Listed Articles

Kebahagiaan Berhenti Memonopoli

Oleh Admin
Kebahagiaan Berhenti Memonopoli

Terlalu naif dan sombong kalau jalannya sang waktu seperti ini kemudian diberi judul salah dan keliru. Naif karena tidak ada satu pun manusia dengan seluruh kekuatannya bisa membelokkan perjalanan peradaban ke tempat berbeda. Sombong karena mau cuci tangan dengan perjalanan peradaban demikian. Padahal, tidak satu pun manusia yang tidak bertanggung jawab atas hal ini. Lalu, kalau bukan salah dan keliru, apakah judulnya benar dan tepat?

Inilah perkaranya kalau berwacana dengan logika dan kata-kata. Di setiap pojokan tersedia negasi, dikotomi, dualitas dan pertentangan. Kalau salah tidak dipilih, benarlah yang muncul sebagai pemenang. Bila jelek ditolak, pasti bagus pilihan satu-satunya yang tersedia. Akibatnya, setiap upaya menemukan kejernihan kehidupan ditandai oleh pemilihan, pertentangan, pertengkaran, penyerangan, perlindungan. Dan mudah ditebak, hasilnya bukannya bertambah jernih.

Ada sebuah pojokan kehidupan Nasrudin yang layak direnungkan. Suatu hari, Nasrudin menemani gurunya melakukan pengobatan di rumah pasien. Setelah gurunya memeriksa badan pasien secara cermat, ia mengatakan: Anda terlalu banyak minum jeruk! Pasien tidak bisa mengelak. Ia heran dengan tebakan gurunya yang jitu itu. Sementara itu, di jalan, Nasrudin menanyakan rahasia sang guru. Dengan enteng, guru Nasrudin menjawab: di bawah tempat tidurnya ada banyak kulit jeruk.

Di kesempatan lain, ketika gurunya sedang pergi, Nasrudin memberanikan diri mewakili memeriksa pasien. Meniru trik gurunya, ketika memeriksa pasien ia pun melirik apa yang ada di bawah tempat tidur. Dengan enteng ia menasihati si pasien: Anda terlalu banyak makan pelana kuda! Tentu saja si pasien kaget, marah dan dongkol..

Itu hanya sekelumit cerita bagaimana negasi, dikotomi dan dualitas demikian berbahaya. Bila ilmunya diperoleh dari guru yang dikagumi, kepala sibuk meniru dan melindungi. Tatkala argumennya datang dari orang yang tidak meyakinkan, maka kepala sibuk tidak setuju dan menyerang. Ada yang hilang: awareness. Kesadaran yang dibuat hilang oleh kebiasaan meniru, menyerang atau menghakimi. Ujung-ujungnya mudah ditebak, ada manusia yang terasing dalam tubuhnya. Tidak pernah betah tinggal di rumah kehidupannya. Sebagian tidur di atas bantal dan kasur uang, tetapi tetap menyebut diri tidak betah. Setiap perjalanan seperti tidak memiliki arah, tidak berujung, dan tanpa petunjuk jalan. Maka, bingung menjadi satu-satunya teman setia.

Ada memang manusia yang mengklaim bahagia di tengah situasi seperti ini. Boleh-boleh saja. Agak berbeda dari jenis manusia terakhir, yakni pejalan kaki yang berjalan dengan bimbingan inner awareness di mana-mana bertemu petunjuk jalan. Di mana ada pertanyaan, di situ ada jawaban. Di mana ada masalah, di sana ada jalan keluar. Dalam bahasa seorang guru : when a student ready, a teacher appear. Tidak ada pencarian dan peniruan, tidak ada yang perlu dilindungi dan diserang. Yang ada hanya kepala merunduk sambil berjalan penuh keyakinan: semua sudah, sedang dan akan berjalan sempurna.

Bahkan, kebahagiaan pun sudah kehilangan monopolinya. Bukan karena mau sombong, tapi dalam perjalanan yang dibimbing inner awareness semua memiliki guna dan fungsinya di waktu masing-masing. Kesuksesan datang untuk memberi motivasi, inspirasi dan gairah kehidupan. Kegagalan juga datang lengkap dengan hadiahnya, memberi pelajaran tentang bagian dari diri kita yang perlu diperbaiki. Ia membimbing manusia untuk senantiasa merunduk dan rendah hati.

Indahnya, ketika ?minuman? kehidupan yang masuk ke dalam hati sudah memasukkan campuran kebahagiaan-kesedihan, sukses-gagal, suka-duka, naik-turun secara sama kayanya, semuanya berwajah sama cantik dan seksi. Kebahagiaan cantik dan seksi. Penderitaan pun begitu. Sukses itu atraktif. Gagal juga atraktif. Dalam lapisan kehidupan seperti ini, di mana-mana tersedia senyuman. Jangankan sahabat baik, musuh yang paling berbahaya pun terlihat tersenyum. Bukankah musuh hanya guru yang bertopeng?

Salah seorang manusia mengagumkan yang pernah sampai di sini bernama Jalaluddin Rumi. Sebagaimana disarikan oleh Wayne W. Dyer dalam Wisdom of The Ages : Grief is a blessing. It is not sorrowful at all, but instead it is an opportunity to drink the sweet nectar that is available in the dark moments of our lives. Mengagumkan. Kesedihan yang paling dalam pun sebenarnya membawa berkah. Tidak menorehkan luka, tetapi membukakan kesempatan untuk meminum air suci kehidupan dalam kegelapan. Di kedalaman hidup seperti ini, tidak ada pasar kehidupan yang dimonopoli kebahagiaan. Yang ada hanyalah rasa syukur dalam mengayunkan setiap langkah. Adakah yang logam kehidupannya ditarik oleh magnet kehidupan ala Rumi?

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved