan hamanya), dan perhitungannya berdasarkan harga per m2 dari luas area keseluruhan (halaman dan bangunan). “Cara ini justru lebih banyak merugikan konsumen,” ujar Robby.

Ia mengklaim, harga Apco lebih rendah dari pesaing. Menurutnya, ini lantaran Apco bisa melakukan efisiensi. Contohnya, jika untuk satu pekerjaan pemain lain mendatangkan 2-3 orang, Apco cukup mengirim satu orang.

Dalam masa kontrak (umumnya setahun), disediakan jasa perawatan. Alasannya, hama selalu ada, dan selain itu dampak perlakuan terhadap bahan kimia harus dipantau secara rutin, seminggu atau sebulan sekali. Contohnya, jika setelah menggunakan jasa pest control pelanggan masih melihat satu kecoa di rumah, teknisi Apco akan datang untuk membereskannya.

Robby menyebutkan, strategi Apco menggarap segmen residensial, komersial ataupun industri, tidak jauh berbeda. Namun, berdasarkan pengalamannya, memasarkan ke segmen residensial lebih mudah karena bisa lengsung berhubungan dengan pemilik, dan sekali datang bisa langsung teken kontrak. Sementara itu, di segmen komersial dan industri biasanya membutuhkan waktu lebih lama — selain mesti ada survei dan presentasi, tak jarang harus melewati tender.

Dalam memasarkan jasa, agaknya strategi Rentokil tidak jauh berbeda dari Apco. Caranya dengan memperkuat tim sales (sedikit perbedaannya, Rentokil tidak menyebutnya sebagai tenaga konsultan). Saat ini, Rentokil memiliki 40 sales dan 280 teknisi. Tim sales ini yang aktif mendatangi calon klien, baik perumahan, komersial, pabrik maupun industri, menjelaskan mengenai pest control, menyurvei dan mengevaluasi keberadaan hama. Dengan dasar ini, petugas sales surveyor mempresentasikan keberadaan hama, cara pengendalian, dan manfaat yang akan diperoleh. Setelah itu baru bernegosiasi, mempertimbangkan berapa biaya investasi, luas cakupan pengendalian, dan waktu yang dibutuhkan untuk treatment.

Tarif yang dikenakan Rentokil bervariasi. Untuk perumahan, rata-rata Rp 5-10 juta/tahun tergantung luas areanya, sedangkan untuk industri Rp 10 juta-1 miliar/tahun. Untuk klien besar seperti PT Freeport Indonesia misalnya, nilai kontrak mencapai Rp 1 miliar/tahun, karena di sini Rentokil melakukan treatment secara keseluruhan, mulai dari kompleks perumahan, perkantoran dan industri pertambangannya, dengan melibatkan 9 teknisi termasuk supervisor.

Bagaimana dengan tarif pest control dari Apco? Menurut Harlan, untuk pelanggan residensial rata-rata dikenakan biaya Rp 2,5-5 juta/tahun, sedangkan untuk hotel atau pabrik Rp 25-50 juta/tahun. Yang menarik, Apco memetik kontrak jasa pengendalian rayap dengan nilai kontrak cukup besar dari Hotel Amanusa, Bali, yakni Rp 500 juta.

Saat ini, Rentokil mengklaim memiliki sekitar 3.300 klien yang meliputi residensial (30%), komersial (restoran, hotel, perkantoran — 40%), dan industri (30%). Tahun ini, dari jumlah klien diharapkan akan tumbuh 20% (menjadi sekitar 4.000 klien). Bila omset tahun lalu sekitar Rp 28 miliar, tahun ini Rentokil mematok target omset Rp 33 miliar.

Adapun Apco, dalam waktu tiga tahun mengklaim telah memiliki 2.300 klien (residensial, komersial dan industri) dengan omset Rp 12 miliar tahun lalu. Target omset tahun 2004 Rp 15-16 miliar. “Kontribusinya sekitar 75% berasal dari komersial dan industri, sedangkan dari residensial 25%,” papar Harlan. Dari jasa pengendalian hama ini, Apco mampu memberikan kontribusi pendapatan 10%-15% ke Agricon.

Menurut Soegianto, agar kerja sama dengan klien bisa tepat sasaran, pihaknya harus melakukan survei dengan baik dan menjelaskan hasilnya pada klien. Sementara itu, untuk klien korporat Rentokil juga memberikan pengetahuan tentang hama. “Sebab, kami tidak bisa mengendalikan hama bila hanya dari kami sendiri,” katanya. Di sini misalnya, diarahkan menghindari hama dengan tidak membuang makanan yang tersisa ataupun membiarkan air tergenang.

Menurut Harlan, membina komunikasi dengan klien merupakan kunci keberhasilan agar klien loyal. Sebab, dengan cara ini Apco memperoleh masukan dari klien atas jasa yang diberikan. “Kami berusaha melakukan perbaikan,” katanya. Apco pun memiliki quality audit yang mengaudit setiap tiga bulan, dan akan di cek oleh manajer cabang. Adapun untuk klien besar paling sedikit dilakukan kunjungan setahun sekali. Selain itu setiap tahun Apco mengeluarkan indeks kepuasan konsumen sejak 2002. Dari 1.500 pelanggan, rata-rata Terminix mendapat nilai kepuasan 7,5, sedangkan di tahun 2003, dari 30%-40% pelanggan yang disurvei, Terminix mendapat nilai 7,8.

Yang menarik, sebagai bukti ketatnya persaingan, Rentokil harus melepaskan PT Nestle Indonesia sebagai kliennya. Menurut Rubyanto, sales buyer dari Nestle, harga bukan satu-satunya alasan Nestle beralih ke Terminix. Alasan utamanya, standar kerja Nestle terhadap pengendalian hama yang cukup tinggi, justru bisa dipenuhi oleh Terminix. Selain itu, lanjut Rubyanto, Terminix telah memiliki cabang di beberapa kota, sehingga untuk cabang Nestle lainnya di Indonesia, bisa lebih dimudahkan.

Riset: Asep Rohimat.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved