Listed Articles

John Pepin: Social Entrepreneurs Mampu Atasi Berbagai Masalah Sosial

Oleh Admin
John Pepin: Social Entrepreneurs Mampu Atasi Berbagai Masalah Sosial

Atas undangan British Council Indonesia, Tutut Handayani dan Wisnu Tri Raharjo dari SWA berkesempatan mewawancarai John Pepin, pakar social enterprises dari Inggris, yang lebih dari 15 tahun memimpin berbagai perusahaan amal dan sosial di seluruh dunia, dan berhasil menjadikan perusahaan-perusahaan itu tumbuh berkembang dan dikelola selaiknya perusahaan yang berorientasi komersial. Contohnya, dia berhasil membuat revenue sebuah perusahaan amal di Inggris naik hingga 640% dalam waktu 10 tahun. Kemudian, dia berhasil menjadikan sebuah perusahaan amal di Inggris memiliki 66 cabang dengan 4 ribu karyawan tetap dan relawan serta 3.500 instruktur. Berikut ini petikan wawancara tersebut:

//Apa yang dimaksud dengan social enterprises atau community enterprises itu?// Sebenarnya, pengertian social enterprises itu hampir mirip small medium enterprises (SME). Keduanya punya tujuan komersial dan punya target break even point, meskipun belum tentu bisa meraih profit besar selaiknya perusahaan korporasi. Perbedaan antara SME dan social enterprises ada pada how to maximize profit. Social enterprises mencari keseimbangan antara profit dan tujuan sosial itu sendiri. Social enterprises tidak memiliki jajaran pemegang saham yang harus dibayarkan dividennya. Seluruh profit yang dihasilkan perusahaan sosial ini digunakan untuk pendanaan operasional usaha yang bertujuan menolong masyarakat yang membutuhkan atau mengatasi berbagai persoalan sosial di masyarakat, seperti lingkungan hidup, kemiskinan dan pengangguran. Sederhananya, apa pun yang dilakukan dan dihasilkan social entrepreneurs harus berdampak signifikan pada peningkatan pembangunan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan (society social development).

//Bukankan sekarang konsep corporate social responsibility (CSR) juga berkembang dan berbagai perusahaan besar berlomba menerapkannya agar terlihat baik di mata publik? Apa beda antara social enterprises dan berbagai kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan besar itu?//

Kadang CSR dilakukan hanya karena harus memenuhi regulasi pemerintah, bahwa sekian persen dari keuntungan harus dikembalikan ke masyarakat. Menyalurkan dana yang sekian persen itu lebih terkesan paksaan, belum menjadi bagian dari nilai perusahaan sejak awal bisnis itu dibangun. Seharusnya para pelaku bisnis itu menyadari sepenuhnya bahwa stakeholders sama pentingnya dengan shareholders. Kepedulian pada permasalahan sosial itu seharusnya juga ter-set up dari awal, bahkan menjadi salah satu nilai dan tujuan perusahaan. Dengan kata lain, CSR yang dilakukan korporasi cenderung hanya menjadi alat untuk mendapatkan profit yang maksimal yang akan kembali ke pemegang saham.

//Sepertinya, social entrepreneurs terdiri atas orang-orang yang idealismenya tinggi dan cenderung ingin mengubah wajah dunia menjadi lebih baik?// Ya! Mereka adalah orang-orang yang punya idealisme tinggi agar lingkungan masyarakat sekitarnya menjadi lebih baik dan sejahtera. Bagi mereka, keuntungan bukan hal utama, tapi tetap dicari karena untuk membiayai kegiatan sosial mereka. Pengusaha sejenis ini believe in social returns lebih penting daripada financial returns. Mereka adalah orang-orang yang tidak fokus pada pencarian keuntungan yang besar. Akan tetapi, biarpun idealis, mereka punya kemampuan manajemen bisnis dan karakter entrepreneur selaiknya para pebisnis as usual. Dengan karakter dan entrepreneur skill yang dimilikinya, seperti high adaptability, long term visionary, tough, creative, risk taker, solution focus, good leaders and managerial, team work dan persistence, mereka mampu menjadikan perusahaannya besar dan terkelola seperti perusahaan korporasi.

//Mengapa pemerintah patut mendukung penuh para pelaku usaha sosial atau komunitas ini?// Karena, usaha berbasis komunitas dan misi sosial ini sangat mampu menjawab berbagai persoalan sosial di masyarakat. Di Inggris saja, wirausaha berbasis komunitas dan misi sosial menyumbang hingga US$ 50 miliar dan sanggup menyerap tenaga kerja hingga 1,2 juta orang dalam setahun. Umumnya, para wirausaha tersebut bergerak dalam sektor industri kreatif dengan karakteristik individu yang kuat, misalnya dalam hal idealisme. Wirausaha yang bergerak dalam sektor industri kreatif itu umumnya membentuk komunitas (community entrepreneurs). Mereka menjadi wirausaha bukan karena tuntutan hidup, melainkan karena pilihan profesi. Mereka mengatasi persoalan sosial melalui kreativitas dan inovasi bisnis. Dan, saya mendengar di Indonesia sekarang ada sekitar 20 juta orang berusia 14-34 tahun yang tidak memiliki pekerjaan. Jumlah itu sama dengan lima kali seluruh penduduk Singapura. Community atau social entrepreneurs adalah jawaban untuk semua ini.

//Menurut Anda, dukungan seperti apakah yang seharusnya diberikan pemerintah?// Seperti yang sudah dilakukan Pemerintah Inggris, yakni aktif mendukung berbagai usaha berbasis komunitas bermisi sosial dan kreatif. Misalnya, memberikan keringanan pajak. Lalu, Pemerintah Inggris memiliki badan khusus yang membantu pendanaan/permodalan dan bimbingan serta pelatihan manajemen bagi para pelaku usaha komunitas/sosial tersebut. Kemudian, kepastian hukum usaha bagi pelaku usaha komunitas itu diciptakan agar para pelakunya mendapatkan perlindungan dan jaminan hukum serta kemudahan berhubungan dengan pihak lain, seperti jika ingin mengajukan pinjaman ke perbankan. Idealisme dan kreativitas adalah basis social entrepreneurs. Kami senang berbagi pengalaman tentang hal ini dengan Indonesia. Apalagi di Indonesia banyak anak muda berbakat di bidang sosial, lingkungan hidup dan industri kreatif yang mampu menyumbang hingga US$ 25 miliar kepada ekonomi negeri ini.

Tutut Handayani


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved