Listed Articles

Ketika Operator Air Ledeng Berbenah

Oleh Admin
Ketika Operator Air Ledeng Berbenah

Ganti investor, ganti gaya manajemen. Ungkapan tersebut tidak mengada-ada. Sebab, itulah yang sering terjadi di sebuah perusahaan bila mengalami perubahan pemilik. Hal yang sama pun dialami PT Thames PAM Jaya (TPJ), perusahaan operator pengelolaan air bersih di kawasan Jakarta Timur, sejak diakuisisi 80% sahamnya oleh konsorsium Aquatico (Grup Recapital Advisors) pada awal 2007. Sementara 20% saham sisanya dimiliki PT Palyja. Setelah Recapital masuk, pembenahan bertahap dengan pola manajemen baru dilakukan: mulai dari mengganti logo dan nama perusahaan menjadi PT Aetra Jakarta (Aetra) hingga merombak organisasi.

Untuk memimpin pembenahan tersebut, Recapital menunjuk Syahril Japarin. Penunjukan itu bukan asal comot. Sebab, sebelumnya Syahril sudah mengantongi jam terbang tinggi di bisnis air ledeng sebagai Dirut PDAM Pontianak dan meraih penghargaan sebagai CEO BUMN terbaik di sana. “Masa sih orang Indonesia tidak bisa membenahi permasalahan di Aetra. Maka, ketika mendengar nama Pak Syahril, langsung kami hubungi beliau,” ucap Rosan Perkasa Roeslani, Presdir Recapital, tentang alasannya meminang Syahril.

Selanjutnya, Syahril diminta Rosan untuk presentasi di hadapan tim audit Recapital. “Kami meminta beliau untuk memaparkan visi-misinya dalam mengelola Aetra. Ternyata, visi beliau feasible, akhirnya kami minta beliau untuk bergabung,” papar Rosan.

Gayung pun bersambut. Tidak butuh waktu terlalu lama bagi Recapital untuk mendapatkan jawaban atas pinangannya tersebut. “Saya tertarik karena tantangannya. Selain itu, saya ingin menunjukkan bahwa orang Indonesia bisa kok membereskan masalah ini, janganlah terus- menerus pakai orang asing,” ujar Syahril tanpa bermaksud menyombongkan diri. Selain itu, dia meminta otoritas penuh ke pemilik agar tidak terganggu selama menjalankan tugasnya.

Bagi Syahril, Aetra adalah unik. Alasannya, perusahaan reinkarnasi TPJ ini merupakan perpaduan antara BUMD dan swasta murni. Makanya, ketika diserahi tugas sebagai Dirut Aetra sekaligus benah-benah di dalamnya, dia melakukan pengecekan mendalam terlebih dulu atas kondisi perusahaan supaya tidak salah langkah dalam memutuskan strategi berikutnya.

Usai mengkaji ulang segala kondisi perusahaan, Syahril menemukan beberapa pokok persoalan human capital dan organisasi yang menjadi borok Aetra. Pertama, jumlah pegawai yang terlalu gemuk, sekitar 2.450 orang atau rasio karyawan versus pelanggan: 6,4/1.000. Kedua, organisasinya terlalu multi-layer, tumpang tindih dan tidak jelas siapa bertanggung jawab atas apa.

Masalah lain adalah proses bisnis, struktur organisasi dan sistem pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang belum mampu menjawab tantangan organisasi ke depan. Intinya, organisasi belum mampu mencapai target yang diharapkan stakeholders dan pelanggan.

Di luar permasalahan SDM dan organisasi yang dirumuskan Syahril, sebenarnya telah ada sejumlah masalah lain yang membelit Aetra sejak pertama kali Recapital masuk. Pertama, jumlah tenaga asing yang mencapai puluhan orang. Kedua, trade mark TPJ yang identik dengan merek atau nama asing. Ketiga, masalah kepegawaian yang terpecah menjadi dua kubu: karyawan TPJ dan Aetra. Keempat, minimnya jumlah investasi yang dibenamkan investor sebelumnya. Kelima, masalah kehilangan air akibat kebocoran pipa dan pencurian oleh oknum tak bertanggung jawab.

Setelah memetakan permasalahan yang dihadapi, “Kami melakukan perombakan, reengineering total terhadap strukturnya,” ujar pria berdarah Padang itu. Ya, Recapital memang meminta Syahril mengubah business process, standard operating procedures (SOP) secara total. Hal tersebut lantas diterjemahkan Syahril dengan melakukan change management.

Dalam membenahi Aetra, Syahril mengaku hanya memercayai perubahan evolusioner. “Setelah bertahun-tahun berpengalaman sebagai direktur dan dirut, saya menyimpulkan bahwa bull shit yang namanya perubahan revolusioner. Berdasarkan pengalaman saya, perubahan revolusioner itu memang cepat berubah, tapi akan cepat kembali lagi,” paparnya. Itulah sebabnya, dia melakukan change management secara terstruktur.

Adapun ruang lingkup perubahan mencakup lima hal. Pertama, menyempurnakan macro business process. Kedua, menyempurnakan struktur organisasi. Ketiga, melakukan workloads/jobs analysis dan competency model, yaitu menghitung ulang pekerjaan masing-masing orang, misalnya berapa banyak karyawan bisa menyelesaikan pekerjaannya. Jadi, Aetra tahu berapa banyak karyawan yang dibutuhkan di setiap divisi. Dengan competency model, karyawan akan dinilai selama setahun. Mereka yang perform akan diberi reward, sebaliknya yang tidak berprestasi akan didemosi.

Keempat, menyempurnakan perfomance management system. Dulu memang ada performance management system yang disertai key performance indicator (KPI). Namun, terjemahan pelaksanaannya tergantung pada masing-masing individu. Kini KPI di-alligned dengan tujuan perusahaan. Selanjutnya, dilakukan pelaksanaan assessment dan placement. Karyawan yang ada seluruhnya di-asses kemudian ditempatkan sesuai dengan keahliannya. Meski Syahril menyebutkan rotasi pegawai besar-besaran, penempatannya disesuaikan dengan keahlian pegawai tersebut. Ibaratnya, dia tidak akan menempatkan orang bagian administrasi di bagian teknik.

Kelima, penyempurnaan sistem pengelolaan SDM. Contoh, people planning, reward, rekrutmen, pelatihan dan jenjang karier. Dari sisi rekrutmen misalnya, kini melibatkan banyak lembaga profesional seperti LPPM, Bolley Associates dan Experd. Setelah itu rampung, barulah melakukan change management.

Untuk menjalankan change management, mula-mula Syahril membentuk tim reengineering. Tim ini terdiri atas 11 karyawan TPJ dari manajer lintasdirektorat dan berbagai departemen. Mereka bertugas mengelola rencana dan pelaksanaannya. Sebab, tim inilah yang mendefinisikan proses kerja baru dan mendorong perubahan. Langkah kedua, menunjuk konsultan untuk merencanakan proyek reengineering. Berikutnya, melibatkan personel Aetra (di luar tim reengineering) yang ahli dalam bidangnya sesuai dengan kebutuhan. Di sini dibentuk berbagai tim, seperti tim 33 yang terdiri atas manajer yang membuat SOP baru di semua bidang. Contoh lain, membuat tim 22 yang terdiri atas supervisor sebagai change agent yang bertugas menegakkan nilai-nilai perubahan sekaligus memberi teladan dalam proses perubahan. Tidak lupa dibentuk tim 29 yang diberi wewenang merumuskan values Aetra, sehingga akhirnya menelurkan nilai-nilai Andal, Profesional dan Peduli.

Setelah itu, Syahril membentuk tim change management yang terdiri atas, pertama, change architect yang bertugas menjadi arsitek perubahan. Kedua, tim change leader yang menjadi pemimpin dalam perubahan. Ketiga, tim change agent yang menjadi agen-agen perubahan di setiap divisi.

Keberadaan sejumlah tim itu dimaksudkan untuk melancarkan pencapaian tujuan dari output reengineering yang telah digariskan. Lalu, apa saja yang dilakukan dan bagaimana hasilnya?

Output pertama, model organisasi dibuat menjadi organisasional divisional utara, tengah dan selatan. Padahal sebelumnya, bentuk organisasi bersifat sentralistis. Dengan demikian, kini organisasi dibuat lebih dekat pelanggan dengan menyediakan 13 service point dan sistem 13 rayon. Lalu, organisasi dipilah menjadi dua: organisasi utama dan pendukung. Bandingkan dengan sebelumnya, organisasi hanya satu atau tunggal.

Tujuan didesainnya organisasi menjadi dua agar lebih fokus pada tugas masing-masing. Organisasi pendukung dimaksudkan lebih bersifat operasional dan organisasi utama bertugas mengurusi pengembangan bisnis. Organisasi inti berisikan 1.447 orang atau rasio 3,8 karyawan/1.000 pelanggan. Sementara organisasi pendukung terdiri atas 1.000 orang. Yang jelas, organisasi support diperlukan untuk mengurusi beban masa lalu, seperti tingginya tunggakan dan kebocoran air.

Guna mengatasi ketidakjelasan jabatan dan tanggung jawab, dibuatlah distinct job profile untuk semua orang. Alhasil, penugasan setiap karyawan diperjelas dan berbeda dari karyawan lain. Juga, dibuat kamus kompetensi Aetra. Setiap jabatan yang dibutuhkan dibuatkan kompetensi untuk mencapainya. Misalnya, kompetensi untuk pemimpin bagian distribusi di level 1 adalah harus mampu menyambung pipa saja. Lalu, di level 2 mesti bisa menjalankan perubahan di luar desain yang ada. Sementara pemimpin di level 3 harus mampu melakukan modifikasi dan memberikan sumbang saran perbaikan.

Output reengineering kedua adalah Human Capital Management System. Untuk itu, pertama dibuatkan kebijakan, strategi, SOP, instruksi kerja dan form-form panduan perilaku yang diminta. Yang kedua, cetak biru change management. Ketiga, panduan perilaku karyawan Aetra, berisi bagaimana mereka berinteraksi dan berperilaku kepada sesama karyawan ataupun pelanggan. Keempat, membuat 4 D Ex (four discipline of execution yang bersifat coaching). Kelima, membuat prosedur. Keenam, membuat KPI untuk semua level karyawan.

Sementara itu, untuk mengatasi beberapa masalah yang mencuat saat pertama kali Recapital masuk, beragam strategi dijalankan. Antara lain, mengurangi jumlah ekspat yang banyak secara bertahap, sehingga kini tinggal bule yang ada di jajaran direksi saja. Lalu, untuk menepis citra TPJ yang asing, logo dan nama perusahaan diganti menjadi Aetra yang mengandung arti “air suci untuk perdamaian”. Berikutnya, solusi atas masalah kepegawaian yang terpecah menjadi dua kubu (karyawan TPJ dan Aetra), manajemen baru menyeragamkan standar gaji dan fasilitas. Semuanya diberi kesempatan yang sama dalam hal jenjang karier dan kesejahteraan, sehingga konflik pun berhasil direduksi.

Tidak hanya itu. Demi memberdayakan sumber daya yang ada, Syahril tidak mengurangi karyawan karena tindakan itu bakal menyulut keributan. “Yang kami lakukan adalah merotasi 90% posisi pegawai,” ungkapnya. Selain itu, karena manajemen baru menyadari bahwa ke depan membutuhkan sosok pemimpin yang berkualitas, dilakukan rekrutmen 40 fresh graduate. Apalagi, lima tahun nanti banyak senior yang pensiun. Dengan persiapan dini, perusahaan lebih siap menyongsong perubahan di masa depan.

Bagaimana dengan solusi atas minimnya investasi di awal Recapital masuk Aetra?

Sebagai gambaran, pemilik TPJ tahun 2005-06 hanya menginvestasikan Rp 60 miliar. Bandingkan dengan kehadiran Recapital di Aetra yang tahun 2007 saja menghabiskan duit Rp 120 miliar, lalu di tahun 2008 menggelontorkan dana Rp 170 miliar. Tahun ini, lanjut Rosan, Aetra berencana menginvestasikan Rp 195 miliar yang akan digunakan untuk penambahan dan perawatan pipa baru.

Nah, untuk menekan kebocoran air dari sistem, Aetra mengganti pipa-pipa tua dan membentuk sistem cell untuk mendeteksi kebocoran. Guna mengatasi kehilangan air karena pencurian, Rosan tidak takut memenjarakan sang pencuri. Hasilnya tidak sia-sia karena pada 2008 kehilangan air berhasil ditekan, yaitu dari 54% menjadi 50%. Tahun ini ditargetkan kehilangan air bisa turun menjadi 47%-48%. Rosan juga berharap pencapaian perluasan air meningkat dengan penyaluran air yang baik. Saat ini coverage baru 66%, karena kini memasok 4 juta pelanggan. “Kami berusaha meluaskan secara maksimum dengan menggunakan alat DMA untuk meningkatkan tekanan air, sehingga di mana pun pelanggan Aetra bisa tetap mendapatkan air yang lancar,” paparnya.

Menurut Syahril, melakukan change management di Aetra ibarat memoles mobil tua sambil jalan. “Kami tidak boleh berhenti, karena ini public utility company,” ujarnya. Itulah sebabnya, change management dijalankan secara bersinambung. Pada tahap awal (Januari-November 2008), dilakukan perubahan makro business process dan perubahan organisasi, seperti perubahan struktur. Kemudian, tahap kedua, November 2008 sampai sekarang. Masa ini disebut dengan project implementation atau pelaksanaan berbagai skema perubahan program change management.

Dalam tahap perubahan struktur, banyak divisi Aetra yang dirombak, baik melalui cara digabungkan maupun ditiadakan. Astriena Veracia yang sudah bekerja 10 tahun di Aetra membenarkan hal itu. Sebagai Revenue Manager Divisi Utara Aetra, tugasnya adalah membaca meteran air di lapangan, memproses data, serta melakukan penagihan rutin dan tunggakan. Nah, dengan change management yang digencarkan Syahril, dia merasakan banyak perubahan. “Pekerjaan saya lebih terfokus,” ujar wanita kelahiran 1973 itu tandas. Dia mengungkapkan, dulu pekerjaan bidang penagihan saja mesti ditangani 6 departemen: antara lain divisi penagihan, baca meter dan penagihan tunggakan. Bandingkan dengan sekarang yang cukup ditangani satu divisi revenue manager. Jadi, lebih efektif dan efisien dari sisi business process-nya.

Lintong Hutasoit pun mengamini soal perombakan divisi yang lebih ramping di bawah manajemen baru. “Dulu divisi saya terdiri atas banyak departemen, sehingga bingung kalau mau menanyakan sesuatu kepada siapa yang bertanggung jawab. Kini lebih jelas siapa yang bertanggung jawab. Semua produksi dan distribusi disatukan,” kata Manajer Senior Production & Trunk Main itu. Dia pun tenang bekerja lantaran tugas dan jenjang karier sudah jelas.

Tidak hanya karyawan yang mengalami perombakan struktur. Level board of director (BOD) pun tak luput dari kebijakan efisiensi terkait change management tersebut. Kini di jajaran direksi tinggal empat eksekutif dengan jabatan: presdir, direktur keuangan & teknologi informasi, direktur operasional, serta direktur business service yang menangani SDM dan pemasaran.

Terkait dengan change management terstruktur, hal pertama yang dilakukan Syahril bersama direksi adalah mengubah pola pikir. Sebab, ini adalah bagian tersulit. Caranya, dengan mengirimkan 2.500 karyawan ke pelatihan ESQ Ary Ginandjar. “Tujuannya agar mentalnya berubah,” katanya seraya menjelaskan, dari jumlah total karyawan, 1.600 orang di antaranya berstatus permanen.

Selanjutnya, Syahril melakukan komunikasi secara rutin tentang perubahan-perubahan atau prestasi yang terjadi di Aetra kepada karyawan sesuai dengan bidang masing-masing. Lalu, dilakukan juga pemerataan perlakuan kepada karyawan. “Tidak peduli apakah berasal dari BUMD atau dari direct hired. Semuanya dites ulang. Yang berhasil unggul melewati tes itu, itu yang kami pilih,” tuturnya. Untuk membuat tes itu, sebelumnya manajemen membuat kriteria kompetensi yang jelas dari level supervisor hingga general manager. Siapa yang akan menduduki posisi apa sudah jelas ukurannya.

Selain itu, Aetra membangun budaya baru perusahaan. Contohnya, menggelar Aetra Morning Meeting (AM2) tiap pagi selama 20 menit untuk terus mengingatkan nilai-nilai Aetra. Formatnya seperti upacara bendera: karyawan berbaris dan pemimpin divisinya mengingatkan nilai-nilai Aetra dalam ceramahnya. “Tujuannya supaya karyawan merasakan the sense of change dan muncul esprit de corps nya, semangat korps,” ungkap Syahril. Uniknya, terkait upaya mengingatkan nilai-nilai Aetra, maka sekitar 400 karyawan yang dibayari pulsa telepon Matrix-Indosat oleh perusahaan wajib memasang ring back tone mars Aetra. Sehingga saat kita menelepon orang Aetra, sontak terdengar mars Aetra yang dilantunkan dengan khidmat.

Berikutnya diadakan coaching untuk mendukung perubahan proses kerja. Ada dua macam sistem coaching. Pertama, The 4 Discipline of Executions (4 D Ex). Coaching kedua adalah WIGS, Wildly Important Goals Sessions. Seminggu sekali karyawan melakukan coaching dengan manajer atau atasannya untuk melaporkan kinerja mereka sekaligus membuat komitmen baru untuk pekerjaan seminggu ke depan.

Di luar langkah-langkah tersebut, manajemen pun sudah membuat standar pelayanan internal antar-unit kerja dengan membuat service level agreement (SLA). “Saat ini SLA masih antar-unit. Nantinya akan kami buat antarkonsumen,” ucap Syahril menjelaskan.

Terlepas dari itu semua, yang pasti aksi benah-benah Syahril dan timnya selama setahun terakhir tidak sia-sia. Dari sisi pencapaian, Syahril mengaku ukuran yang biasa dipakai perusahaan air minum adalah peningkatan volume air yang terjual dan tingkat penarikan (collection) tagihan pelanggan. “Yang paling terlihat perubahan selama ini adalah naiknya volume air terjual, dari 121 juta m3 di tahun 2007 menjadi 124 juta m3 pada akhir 2008,” katanya.

Syahril mengatakan, ada empat prinsip utama dalam menjalankan change management. Yaitu, mengedepankan kepentingan perusahaan, independen dan objektif; meletakkan keputusan akhir pada BOD; dan menjaga kerahasiaan “orang-orang inti”. Misalnya, BOD yang terlibat dalam perubahan diminta menjaga kerahasiaan sebagian program change management agar tidak timbul gejolak di bawah.

Salah satu kunci keberhasilan change management di Aetra, menurut Syahril, adalah melakukan persiapan secara komprehensif. Contohnya, melakukan pelatihan agar terjadi perubahan pola pikir seperti lewat ESQ. Selain itu, pihaknya senantiasa memberdayakan organisasi utama dan pendukung.

Namun, di mata Steve Sudjatmiko, perubahan yang terjadi di Aetra terlalu perlahan. “Menurut saya, kenaikan jumlah penjualan air bersih yang hanya sekitar 3 juta m3 atau 1%-3% itu masih bisa ditingkatkan. Untuk berubah tampaknya Aetra butuh lebih dari perubahan mindset pegawai dan lebih dari sekadar menyentuh sisi emosional,” ucapnya menyarankan. Steve khawatir direksi bergerak terlalu lambat dalam mengawal perubahan di Aetra. Betul, Syahril itu bagus dan pernah menjabat Dirut PDAM Pontianak. “Tapi, mungkin sekarang Pak Syahril tidak memiliki orang-orang seperti di Pontianak,” tambah Mitra Pengelola RedPiramid itu.

Anna Delina, pelanggan Aetra sejak pertengahan 2007, belum merasakan perubahan pelayanan secara signifikan. “Sampai sekarang pelayanan Aetra biasa saja. Tidak buruk, tapi juga tidak terlalu bagus,” ungkap wanita yang bertempat tinggal di Ciracas, Jakarta Timur, itu Sejak berlangganan sampai sekarang dia pernah mengalami air yang mati, alirannya kecil, ataupun keruh. Awal-awal berlangganan tahun 2007-08 aliran air sering bermasalah, sehingga dia berniat memasang jetpump untuk cadangan. Dia juga pernah melayangkan surat keluhan layanan Aetra ke www.detik.com pada pertengahan 2008. Sesudah itu, masalahnya direspons pihak Aetra dan airnya menjadi lebih bagus dan bersih.

Masukan yang ada ini tentunya mendorong Syahril berbenah semakin baik. Dia mengakui, meski hasilnya belum maksimal, upaya change management itu menunjukkan titik terang pembenahan ke arah lebih baik nantinya. “Kami baru mulai, sehingga belum terlihat jelas hasilnya. Tapi, saya yakin hingga akhir tahun ini akan dapat menyaksikan hasilnya,” dia menegaskan.

Reportase: Eddy Dwinanto Iskandar

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved