Listed Articles

Grup Ismaya di Tangan Tiga Sekawan

Oleh Admin
Grup Ismaya di Tangan Tiga Sekawan

Ada suasana berbeda saat menyambangi restoran milik Grup Ismaya. Rata-rata resto yang dikelola Bram Hendrata, Christian Rijanto dan Brian Sutanto ini tak hanya menyuguhkan makanan yang lezat, tapi juga menampilkan konsep gaya hidup yang unik dan berani. Tak mengherankan, resto milik tiga sekawan ini sering mendapat penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri, mulai dari resto terbaik hingga desain terbaik dalam industri food and beverage (F & B)

Tengok saja Dragonfly di Graha BIP, Jakarta. Resto yang mengusung konsep Asia modern (modern Asian cuisine & cocktails) ini didesain berbeda dari resto yang pernah ada di sini. Menempati bangunan memanjang berukuran 12×48 m2, Dragonfly menyuguhkan desain interior yang dramatis dengan dekorasi berwana merah mencolok. Yang menarik, di dalam resto yang membidik pelanggan kelas atas ini, ada meja-meja panjang tempat para tamu menikmati makanan Indochina, seperti Thailand, Laos dan Kamboja.

Bahkan, ada meja panjang berukuran 13 meter yang bisa ditempati 26 tamu. Mereka yang belum terbiasa duduk dengan meja yang panjang ini akan merasa kurang nyaman. Pasalnya, bisa saja dalam satu meja para tamu tidak saling mengenal. Namun, di sinilah keunikannya karena ada pengalaman tersendiri saat menyambangi Dragonfly yang berdiri sejak 2005.

Bram Hendrata mengatakan, pihaknya tak ingin membuat kafe sekadar deretan meja dan bangku. Namun, ia menginginkan, tamu yang datang ke restonya memperoleh kesan tersendiri sehingga tak akan pernah lupa. “Wah, gila ya mejanya. Berani sekali Ismaya Group,” ujar Direktur Pengelola Isamaya ini sambil menegaskan, kafenya tak hanya sekadar menjual makanan, tapi juga gaya hidup.

Saat awal mendirikan kafe, Bram menjelaskan, tak seorang pun dari tiga sekawan yang berlatar belakang bisnis F & B. Sebelumnya, ketiga orang itu lebih banyak berkarier di bidang keuangan dan investasi. Yang menyatukan mereka adalah hobi makan. “Kami hanya terinspirasi berbagai resto yang pernah kami kunjungi di luar negeri dan ingin kami bawa ke Indonesia dengan konsep sendiri,” kata lelaki yang pernah tinggal di Hong Kong, Australia dan Amerika Serikat ini.

Maka, saat akan menghadirkan Blowfish Kitchen & Bar, resto pertama Ismaya yang didirikan pada 2002, Bram harus rela belajar terlebih dulu dengan cara bekerja di resto milik temannya di AS. “Saya banyak belajar di resto teman saya itu,” ia menceritakan. Dari perencanaan sampai pembukaan resto pertamanya perlu waktu 7 bulan. Memang, tak mudah mendirikan kafe ini karena banyak kesulitan yang dihadapi. Namun, menurut Bram, kalau tak ada kesulitan, tidak akan pernah belajar. “Awalnya kami tidak menyangka, bisnis F & B ini begitu sulit. Tapi dalam perkembanganya, kami bisa mengatasinya,” ujar suami Helen ini.

Kafe yang dibangunnya itu menyatukan konsep resto dan klub. Hanya saja, yang jadi tantangan adalah sudah banyak resto dan klub di negeri ini, tapi tingkat kesuksesannya rendah. Maka, perlu ada nilai tambah yang disuguhkan kafe-kafenya. Di samping makanan yang khas, desainnya juga harus menarik dan belum pernah ada di sini.

Kelahiran Singapura, 17 Mei 1976, ini merasakan, resto-resto di sini terlalu formal. Dan kalau mau makan enak, harus pergi ke resto di hotel. “Di luar negeri, konsep seperti itu tidak jalan karena di sana resto hanya pelengkap hotel. Karena itu, chef-chef ternama tak mau kerja di resto di hotel-hotel,” tuturnya. Dan kalau dilihat, resto Jepang yang ada di Indonesa adalah resto Jepang tradisional. Itu sebabnya, Ismaya mendirikan Blowfish yang menawarkan konsep baru, yaitu resto Jepang modern yang membidik pelanggan kelas atas.

Kafe ketiga yang didirikan Ismaya adalah Sushigroove pada 2005. Berbeda dari dua resto di atas yang membidik pasar eksklusif, Sushigroove merupakan resto untuk mass market, sehingga gerainya cukup banyak. “Lahirnya Sushigroove diambil dari konsep Blowfish,” Bram menerangkan. Resto keempatnya, Puro Ristorante & Bar yang merupakan resto Italia (traditional Italian cooking), juga menyasar pelanggan papan atas. Puro berada di Wisma Mulia Jakarat, bersebelahan dengan Blowfish.

Masing-masing resto dikelola perusahaan yang berbeda, tetapi Bram keberatan menyebutkan nama masing-masing, juga total investasinya. Hanya saja, ia mengakui, sebenarnya investasi untuk membangun keempat restonya itu tidak hanya dari tiga sekawan, tapi juga dari investor lain yang ia sebut sebagai silent investor. Namun, ketiga sekawan ini adalah investor mayoritas dan terjun langsung mengelola kafe-kafenya. Mereka juga menjabat direktur Ismaya. Direktur Pengelola dipegang Bram, yang menangani bidang operasional dan pengembangan bisnis, sedangkan Christian Rijanto sebagai Direktur Pemasaran dan Brian Sutanto sebagai Direktur Keuangan. Selain di Ismaya, ketiganya juga punya bisnis sendiri-sendiri.

Saat ditanya bagaimana perkembangan bisnisnya, lulusan Universitas Berkeley, San Francisco, ini mengatakan, khusus untuk tiga restonya — Dragonfly, Blowfish dan Puro — Ismaya tidak akan membangun banyak gerai. Bahkan kalau perlu, hanya satu — kecuali Blowfish, selain di Jakarta, sudah berdiri pula di Surabaya.

Sushigroove berbeda. Resto ini justru akan diperbanyak gerainya. Bahkan, satu kota bisa didirikan 4-5 gerai. Seperti sekarang, Ismaya memiliki 6 gerai resto Jepang ini, yaitu empat di Jakarta (Setiabudi, Mal Pondok Indah 2, Mal Taman Anggrek, Urban Kicthen Senayan City), satu di Bandung, dan satu di Malaysia. “Tahun ini kami akan punya tiga outlet Sushigroove di Malaysia dan satu di Singapura. Dan tahun depan di Malaysia akan lebih banyak lagi,” kata Bram optimistis.

Seorang pelanggan Sushigroove, Andi, menceritakan bahwa resto ini tergolong unik dibanding resto-resto Jepang yang pernah ia sambangi. Sebagai contoh, desain interiornya sangat mencolok dan menarik. Makanannya pun khas. “Kalau soal harga, relatif ya,” ujarnya sambil mengatakan, ia tahu resto ini dari teman-temannya.

Memang diakui Bram, dalam menggarap pasar, Ismaya lebih banyak mengandalkan strategi dari mulut ke mulut (word of mouth), terutama untuk tiga restonya yang membidik kelas atas dan ekspatriat. Kendati demikan, beriklan di berbagai media kerap dilakukan. Selain itu, juga pernah bekerja sama dengan pelbagai perusahaan lain, seperti Citibank, GE Card dan American Express. “Pertumbuhan bisnis kami di atas 10% per tahun,” ungkapnya tanpa mau menyebut omset.

Yang paling membanggakan Bram, resto-restonya langganan menyabet penghargaan dan sering diliput media internasional. Ia mencontohkan, Blowfish dan Dragonfly pernah dimuat di Wallpaper Magazine, salah satu majalah desain dunia, karena kedua restonya itu masuk Top Ten the Best Design in Asia. Ia mengklaim, kedua restonya itu sudah dikenal dan banyak pelanggannya yang datang dari luar negeri. Sementara penghargaan sebagai the best restaurant, the best cocktail atau the best design sudah sering Ismaya dapatkan untuk resto-resto lain. Satu lagi, saat ini telah banyak yang minta menjadi franchisee resto-resto Ismaya. Hanya saja, para pengelola grup ini masih mempertimbangkannya.

Sonny Sutanto, perancang Dragonfly, Blowfish dan Puro, mengatakan, awalnya ia menyangka Ismaya adalah grup usaha dari luar negeri, ternyata dikelola orang-orang lokal. Hanya saja, para pengelolanya pernah tinggal lama di luar negeri. Menurut Sony, selain soal makanan yang dikedepankan, Ismaya pun sangat mengandalkan desain sebagai elemen penting dalam bisnis restonya. “Grup Ismaya tak hanya menjual makanan, tapi juga suasana dengan desain menarik, dan ingin menjadi pionir dalam hal resto,” ujar Bram yang juga dosen di Universitas Indonesia.

Yang menarik, semua konsep yang dihadirkan merupakan hasil pemikiran para pengelolanya, meski banyak melakukan benchmark ke luar negeri. Sony bersama biro desain A2J menerjemahkan keinginan para pemiliknya dalam desain interior di tiga kafe Ismaya. Diakui Sonny, tak gampang membuat desain resto Ismaya karena banyak hal baru yang harus ia rancang. Sementara material yang dipakai kebanyakan lokal, hanya 10% yang diimpor. “Untuk mendesain tiga resto itu, butuh investasi tak sedikit, mencapai miliran,” ungkapnya tanpa mau menyebutkan angka persisnya.

Sementara Yorris Sebastian, pengamat industri F & B, menilai, Ismaya tergolong jeli membidik pasar dengan menghadirkan resto yang berbeda. Kafe-kafe milik Ismaya menawarkan desain dan atmosfer kota-kota dunia terutama New York dan London, kendati apa yang disajikan Ismaya bukan sesuatu yang baru. Soalnya, kafe lain banyak yang telah menawarkan atmosfer serupa, misalnya Embassy milik Reza Budisurya.

Diakui Yorris, Ismaya merupakan salah satu pemain kuat di industri F & B, terutama di Jakarta. Dalam industri F & B, dikatakannya, ada empat pemain utama: Ismaya, Grup Embassy, X2, dan Grup Hotel Tugu milik keluarga Anhar yang dikelola Annete Anhar alias Melati Tanjungsari. Menurutnya, Ismaya, Embassy dan X2 menawarkan desain dan atmosfer yang sama, yaitu kafe F & B plus dunia malam. Sementara, kafe milik Grup Hotel Tugu menawarkan atmosfer tempo dulu, yaitu sejarah kerajaan di Indonesia. Hebatnya, resto dan kafe ini berani tampil beda dari grup lain karena menawarkan makanan khas Indonesia dan peranakan yang dikemas secara modern.

Bicara soal investasi, Yorris memperkirakan, “Embassy dan Ismaya bisa dibilang investasinya moderat, sekitar Rp 2 miliar atau lebih, tetapi kalo Grup X2 paling besar investasinya,” katanya. Berkaitan dengan investasi, seharusnya maksimal dalam waktu dua tahun sudah harus balik modal (payback period).

Yorris memprediksi Ismaya masih akan berkembang asalkan mereka mau belajar dari pengalaman agar resto-restonya berkelanjutan. Alasannya, di industri F & B, persaingannya ketat. Dan, entry barrier bagi pemain baru di bisnis ini gampang-gampang susah. “Salah urus kafe, ya bisa rugi,” ia menyimpulkan. Tren bisnis kafe ke depan, menurutnya, menuju ke superblock café seperti Singapura. Artinya, dalam satu area terdapat beberapa kafe dalam satu grup. Maksudnya, tak lain agar isi kantong pengunjung tidak lari ke mana-mana.

Riset: Siti Sumariyati

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved