Listed Articles

Ketika Peninggalan Budaya Tua Berpadu dengan Modernitas S

Ketika Peninggalan Budaya Tua Berpadu dengan Modernitas S

Siapa sangka bangunan setua Gedung Candra Naya yang berdiri di abad ke 19 bisa bersanding dengan komplek bangunan yang berdiri nyaris 200 tahun kemudian, Green Central City. Tapi itulah kenyataan yang direalisasikan pengembang grup Modernland, PT Bumi Perkasa Permai.

Modernland membangun superblock Green Central City (GCC) yang berlokasi di Jalan Gajah Mada no. 188 Jakarta Pusat, atau melingkupi gedung cagar budaya Candra Naya. Superblok seluas 14.000 m2 terdiri dari dua tower apartemen dengan total 844 unit + penthouse, commercial area, skypark, dan tempat parkir yang luas.

“ Di sini, semua pemenuhan kebutuhan hidup dapat diperoleh. Mulai dari kawasan hunian, bisnis, sosialisasi, dan istirahat bisa ditemui. Semua terpadu dan berada dalam satu kompleks yang memiliki kemudahan akses,’’ terang Martono Hadipranoto, Chief Operating Officer Green Central City.

Nah menurut Martono, hal menarik yang juga dikembangkan adalah keberadaan cagar budaya Candra Naya. Bangunan berumur dua abad ini hendak dijadikan icon utama bagi kompleks Green Central City sehingga kawasan ini akan menjadi landmark Jakarta Kota. “Fisiknya berupa Green Central City akan tetapi jiwanya terdapat di Candra Naya.” kata Martono .

Sekadar melirik sejenak ke belakang, sekitar tahun 1800-an, Candra Naya merupakan ru­mah seorang mayor Tionghoa yang bertu­gas mengurusi kepentingan masyarakat Tionghoa di Batavia (sekarang Jakarta). Walau masih diragukan kapan tepatnya bangunan ini berdiri, jika melihat sebuah lukisan yang pernah terpasang di dalamnya, dimana terdapat kalimat dalam aksara Cina yang artinya kurang lebih: “Pada tahun kelinci di pertengahan bulan musim rontok dicatat kata-kata ini.” Dari tulisan tersebut bisa diketahui bahwa Candra Naya ini kira-kira dibangun pada ta­hun kelinci api yang jatuh 60 tahun sekali. Kalau tidak pada tahun 1807, kemungkinan 1867.

“Diperkirakan bangunan ini didirikan sekitar tahun 1800-an yang setara dengan masa dinasti Ming dan Pengaruh dari Mancu,” kata DR.Ir. Naniek Widayati. MT, Ars, arsitek senior dan pemerhati Candra Naya dari Centre of Archticture Conservation. ‘’Candra Naya, yang dipayungi hukum Undang undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sangat menarik karena mempunyai ciri spesifik dari bentuk tata ruang serta arsitekturnya yang bergaya Tionghoa lengkap dengan berbagai ornamen yang mengandung arti bagi pemiliknya,’’ tambah Naniek. Sebagai contoh adanya ornamen kecapi, papan catur, gulungan lukisan menggambarkan bahwa pemiliknya adalah seorang cendekiawan yang kaya raya, yang memahami ilmu pengetahuan, dan seni.

Sebagai bangunan yang memiliki nilai sejarah tinggi, sudah pasti Candra Naya harus dilestarikan. Menurut Martono, sebagai pengembang kawasan di mana Candra Naya itu berdiri, PT Bumi Perkasa Permai tak melupakan soal pelestarian bangunan cagar budaya. Salah satunya dengan membangun kembali bangunan teras samping yang sempat dibongkar pada waktu sebelumnya. Pembangunan kembali ini direncanakan selesai pada akhir tahun 2011.

Pihak Green Central City mengakui bukan merupakan hal mudah untuk mempertahankan eksistensi Candra Naya di tengah-tengah pembangunan kawasan modern. Ketika pertama kali merancang arsitektur kawasan Green Central City, arsitek Henry Pang dan rekan-rekannya dari Megatika International, Konsultan Desain, harus membuat sebuah rancangan desain arsitektur kawasan yang dapat selaras dengan Candra Naya. Yang ada dipikirannya saat itu, cagar budaya harus dipertahankan.

“Dari bentuk tradisional yang unik tersebut, tim arsitek harus membuat suatu dimensi yang dapat menyatukan bentuk tradisional dengan bentuk modern. Itu yang saya maksud mengharmoniskan. Tidak boleh frontal,” kata Henry Pang, arsitek yang pernah melanglang ke negeri Tiongkok dan membangun vihara. Oleh karena itu harus ada oriental atmosphere yang terbentuk sebagai gradasi dari tradisional ke modern, demikian pula sebaliknya. ‘’Gradasi itu direalisir dalam bentuk adanya detil-detil khusus, seperti elemen kayu, semen yang dicetak, genteng, fiber glass, swastika, ada metal pada profil pintu, consol. Ada juga unsur beton dan aluminium,’’ tambah arsitek pecinta lingkungan hijau ini.

Unsur warna juga menjadi pertimbangan penting, warna merah mendominasi. Namun warna hijau sebagai pemberi unsur “Greeny” pada kawasan harus juga ditempatkan. Dengan begitu, terciptalah sebuah karya arsitektur yang terbukti ikut melestarikan warisan budaya masa lalu.

Konsep arsitektur pun ikut berperan dalam penghijauan area kawasan sekitar 0.6 ha, seperti adanya fasilitas skypark pada lantai atas podium.

Mempertahankan Gedung Candra Naya sangatlah penting, karena itu artinya Jakarta sebagai ibukota sekaligus kota metropolitan utama di Indonesia masih mempunyai peninggalan bangunan khas Tionghoa yang masih utuh. ‘’Nah, kalau Candra Naya dibangun kembali bangunan sayap dan gazebonya, serta lingkungannya ditata dengan apik sebagai kawasan China Town maka Jakarta tidak akan kalah dengan kota-kota lainnya di dunia,’’ tambah Naniek yang juga seorang ahli konservasi peninggalan sejarah.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved