Listed Articles

Kejar Untung Lewat Saham Papan Pengembangan

Oleh Admin
Kejar Untung Lewat Saham Papan Pengembangan

“Kalau semua lelaki hanya mengejar gadis cantik dan kaya, kasihan dong gadis yang kondisinya pas-pasan,? ujar Sungadi, Direktur Pengelola Dana dari Dana Pensiun Jasa Marga berseloroh. ?Begitu pula saham. Jika seluruh investor memburu saham blue chips saja, saham papan pengembangan bisa tidur,” tambah Sungadi, yang mengibaratkan gadis kurang beruntung itu sama nasibnya dengan kondisi saham lapis kedua (second liner).

Bukan soal kasihan-mengasihani, tapi ini soal potensi. Ibarat seorang gadis, walaupun tak memiliki sensualitas secara fisik, mungkin saja ia punya potensi yang lebih bernilai tinggi semisal inner beauty dan kepribadian. Begitu pula saham papan pengembangan (development board), kalau kita jeli mencermati, potensi keuntungannya bisa tak kalah dari saham papan utama (main board).

Sebagai wakil investor institusi lebih dari 7 tahun silam, Sungadi cukup berpengalaman. Ia malah melihat, belakangan peran saham papan pengembangan cukup aktif menggerakkan bursa. Apalagi setelah krisis, banyak investor menubruk saham lapis kedua lantaran kantongnya mulai cekak. Data BEJ yang diolah kembali oleh tim riset SWA, memperkuatnya.

Tengoklah tahun 2002. Total perdagangan saham papan pengembangan mencatat volume transaksi 138,8 miliar lembar, dengan nilai Rp 41,62 triliun dan frekuensi lebih dari 2 juta kali. Di tahun yang sama, coba kita bandingkan dengan saham papan utama yang mencatat volume transaksi 32,4 miliar lembar, dengan nilai Rp 79,15 triliun dan frekuensi 1,1 juta kali (lihat Tabel). Artinya, saham di lapis kedua lebih aktif diperdagangkan ketimbang saham papan utama. Memang, dilihat dari total nilai transaksinya, saham papan utama jauh lebih besar. Ini wajar, lantaran harga saham lapis atas itu relatif tinggi. Masih berdasarkan data olahan tadi, terlihat sektor yang cukup ramai ditransaksikan di saham papan pengembangan, yakni: keuangan, perdagangan jasa dan investasi, consumer goods, serta kimia dan industri dasarnya.

Arwani Pranadjaya, analis dari Mandiri Sekuritas menilai, larinya investor ke saham papan pengembangan terkait dengan hengkangnya investor asing yang sebelum krisis menyesaki bursa dengan memborong saham blue chips. Tak pelak, akibat krisis, harga saham papan utama relatif tak terjangkau investor lokal. Satu-satunya pilihan adalah saham papan pengembangan yang harganya lebih murah. “Boleh dikatakan yang menghidupi bursa saat ini malah saham papan pengembangan,” ujar Arwani.

Masih akibat krisis, cukup banyak saham papan utama yang terlempar ke papan pengembangan lantaran kinerjanya anjlok. Edwin Sinaga, Manajer Senior Penjualan Ritel Kuo Kapital Securities, menambahkan, biasanya saham yang masuk papan pengembangan disebabkan emitennya selama tiga tahun berturut-turut merugi. ?Daripada di-delist, saham itu dikandangkan dulu di kelompok papan pengembangan,” ujarnya. Toh, saham penghuni papan pengembangan bukan cuma itu. Dulu ada ketentuan BEJ bahwa perusahaan yang tiga tahun belum mencetak untung, tapi ngebet ingin masuk bursa, tetap diberi kesempatan listing di kategori saham papan pengembangan.

Nah, tentu saja, tidak semua saham papan pengembangan layak dimasukkan dalam portofolio. Bagaimana memilah dan memilihnya? Selama ini, Sungadi berpegang pada beberapa tolok ukur yang wajib dipelototi, yakni: price earning ratio (PER), debt to equity ratio (DER), price book value (PBV), tingkat likuiditas, serta fundamental keuangannya. Dengan mencermati ukuran itu, ia memilih menggenggam saham Astra Graphia, Lautan Luas, Tjiwi Kimia, Indah Kiat, Kalbe Farma, Dankos Laboratories, dan Bank Panin.

Lain lagi jurus Arwani. Ia memilih saham papan pengembangan dengan pertimbangan, antara lain: bagaimana agenda emiten yang bersangkutan dengan BPPN (sudah direstrukturisasi ataukah kasus utangnya masih banyak), bagaimana laporan keuangannya (mengkilap atau suram), bagaimana likuiditasnya (tinggi atau rendah), dan sebagainya. ?Alangkah elok bila pendapatan dalam nilai tukar US$, tapi pengeluaran dengan mata uang rupiah,? ujarnya. Berdasarkan hasil seleksinya, ia merekomendasi saham Kalbe Farma dan Tempo Scan Pacific (farmasi), Bank Panin (perbankan), Clipan Finance (pembiayaan), Astra Agro Lestari (agrobisnis), Ramayana Lestari Sentosa (ritel), serta Medco, Aneka Tambang dan Tambang Timah (pertambangan).

Pilihan Edwin atas beberapa saham papan pengembangan yang dianggapnya potensial beda lagi. Meski secara sektor pilihannya sama dengan Arwani, jenis emiten yang direkomendasi Edwin ada yang berbeda. “Pilihlah saham yang dulu pernah blue chips, tapi kini masih nyangkut di papan pengembangan,” saran Edwin sembari menyebutkan saham Tjiwi Kimia dan Indah Kiat sebagai contoh. Adapun sektor lain, misalnya di properti ia merekomendasi saham Summarecon Agung, Jaya Real Property, Jakarta International Hotel & Development. Lalu, dari sektor farmasi saham Merck, Dankos, Kalbe, Tempo Scan, Merck, plus Enseval Putra Megatrading (distributor farmasi). Dari kalangan perbankan, rekomendasinya saham Bank Mandiri, Panin dan NISP. Selanjutnya, dari kelompok multifinance, ia memilihkan saham Tunas Finance dan Clipan Finance, sedangkan dari sektor pertambangan, pilihannya saham Aneka Tambang, Tambang Timah dan Inco.

Tentu saja, tak berhenti pada pemilihan, tapi juga harus tahu bagaimana strategi bermainnya agar mencetak capital gains. “Kita mesti sabar, harus punya tujuan investasi jangka panjang, dan berani injeksi modal untuk meminimalkan risiko,” kata Sungadi membeberkan kiatnya. Jangka panjang yang dimaksud Sungadi, di atas 6 bulan. Adapun dalam pengertian Edwin, jangka panjang berarti digenggam minimal tiga bulan, sehingga tidak bisa bermain short trading. Sementara itu, menurut Arwani,”Jangka panjang itu relatif, tergantung seberapa besar kemampuan investor menoleransi masa likuiditas saham itu.”

Dengan strateginya di atas, Sungadi mengaku pernah meraih gains sekitar 23% saat membeli saham Bank Internasional Indonesia dan untung 14% ketika memborong saham Mandiri. Bahkan, katanya, rata-rata harga saham papan pengembangan sudah terkoreksi 30% dari harga perdana. “Artinya, kalau kita buy back saham itu, harga yang kita bayar cuma 2/3,” ungkapnya senang. Di samping kiat yang sudah disebutkan, menurut Sungadi, penting juga mewaspadai gerak-gerik Indeks Harga Saham Gabungan, karena berpengaruh ke harga saham, dan juga mencermati saham yang terkait dengan pergerakan bunga Sertifikat Bank Indonesia.

Sebenarnya, yang tidak kalah penting adalah kejelian menangkap momentum. Maklum, ada saham yang bergerak berdasarkan momentum pasar, sehingga cenderung spekulatif. Akibatnya, aksi profit taking investor tidak terbendung. Ini pernah dialami Paul Heru Utomo saat membeli saham Bumi Resources. Investor ritel ini membeli saham berkode transaksi BUMI itu seharga Rp 40/lembar, tapi tiba-tiba tersiar rumor BUMI mendapat pinjaman bank untuk mengakuisisi PT Kaltim Prima Coal, sehingga harganya terkerek menjadi sekitar Rp 175/lembar. “Saya sudah 3-4 kali keluar-masuk transaksi BUMI dalam tempo sebulan dan untung,” paparnya gembira. Paul menyebutkan, jika kita bisa cepat merespons gejolak pasar di saham papan pengembangan, peluang gains yang bisa diraup bisa 50% lebih. Diakui Paul, kiatnya itu seperti kutu loncat. “Pindah-pindah saja, mana yang lebih bagus dibeli, dan kalau jelek, tinggal dibuang saja ke laut,” katanya sambil terkekeh.

Besarnya peluang menggaet untung dari saham papan pengembangan dibenarkan Arwani. Menurutnya, sepanjang Maret -Oktober 2003, rata-rata capital gains yang dibukukan saham papan pengembangan berkisar 35%-42%. Bahkan, untuk saham yang sektornya kembali marak, seperti properti, keuntungannya bisa signifikan. Umpamanya saham Grup Ciputra dan Surya Inti Permata bisa mencapai 50%. Akan tetapi, lanjut Arwani, yang paling fenomenal pergerakan saham Summarecon Agung yang bisa memberikan gains sampai 60%.

“Selain capital gains, potensi keuntungan saham papan pengembangan juga berasal dari dividen,” ungkap Arwani. Nyatanya, cukup banyak investor mengejar saham papan pengembangan yang berpotensi membagi dividen, meski transaksinya kurang likuid. Sebut saja saham Inco dan Tempo Scan yang jarang absen membayar sisa hasil usaha tersebut.

Namanya juga investasi, kalau ada peluang memetik untung, pasti ada ancaman tekor. Risikonya? Menurut Arwani, risiko investasi di saham papan pengembangan ada dua, yakni risiko pasar akibat volatilitas harga saham, dan risiko operasional yang dipicu memburuknya kinerja emiten. “Jadi, potensi ruginya bisa unlimited bila saham itu didepak dari bursa,” Arwani mengingatkan. Paul mengamini. “Kadang dalam satu tahun harga saham tidak begerak. Saya pernah rugi saat beli saham BNI dan Metrodata. Nah, ketimbang saya menyimpan saham mati, lebih baik dijual rugi 10%-30%,” ia menjelaskan. Ditambahkan Edwin, risiko lain saham papan pengembangan adalah recovery-nya lambat. Maksud Edwin, jika bursa kembali bullish, yang paling cepat kena berkahnya adalah saham-saham blue chips. ?Karena itu, ramai-tidaknya saham papan pengembangan ini, juga tergantung fluktuasi saham unggulan tadi,? ujarnya.

Ke depan, saham-saham di papan pengembangan ini berpeluang menjadi saham jempolan. Pasalnya, hingga kini, harga saham papan pengembangan itu relatif murah. Padahal, jika kondisi makro membaik, potensi kenaikan harga ada di depan mata, khususnya saham yang awalnya dicatatkan di BEJ dengan harga tinggi. “Jika investor sudah percaya dengan pasar modal kita, pasti saham papan pengembangan bisa merajai pasar,? kata Edwin memprediksi. Kekhasan lain, seperti disebutkan Arwani, saham lapis kedua ini memiliki segmen tersendiri, yaitu pemodal spekulatif yang memanfaatkan ajang rumor dan investor pendatang baru. “Memang, sampai akhir tahun 2003, saya kira saham papan pengembangan masih akan mendominasi volume transaksi,? ujarnya. Pasca 2003? ?Saya tidak tahu,” tambahnya terus terang. Maklum, kondisi ekonomi-politik kita belum stabil dan susah ditebak.

Riset: Asep Rohimat.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved