Listed Articles

Frost & Sullivan: Mobile Broadband Berpotensi Meningkatkan PDB Indonesia 1,68 % Tahun 2015.

Frost & Sullivan: Mobile Broadband Berpotensi Meningkatkan PDB Indonesia 1,68 % Tahun 2015.

Indonesia merupakan negara yang berkembang pesat dengan masyarakat yang mempunyai pengetahuan yang baik untuk industri mobile. Menurut analisa Frost & Sullivan, dengan turunnya harga ponsel dan meningkatnya jumlah pengembang aplikasi, mobile broadband akan menjadi model yang dominan untuk akses broadband di pasar negara berkembang.

Broadband nirkabel dan sektor industri Indonesia yang terkait diprediksi memiliki potensi untuk menghasilkan US$ 9,01 miliar atau sekitar 1,68% PDB Indonesia pada tahun 2015. Prediksi ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2009 dimana negara-negara berkembang yang meningkatkan penetrasi broadband sebesar 10% akan mempengaruhi PDB negara tersebut sebesar 1,21%

Saat ini, konektivitas broadband dipandang sebagai pendorong pertumbuhan sosial dan ekonomi. Studi ekonometrik terbaru menemukan bahwa tingkat penetrasi broadband dapat berdampak langsung pertumbuhan ekonomi dan produktivitas suatu negara, dimana peningkatan penetrasi broadband sebesar 1% dapat berpengaruh pada tingkat produktivitas sebesar 0,1%.

Dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia, pemanfaatan potensi Mobile Broadband secara optimal menjadi hal yang penting. Dari segi ekonomi, Mobile Broadband memiliki potensi untuk meningkatkan PDB Indonesia sebesar 1,68 % tahun 2015.

Sementara itu, dari segi sosial, Mobile Brodband dapat membantu mencapai target yang telah dicanangkan oleh pemerintah dan millenium development goals seperti program pemberantasan buta huruf, akses terhadap sarana kesehatan dan finansial yang akan membawa ke arah pertumbuhan yang berkesinambungan dan merata.

“Indonesia merupakan pasar nirkabel terbesar ketiga di Asia, setelah Cina dan India dalam hal jumlah pelanggan mobile. Pada pengujung tahun 2010, Frost & Sullivan memperkirakan Indonesia memiliki 194,4 juta pelanggan nirkabel, yang mencerminkan tingkat penetrasi telah mencapai 80.9% jika dibandingkan dengan jumlah pelanggan yang baru mencapai 103.6 juta dan tingkat penetrasi sebesar 44.2% pada akhir tahun 2007,” ungkap Jayesh Easwaramony, Vice President, ICT Practice Frost & Sullivan Asia Pacific, pada diskusi panel bertajuk Indonesia International Communication Expo & Conference di Jakarta.

Menurut Jayesh, Indonesia menduduki peringkat kedua terendah dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik dalam hal penetrasi wireline broadband, yang hanya mencapai 2,3% dari total populasi yang ada pada tahun 2010, namun penetrasi wireline broadband diperkirakan akan mencapai sekitar 23% pada 2015.

“Penetrasi wireline broadband diperkirakan akan tumbuh seiring dengan semakin matangnya layanan 3G yang mulai diperkenalkan pada tahun 2006. Penetapan harga layanan 3G yang kompetitif, sebagai akibat dari perang tarif and promosi Smartphone belakangan ini, diharapkan akan mendorong tingginya pertumbuhan tersebut,” papar Jayesh.

Ke depan, pendapatan dari data diperkirakan akan mengalami peningkatan dari kontribusi total pendapatan layanan nirkabel. Jumlah total pendapatan data pada tahun 2010 mencerminkan total pendapatan nirkabel sebesar 33%. Kontribusi tersebut diperkirakan akan mencapai sekitar 54% pada tahun 2015. Dalam hal ini, pendapatan yang berasal dari non-messaging yakni konten, browsing, dan pendapatan data lainnya akan memberikan kontribusi sebesar 15% dari pendapatan data dan diprediksi akan meningkat dua kali lipat hingga mencapai 30% pada tahun 2015.

Eugene van de Weerd, Country Director Frost & Sullivan Indonesia menambahkan bahwa tantangan dari telco operator dalam hal pelayanan data adalah menemukan optimum bisnis model dalam memasarkan layanan data bersama dengan layanan tradisional (voice & SMS).

“Di satu sisi penambahan CAPEX untuk pengembangan infrastruktur data cukup tinggi dan di sisi lainnya penambahan pendapatan (incremental revenue) dari layanan data ini masih kecil. Hal ini, secara umum, disebabkan oleh model bisnis data yang secara umum masih free artinya kita menawarkan aplikasi/ konten secara gratis untuk kemudian pelanggan hanya membayar jika perlu penambahan fitur dan konten lainnya. Dari sisi tarif, pasar Indonesia juga cukup sensitif terhadap harga seperti sudah ditunjukkan di layanan voice & SMS,” papar Eugene. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di negara-negara lain dimana layanan voice dan SMS masih menjadi pendapatan dengan proporsi terbesar dari total revenue.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved