Listed Articles

Eksekutif di Pintu Surga

Oleh Admin
Eksekutif di Pintu Surga

?Siapa Anda?? tanya malaikat penjaga pintu surga. Seakan-akan tersadar dari lamunannya, eksekutif ini tergagap, ?Sa? sa? saya profesional yang sangat berhasil. Saya pernah menjadi direktur perusahaan multinasional.?

?Aku tidak menanyakan pekerjaanmu, tetapi engkau itu siapa?? kata malaikat. Eksekutif yang makin tegang itu menjawab, ?Saya adalah ayah dari dua anak, dan suami dari seorang istri.? Malaikat berkata, ?Aku tidak menanyakan engkau ayahnya siapa, atau suaminya siapa. Yang aku tanyakan, engkau itu siapa??

Ia menyebutkan agamanya. Namun, malaikat menukas, ?Aku tidak menanyakan agamamu, tetapi engkau itu siapa?? Tambah bingung, ia menjawab, ?Saya ini orang yang taat beribadah. Saya juga selalu membantu fakir miskin dan anak-anak telantar.? ?Aku tidak menanyakan perbuatanmu, tetapi siapakah engkau,? malaikat menegaskan.

Wajah si eksekutif pucat pasi. Ia tahu, kegagalannya menjawab pertanyaan akan membuatnya ditolak masuk surga. Padahal, selama hidupnya ia tak pernah memikirkan hal ini. Ia baru sadar bahwa satu-satunya pertanyaan terpenting dalam hidup adalah, ?Siapakah sebenarnya Anda??

Menjawab pertanyaan ini sebenarnya telah dianjurkan Socrates berabad-abad yang lalu. Di pintu gerbang menuju sekolahnya di Athena, ia menuliskan pesan singkat, ?Kenalilah dirimu.? Seakan-akan mengamini Socrates, Nabi Muhammad Saw. melanjutkan dengan mengatakan, ?Siapa yang mengenal dirinya pasti akan mengenal Tuhannya.?

Mengenali diri sendiri adalah pertanyaan sekaligus misteri terbesar di dunia. Seorang bijak pernah mengatakan, ?Orang yang mengenal seisi alam semesta tapi tidak mengenal dirinya sendiri berarti ia belum tahu apa-apa.? Karena itu, semua yang kita lakukan dalam hidup ini mestinya bisa membuat kita lebih dekat dan lebih mengenal diri kita sendiri.

Mengenali diri berarti memulai perjalanan masuk ke dalam diri Anda. Seperti yang pernah dikatakan Dag Hammersjold, itu adalah perjalanan yang panjang dan sangat melelahkan. Maka, tak banyak orang yang mau melakukan. Kebanyakan kita lebih tertarik melakukan perjalanan ke luar, sebab relatif lebih mudah dan lebih dapat terlihat hasilnya. Perjalanan ke luar adalah perjalanan kita untuk ?memiliki?, sementara perjalanan ke dalam adalah perjalanan untuk ?menjadi?.

Masalahnya, apa yang kita miliki tak akan pernah kekal, dan bisa hilang begitu saja. Orang bijak mengatakan, ?Kita bukanlah apa yang kita miliki.? Sebab itu, cara paling baik mencermati hidup adalah membuat pemisahan yang sejauh-jauhnya antara kita dan apa yang kita miliki. Kita adalah kita. Kita adalah diri kita yang sejati.

Kita tidaklah identik dengan harta ataupun peran-peran kita. Saya hanya menjadi seorang ayah ketika saya memiliki anak, menjadi anak ketika memiliki orang tua, dan menjadi eksekutif ketika mempunyai pekerjaan. Lantas, bagaimana kalau semua milik saya itu hilang? Apakah itu berarti saya kehilangan diri saya yang sejati?

Eric Fromm merumuskan hal tersebut dalam bahasa yang amat sederhana, ?Kalau Anda adalah apa yang Anda miliki, siapakah Anda bila Anda tidak memiliki apa-apa?? Kita adalah diri sejati kita. Diri sejati inilah yang tak akan pernah hilang. Orang yang bijaksana sangat memahami hal itu. Mereka senantiasa melihat bahwa segala sesuatu yang ada di luar pada hakikatnya bukanlah milik mereka. Mereka hanya dititipi, diberi pinjaman sampai jangka waktu tertentu. Paradigma ini membuat mereka mengambil jarak antara diri mereka dan apa yang mereka miliki.

Dalam pekerjaan, paradigma seperti itu melahirkan employability. Konsep yang jauh berbeda dari employment. Employability mengandalkan diri Anda sendiri. Anda bergantung pada diri Anda bukan pada siapa pun, sedangkan konsep employment berarti mengandalkan kemampuan perusahaan mempekerjakan kita. Padahal, situasi di luar terus berubah dan tak selalu menguntungkan. Apa jadinya kalau kita menggantungkan nasib kita pada sesuatu yang selalu berubah?

Orang yang senantiasa menggantungkan diri pada sesuatu yang ada di luar amat rentan terhadap perubahan apa pun. Maka, tidak heranlah, saat menghadapi PHK, misalnya, banyak orang yang stres. Antara diri mereka dan pekerjaan tak dapat lagi dipisahkan, seolah-olah tak ada jarak sama sekali.

Contoh mutakhir adalah kasus Garuda. Jangan salah, ini bukan kasus PHK. Garuda cuma mengalihkan sejumlah karyawan di anak perusahaannya, Garuda Maintenance Facilities, menjadi karyawan GMF Aero Asia. Tujuannya, agar Garuda bisa fokus ke bisnis intinya, yaitu jasa transportasi penerbangan. Yang menarik, walaupun Garuda sudah menjamin bahwa gaji, tunjangan dan fasilitas yang diterima karyawan minimal sama dengan sebelumnya, karyawan tetap berkeberatan dengan program spin-off ini. Alasannya, mereka tak ingin berpisah dengan Garuda apa pun yang terjadi. Romantisme ini bisa terjadi karena mereka tak dapat lagi membedakan, yang mana diri mereka, yang mana Garuda. Kehilangan nama Garuda bagi mereka berarti kehilangan segalanya.

Membangun sesuatu ke luar tentu saja perlu dilakukan. Namun, janganlah kita menggantungkan diri di sana. Menggantungkan diri haruslah ke dalam, jauh ke dalam jiwa kita yang sejati. Perjalanan ke dalam memang tidak mudah, tetapi sekali melakukannya, Anda merasakan keteguhan dan kedamaian sejati. Berjalanlah terus ke dalam, maka Anda terlepas dari rasa takut dan semakin merdeka. Di dalam sanalah kita menemukan tempat bergantung yang sejati, yaitu Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved