Listed Articles

Coffee Toffee, Sedapnya Aroma Bisnis Kedai Kopi Lokal

Oleh Admin
Coffee Toffee, Sedapnya Aroma Bisnis Kedai Kopi Lokal

Termasuk Odi Anindito, anak muda dari Surabaya yang tergerak mengusung minuman kopi lokal setara dengan merek asing. Setidaknya, ia ingin kopi lokal juga bisa dinikmati di kafe atau bisa dibeli dengan cara takeaway. Maka, tahun 2005 ia memperkenalkan Coffee Toffee (CT) dengan konsep gerai minikafe. Setelah gerai perdana dibuka di Surabaya, kini CT sudah memiliki 60 gerai yang tersebar di Jabotabek, Bandung, Bali hingga Kalimantan Tengah.

Dari awal, Odi memang pede dengan bisnis CT-nya ini. Hal itu lantaran dia sudah mengantongi ilmunya saat berada di Merlbourne, Australia. Ketika itu ia cuti kuliah di Jurusan Teknik Informartika ITS, Surabaya, untuk kuliah diploma bidang Small Business & International Business Marketing di sebuah lembaga pendidikan di Melbourne. Di sana, Odi sempat bekerja paruh waktu di coffee shop. “Di sanalah saya baru tahu bahwa kopi ternyata punya 25 varian dan 8 di antaranya adalah blended dari kopi Indonesia. Karena di Australia laris, saya juga ingin buka di Indonesia,” papar arek Suroboyo yang lahir 29 tahun lalu itu.

Pada tahap awal pembukaan CT, Odi mesti berinvestasi Rp 50 juta. Dana itu digunakan untuk modal kerja dan bayar upah karyawan. Untuk tempat, ia meminjam gedung orang tuanya yang biasa dipakai bisnis kursus bahasa Inggris, yaitu di Jl. Dharmahusada Raya, Surabaya. Asal tahu saja, modal itu berasal dari kantongnya sendiri, karena tahun 2004 ia dan kawan-kawannya sudah memiliki bisnis bidang jasa informasi kesehatan. Namanya Health Caren dan sudah banyak klien yang ditangani, seperti RS Dr. Soetomo, RS Angkatan Laut Surabaya, serta beberapa rumah sakit di Sumatera dan Kalimantan.

Pria yang hobi minum kopi ini mengaku, mula-mula CT diperkenalkan dalam bentuk gerobak rombong agar orang membeli dengan takeaway. Rupanya, konsep itu kurang laku di pasaran. Lalu, ia menyempurnakan konsep penjualan takeaway dengan dilengkapi kafe. Sebab orang yang beli kopi tak hanya dibawa pulang, melainkan juga ingin nongkrong di lokasi CT. Kemudian, ia menjajal masuk ke mal dengan membuka gerai CT di Tunjungan Plasa. Bisa ditebak, respons pasar sangat antusias. Sayang, Odi tutup mulut saat dikorek informasi berapa omset rata-rata yang dia kantongi tiap bulan.

Tak puas hanya memiliki gerai dalam hitungan jari, Odi ingin CT berkembang biak. Sayang, ia tak memiliki modal besar. Strategi yang ditempuh adalah menawarkan pola kerja sama waralaba. Ada empat paket sistem franchise CT: Coffee Booth dengan investasi Rp 70 juta; Coffee Kiosk Rp 85 juta; Coffee Mobile Rp 95 juta; dan Coffee Shop dengan modal terbesar Rp 195 juta. Dana investasi itu sudah termasuk fee manajemen, perlengkapan, dan pelatihan. “Jadi, franchisee cukup menyediakan tempat dan membeli bahan baku blended kopi dari kami,” tambah Direktur Pengelola CT itu. Masa kontrak kerja sama ini lima tahun dan bisa diperpanjang dengan membayar biaya Rp 25 juta. Tak dinyana, sistem waralabanya itu juga diminati calon investor.

Selanjutnya, Odi tak mau hanya berkutat di Surabaya. Ia ingin melebarkan sayap hingga ke beberapa kota. Gayung pun bersambut. Sejumlah investor dari Bali, Palangkaraya dan Jakarta menyambutnya dengan hangat. Tahun 2007, datanglah Bambang Subagyo, pemilik kedai donat Double Dipps Donuts & Coffee (DDDC). Pria ini tidak mau menjadi terwaralaba, tapi langsung ingin menjadi bagian dari owner CT.

Setelah dilakukan negosiasi dan kalkukasi, mereka sepakat berkolaborasi sebagai pemegang saham CT dengan komposisi fifty-fifty. Dengan Odi memberikan 50% saham CT ke Bambang, konsekuensinya Bambang juga memberikan 50% saham DDDC. Sekadar informasi DDDC ini juga diwaralabakan. Untuk membuka gerai DDDC dibutuhkan investasi Rp 80 juta setiap gerai. Saat ini ada 20 gerai DDDC di Jabotabek. “Saya tertarik bergabung dengan CT, karena kafe ini menggunakan produk kopi lokal. Apalagi Pak Odi punya keterbatasan untuk mengembangkan bisnis di luar Surabaya dan Indonesia Timur. Jadi, tugas saya mengembangkan CT di Jawa Barat,” Bambang menjelaskan.

Setelah Bambang terlibat di CT, dalam sebulan pihaknya mampu membuka empat gerai CT di Jakarta dan yang pertama lokasinya di Mal Kelapa Gading. Pengembangan CT itu dilakukan dengan waralaba. Rata-rata terwaralaba membeli paket Coffee Kiosk. Paket ini banyak diminati lantaran tidak perlu investasi terlalu besar, tapi cepat mencapai break even point (BEP). Target BEP Coffee Kiosk 20 bulan. “Tapi beberapa gerai bisa BEP kurang dari 20 bulan, contohnya cabang di Bina Nusantara, Serpong,” kata Bambang.

Untuk memajukan CT ke depan, Odi dan Bambang menargetkan dalam setahun bisa membuka 25 gerai di seluruh Indonesia. Bagi Bambang, target itu tidak muluk atau terlalu sulit, karena ia sendiri di Jawa Barat rata-rata mampu membuka 16 gerai per tahun. Selain itu, baik Odi maupun Bambang, bertekad akan terus menguasai segmen pasar menengah dalam menawarkan kopi, tanpa harus membuat malu konsumen kalangan atas untuk singgah di kedai CT.

Inggit Gunarsih, termasuk orang yang rajin menyambangi gerai CT. Dalam seminggu, rata-rata ia nongkrong di gerai CT di Dharmahusada Raya empat kali atau sebulan 16 kali. “Saya memang hobi minum kopi dan CT adalah favorit saya, karena harga murah, tapi kualitas tidak kalah dari kafe asing,” ucap mahasiswa Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya itu sembari menyebut harga secangkir kopi di CT Rp 10-14 ribu.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved