Listed Articles

Bundanya Rokok Mild

Oleh Admin
Bundanya Rokok Mild

Tampilannya sederhana, bicaranya pun pelan. Pria yang malam itu berkemeja lengan pendek dan bercelana biru keabu-abuan ini tampak pendiam. Perilakunya yang santun dan tenang membuatnya terlihat biasa-biasa saja. Namun siapa sangka, di balik sikap tenangnya tersimpan magma yang besar. Mau tahu? Dari tangan dinginnyalah lahir jenis produk baru dalam dunia rokok Indonesia: mild. Uniknya, ia menciptakan tiga rokok mild di tiga perusahaan yang berbeda, bahkan berseberangan.

Dialah Muhammad Warsianto. Pria kelahiran Semarang 18 Oktober 1955 ini mengaku bangga dengan kinerja ketiga merek mild tersebut. Dalam taksiran pria bertinggi 170 cm dan berat 80 kg ini, A Mild kini menguasai 50%-60% pangsa pasar rokok mild, disusul Star Mild dan Class Mild dalam porsi yang sama. Totalnya, ketiga merek itu menguasai 90% rokok mild di Indonesia. Adapun sisanya dipegang rokok mild lain.

Sarjana teknologi mekanisasi pertanian dari Institut Pertanian Bogor (1975-79) ini memulai karier di BAT pada 1979 sebagai Management Trainee. Warsianto mengaku amat bersyukur bergabung dengan perusahaan itu. Karena BAT memiliki sistem manajemen training yang amat jelas dan bagus, ujar putra sulung 8 bersaudara dari pasangan guru SD, Wardoyo dan Siti Fatimah ini.

Ia merasa beruntung karena di sinilah ia mulai dikenalkan dan diajarkan beragam hal seputar rokok. Mulai dari segi flavour, peracikan, penjualan, komunikasi, pemasaran, sampai assesment. Warsianto jadi tahu cara melacak kekuatan dan kelemahan rokok. Yang membuatnya tambah senang, BAT juga menyekolahkannya. Tak heran, baginya, ia memiliki dua universitas: IPB dan BAT. Ilmu pengetahuan pangan didapat dari IPB, sementara ilmu rokok didapat dari BAT.

Satu tahun pertama di BAT, Warsianto diangkat sebagai Tobacco Buying Officer dan berkantor di Bali. Setahun kemudian ia dipindahkan ke Lombok. Kemudian pada 1982, balik ke Semarang. Di sini ia diangkat sebagai Tobacco Branding Officer atau tukang racik. Saat itu ilmu tentang peracikannya diasah. Bahkan, iseng-iseng, di sela-sela kesibukan kerja, ia meracik rokok sendiri. Saya merasa kegiatan ini ada seninya, ujar penggemar bermacam-macam rokok ini. Memasuki tahun kelima (1985), ia ditugaskan ke Jakarta, menjabat Manajer Pengembangan Produk.

Setelah 9 tahun berkiprah, ia memutuskan keluar dari BAT dan pindah ke perusahaan rokok lain, Sampoerna, pada 1988. Posisi yang ditawarkannya tidak tanggung-tanggung, Kepala Pengembangan Produk Baru. Ini merupakan posisi strategis dan cukup tinggi bagi pria yang saat itu baru berusia 33 tahun.

Tak ada misi apa-apa ketika saya masuk ke sana, ujar pengguna Honda Accord K 8137 CB tahun 2001 ini merendah. Yang pasti, ia ditugaskan mempersiapkan infrastruktur dan segala hal yang dibutuhkan untuk lahirnya departemen anyar: Pengembangan Produk Baru. Diakuinya, kompensasi yang ditawarkan lebih baik. Namun, bukan itu saja yang membuatnya pindah.

Alasan lain, di BAT tak mungkin dikembangkan produk berbahan baku sigaret, sesuatu yang dimungkinkan di Sampoerna. Itu sebabnya, ia tertarik bergabung dengan Sampoerna. Dalam benaknya, ia akan mengembangkan produk baru dengan bahan baku sigaret. Dan persis pada 19 Desember 1989, A Mild diluncurkan ke pasaran. Ini hasil kerja tim, ujarnya merendah lagi. Namun, ia mengakui, proyek ini di bawah pimpinannya, dari saat peracikan, menjadi produk, sampai membuat strategi komunikasi dan pemasarannya.

Tentang kelahiran A Mild, salah seorang manajer Sampoerna membantah bahwa arsitek A Mild adalah Warsianto. Ini ide Putera Sampoerna. Karena ia adalah seorang visioner. Jadi, ia tahu produk yang bagus di masa depan, ungkap pria yang mengaku sudah 20 tahun berkiprah di industri rokok ini. Peran Warsianto? Menurut manajer itu, Warsianto berperan mengolah ide tersebut. Namun, untuk dua produk mild lainnya, Star Mild dan Class Mild, ia mengakui Warsianto merupakan arsiteknya.

Warsianto enggan berdebat perihal ini. Yang pasti, sekadar diketahui, meluncurkan produk baru di perusahaan rokok berbasis keluarga tidaklah mudah. Maklum, kultur dasar perusahaan rokok di Tanah Air dikenal sangat konservatif, tak terkecuali di perusahaan sekaliber Sampoerna yang dikenal modern. Dan tampaknya hal ini pun dialami Warsianto. Ia mengaku butuh waktu satu tahun sampai akhirnya produk baru yang ia usulkan diterima. Waktu selama setahun ini meliputi pengajuan proposal tertulis, pertemuan dan rapat berkali-kali, memberi contoh produk hasil racikan, sampai uji ke lapangan (pasar).

Diungkapnya, dalam mengembangkan produk baru, ia harus ekstra hati-hati. Sikap menggurui, tak boleh muncul. Bahkan, sebelum mengusulkan ia harus sudah siap segala sesuatunya. Sehingga, risikonya bisa diminimalisasi, katanya.

Ketika awal A Mild diluncurkan, kinerjanya masih naik-turun. Hal ini terjadi sampai ia meninggalkan Sampoerna. Namun, secara keseluruhan A Mild termasuk produk yang bagus. Alasannya, repeat order-nya di atas 40%. Jika bisa mencapai angka ini, sebuah produk baru tergolong punya prospek dan bagus, ujarnya tegas. Karenanya, pemasaran A Mild terus didukung habis-habisan oleh Sampoerna.

Warsianto tak bertahan lama di Sampoerna. Pada 1992, ia memutuskan keluar dari Sampoerna dan bergabung dengan Hermawan Kartajaya mengembangkan lembaga konsultan MarkPlus di Surabaya. Kebetulan Hermawan waktu itu mantan manajer Sampoerna juga. Saya tergoda untuk berwiraswasta, kata pria yang ketika itu berusia 37 tahun. Dan konsultan merupakan pekerjaan yang disukainya.

Sebagai konsultan, sejumlah perusahaan besar berhasil ditanganinya. Namun tiga tahun menjadi konsultan, Warsianto mulai tak betah. Jadi konsultan itu berat. Saya tidak bisa maksimal, ujarnya beralasan. Bisa dipahami, karena ia harus memikirkan banyak perusahaan. Akhirnya, godaan kembali menjadi eksekutif perusahaan membetot hatinya, sebab ia merasa bisa lebih fokus memikirkan dan mengembangkan produk — tak bercabang seperti konsultan.

Maka, ketika pada 1995 Bentoel menawari bergabung, ia langsung oke. Posisi yang didapat adalah GM Pemasaran. Setahun kemudian, 5 September 1996, meluncurlah Star Mild dengan tag iklannya yang terkenal, ?Losta masta?. Seperti halnya di Sampoerna, di Bentoel pun Warsianto memimpin lahirnya produk baru ini, dari usulan dalam bentuk proposal, peracikan, strategi komunikasi, pemasaran, sampai assesment.

Setelah 6 tahun bergabung, pada 2001 ia memutuskan keluar dari Bentoel dan bergabung dengan NTI Indonesia. Waktu itu, penjualan Star Mild mencapai 5,5 miliar batang/tahun. Alasan kepindahannya sangat sederhana, Saya ingin balik ke Semarang, ujarnya datar. Diceritakannya, selama ini ia bertahun-tahun bekerja jauh dari anak-istrinya di ibu kota Jawa Tengah itu. Mereka lebih betah di Semarang, lebih hommy, ujarnya. NTI Indonesia berkantor di Kudus, sekitar satu jam perjalanan dari Semarang. Akhirnya, kerinduan berkumpul dengan keluarga, mendorongnya keluar dari Bentoel.

Kepergiannya ke NTI ternyata tidak percuma. Di perusahaan keluarga ini ia menjabat sebagai Senior Advisor. Terus terang sejak saya keluar dari Sampoerna, saya tak peduli dengan nama jabatan atau posisi, ia menegaskan. Yang terpenting baginya, memberikan nilai tambah buat perusahaan. Karena itu, baru setahun di sini ia melakukan hal yang sama seperti perusahaan rokok sebelumnya: menghasilkan rokok mild. Persisnya pada 16 Januari 2003, dari tangannya meluncur Class Mild. Sama seperti sebelumnya, di sini pun ia menciptakan rokok mild mulai dari peracikan, peluncuran produk, pembuatan strategi komunikasi sampai pemasarannya.

Seorang sumber mengungkapkan, NTI Indonesia pada dasarnya adalah sama dengan Nojorono di Kudus, pabrik rokok yang banyak menghasilkan rokok kelas bawah seperti Minak Jinggo, Niki dan Niko. Nojorono sengaja tak menggunakan nama Nojorono dalam meluncurkan Class Mild karena ingin memperbaiki citra perusahaan dari penghasil rokok kelas bawah menjadi penghasil rokok kelas atas. Momen yang digunakan adalah peluncuran Class Mild.

Itulah sebabnya, meskipun harga per bungkus Class Mild (Rp 5.200-5.500) lebih rendah daripada A Mild (Rp 7.500) dan Star Mild (Rp 5.500-6.000), Warsianto keberatan jika Class Mild disebut rokok kelas bawah. Pasalnya, Class Mild dikomunikasikan sebagai rokok kelas menengah. Adapun harga dibuat murah, itu disengaja agar bisa bersaing dengan dua besutannya terdahulu: A Mild dan Star Mild.

Melahirkan tiga rokok mild di tiga perusahaan berbeda. Bagaimana Warsianto memandang ?bayi-bayinya? itu? Meski ketiga rokok itu sama-sama mild, bagi dia, ketiganya diciptakan bukan untuk bersaing dan merebut pasar satu sama lain. Yang sebenarnya terjadi, katanya, ketiganya sukses mengembangkan segmen mild di Tanah Air.

Sekalipun demikian, ia mengakui, ketiganya memiliki target pasar yang berbeda-beda. A Mild — tag iklan saat peluncurannya adalah ?The taste of the future? — yang memiliki harga lebih mahal, dipatok untuk kelas menengah-atas. Star Mild yang dibanderol lebih murah ditujukan untuk kelas menengah. Tag iklannya, ?Lower than the low?, dibuat untuk menanggapi iklan A Mild waktu itu, ?How low can you go?. Adapun Class Mild ditujukan untuk menengah, tapi sedikit lebih rendah daripada Star Mild. Tag iklan peluncurannya, ?Best value?.

Sekalipun pendatang baru, Warsianto mengaku bangga dengan kinerja Class Mild. Sebab, hanya dalam setahun, produk ini terjual di atas 1,5 miliar batang. Pertumbuhan ini bahkan di atas dua mild pendahulunya, katanya mengklaim. Memang, pasang pasarnya masih jauh di bawah A Mild, tapi ia optimistis, Class Mild akan terus berkembang di masa mendatang.

Ucapan Warsianto tampaknya tak berlebihan. Paling tidak jika kita merujuk data Direktorat Bea dan Cukai. Pada 1992 penguasaan mild hanya 0,3% dari total pasar rokok. Namun sampai 2003, pertumbuhannya sangat cepat dan diprediksi mencapai 12,5% dari total pasar. Bahkan, angka ini diperkirakan menyentuh 15% pada 2004.

Yang tergerus jelas pasar sigaret keretek mesin reguler. Tahun 1992 penguasaan pasarnya mencapai 61,6%. Namun, dalam perjalanannya sampai tahun 2003 nilainya merosot menjadi 44,5%. Hal ini juga dialami rokok putih. Setelah pada 1992 penguasaannya 12%, pada 2003 hanya 9%.

Aa Afreyazid, General Manager BAT, mengungkapkan, selama ini ia mengenal Warsianto sebagai sosok yang total. Jika ia yakin terhadap sebuah produk, ia akan fokus di situ, ujarnya. Namun, di atas segala kelebihannya, Aa melihat, Warsianto menjadi hebat karena memiliki ilmu rokok yang terbilang komplet, dari peracikan sampai pemasarannya. ?Itulah sebabnya, ia mampu meluncurkan sejumlah produk mild,? ujarnya.

Kini, dua tahun sudah Warsianto berlabuh di NTI Indonesia. Ia berencana pada usia 55 tahun akan pensiun. Artinya — tentu jika tak ada aral melintang – ia akan berkiprah di NTI Indonesia 7 tahun lagi. Pria yang diwaktu senggang lebih suka berkumpul dengan keluarga ini mengaku tak berencana berwirausaha. Sudah tua, ujar suami Krisnawati (47 tahun) serta ayah Jana (19 tahun) dan Damar (18 tahun) ini. (Saya ingin) Maksimal di NTI, ujarnya menutup wawancara kami malam itu di Hotel Patra, Semarang. ?Bundanya? rokok mild ini rupanya sudah tak sabar ingin bertemu keluarga yang memang jadi motivasi utamanya pindah ke NTI.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved