Listed Articles

Community Entrepreneur Challenge Gelombang Ke-2 Diluncurkan

Community Entrepreneur Challenge Gelombang Ke-2 Diluncurkan

Kini kesadaran berwirausaha meningkat seiring dengan kenyataan bahwa dengan hal itu tidak hanya meningkatkan pemasukan pribadi, tapi juga berperan dalam pengentasan kemiskinan. Hal itu terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan oleh British Council dan Arthur Guiness Fund pada tanggal 1 Maret 2011 di Jakarta. Kedua lembaga ini meluncurkan Community Entrepreneur Challenge gelombang kedua dengan membawa nilai “Doing Good Business by Doing Good”. Tema itu sebagai bagian dari Guiness Rise Together Campaign.

Pada tahun 2010 gelombang pertama dari program ini telah berhasil mengembangkan enam potensi kewirausahaan berbasis komunitas. Respon dari masyarakat, besar. Hal ini terbukti dari banyaknya pendaftar yang masuk. “Tahun lalu kami menjaring 500 peserta. Kemudian kami ambil 100 peserta, kemudian dikerucutkan menjadi 75 peserta. Sampai akhirnya kami pilih 10 finalis sebelum diambil enam pemenang,” ucap Fajar Anugerah, Manajer Program untuk Skills for Social Entrepreneurs British Council.

Keenam pemenang itu terbagi dalam dua kategori: start up dan semi entrepreneur. “Pemenang kategori start up ini adalah mereka yang memiliki tidak saja hanya ide menarik, tapi juga sudah ada implementasinya,” ujar Ipung Nimpuno, perwakilan dari Arthur Guiness Fund Indonesia. Sedangkan untuk kategori semi entrepeneur dipilih bisnisnya yang sudah berjalan namun omsetnya kurang dari Rp. 800 juta/tahun.

Pada tahun 2010, dibawah bendera Arthur Guiness Fund- British Council- community Entrepreneur Challenge (AGF-BC CEC), Arthur Guiness Fund mengalokasikan dana sebesar Rp 600 juta untuk mengembangkan proyek-proyek bisnis yang membawa manfaat bagi komunitas. Enam pengusaha terpilih untuk menerima bantuan ini.

Selain itu, acara ini ingin menghubungkan para pelaku wirausahawan sosial ini dengan sektor swasta. Dengan jaringan dilebih dari 133 negara, British Council bisa membantu para wirausahawan sosial mendapatkan jaringan internasional. Fajar menyadari bahwa program ini belum sampai menjaring ke akar rumput. Padahal kalau kita perhatikan, justru masyarakat yang berada dalam unit-unit terkecil masyarakat yang sudah memulai kewirausahaan sosial.

Pendapat senada diungkapkan oleh Fred Otieno, perwakilan dari Arthur Guiness Fund Global. “Untuk lebih menjaring sampai kesana, kami bekerjasama dengan mitra-mitra kami didaerah seperti Ashoka, jaringan LSM se-Sulawesi, Asosiasi Kewirausahaan Indonesia (AKSI), bahkan untuk Sumatera Utara kami surprise juga Kadin-nya (Kamar Dagang Indonesia)mendukung upaya kami,”jelasnya.

Tahun lalu, setelah terjaring sampai 75 peserta, mereka mengadakan lokakarya kewirausahaan. “Lokakarya tersebut sudah kami adakan sejak mereka masuk finalis,”jelas Fajar. Lokakarya tersebut menghadirkan beberapa pembicara dalam bidang pemasaran dan manajemen dan keuangan.

“Persoalan yang biasa dihadapi oleh para social entrepreneur adalah enterprisenya,”ucap Fred. Kita patut mensyukuri betapa dengan mudahnya kita saling membantu. Namun biasanya bisnis dimulai secara sporadis, tidak tersistematisasi. Dari sisi manajemen keuangan, juga lemah.

Namun, kita patut mensyukuri hal ini. Di Inggris, yang prosentase kewirausahaan lebih tinggi, justru lebih solid dengan pendanaan. Namun disisi lain sulit untuk menumbuhkan rasa saling membantu tanpa syarat. Tantangan wirausaha sosial ini terutama soal dukungan modal dan koridor hukum. “Di Inggris ada sebuah perusahaan yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat. Masing-masing anggota masyarakat menyumbang uang untuk pembangunan fasilitas umum,”jelasnya.

Awalnya mereka hanya mampu membeli satu lokasi, namun lama-kelamaan mereka bisa membeli tanah-tanah lainnya untuk fasilitas umum. Hal itu dimungkinkan karena terdapat undang-undang yang mengatur bisnis semacam itu.

Skema investasi di Indonesia merupakan salah satu hal utama yang kurang mendukung terbangunnya kewirausahaan sosial. “Tapi kita tidak bisa menyalahkan mereka (pihak perbankan). Itu sudah menjadi tugas mereka,”ucap Fajar tandas. Hanya saja kewirausahaan sosial di negara maju dapat lebih dinamis berputar dengan kehadiran venture capital.

Disana, yang namanya venture capital tidak memberikan bunga. “Mereka meminjamkan uangnya terlebih dahulu. Baru kemudian jika suatu usaha sudah dapat profit, barulah modal dibayarkan beserta perhitungan profit,”jelas Fajar.

Untuk gelombang dua ini, British Council dan Arthur Guiness Fund tidak lagi melakukan road show keberbagai daerah seperti tahun lalu. Fajar menimpali metode itu akan menyedot banyak investasi. “Tapi kami-kan sudah menjaring 500 pelamar. Jadi kami menggunakan mereka sebagai perpanjangan tangan untuk menyampaikan keberadaan program ini,”ungkapnya.

Ada banyak harapan dalam acara ini. Diantarannya kemampuan menjaring 1000 peserta. Diharapkan dengan acara ini semakin banyak lagi pihak yang terinspirasi mendukung terwujudnya wirausaha sosial. “Kami berharap masyarakat kita semakin menyadari bahwa ada “kok” yang mau mendukung mereka,” Fajar menandaskan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved