Listed Articles

Mendongkrak Bisnis dengan Investasi TI

Oleh Admin
Mendongkrak Bisnis dengan Investasi TI

Jika Anda mengelola 3.600 karyawan yang tersebar di 74 kantor cabang dan 201 point of service (POS) dari perusahaan yang memiliki ratusan ribu pelanggan, apa yang Anda harapkan? Tentu saja, Anda berharap semua karyawan bisa bekerja produktif dan Anda sendiri dapat mengelolanya secara efisien. Pertanyaan berikutnya, bagaimana agar harapan Anda itu tercapai?

Nah, kira-kira situasi seperti itulah yang dihadapi Thaufik Noograha, Direktur SDM PT Federal International Finance (FIF), perusahaan pembiayaan kendaraan bermotor yang tergabung dalam Grup Astra. Memang, ia sudah dibantu beberapa anak buah di Bidang SDM, tapi tentu saja tetap butuh sistem pengelolaan pendukung. Buat Thaufik, sistem manual tentu tak akan dilirik. Bahkan, sembarang sistem pengelolaan SDM berbasis software juga belum tentu dipilih; kecuali yang sudah bisa memenuhi banyak fungsi dan bisa terintegrasi dengan sistem manajemen lain. Maklum saja, mengelola karyawan yang demikian banyak bukanlah perkara mudah. Masing-masing karyawan harus diperhatikan kebutuhannya, mulai dari soal gaji, tunjangan/insentif, soal sakit, cuti, absensi dan semacamnya. Apalagi, kinerja masing-masing karyawan pun harus ada evaluasinya.

Thaufik, yang juga mengepalai Bidang Teknologi Informasi, kemudian memilih sistem aplikasi pengelolaan SDM terpadu yang cukup canggih dari satu vendor multinasional — lebih dikenal dengan solusi HRMS (Human Resources Management System). “Pemanfaatan solusi ini memang ditujukan untuk meringankan tugas kepersonaliaan,” ujarnya.

Terhitung mulai awal 2003, seluruh karyawan di lingkungan FIF bisa merasakan manfaat solusi HRMS. Sejak itulah, semua urusan kepersonaliaan dikelola secara tersentral dari kantor pusat. Untuk mengurus cuti karyawan misalnya, prosesnya cukup dilakukan lewat komputer masing-masing. Form yang sudah diisi karyawan secara elektronis bisa dikirim ke atasan yang bersangkutan. Prosesnya hanya berlangsung dalam hitungan menit. Ketika permohonan disetujui atasan, form isian itu akan terkirim ke Bagian SDM. Salah satu kelebihannya, sistem itu bisa memberitahukan sisa hak cuti si karyawan yang bersangkutan.

Contoh lainnya, ketika karyawan mengklaim biaya pengobatan. Prosesnya kurang-lebih sama, cukup dimasukkan lewat sistem via PC. Hanya, kuitansinya diserahkan ke Bagian SDM. Selanjutnya bagian ini tinggal memeriksa, dan bila sudah cocok, sistem akan meneruskannya ke Bagian Keuangan. Begitu juga ketika karyawan akan melakukan perjalanan dinas. Dia tinggal mengisi form dari komputer dengan memasukan data-datanya. Data tersebut langsung terhubung ke atasannya. Bila disetujui, selanjutnya masuk ke bagian General Affairs (Umum) agar bisa dipesankan tiket. Bersamaan dengan itu, form isian tadi juga masuk ke Bagian Keuangan agar bisa segera disiapkan dananya. Ketika pulang dari perjalanan, karyawan tersebut melakukan hal yang sama, memasukkan kembali beberapa data, misalnya menerangkan bahwa dia sudah kembali dan telah menghabiskan dana sekian. Melalui fasilitas yang sama, karyawan juga bisa mengajukan hak jatah mobil (buat yang sudah berhak). Prosesnya hampir sama. “Semuanya bisa dilakukan secara online,” ujar Thaufik bangga.

Sudah tentu, sistem lumayan canggih itu tak banyak berarti bila tidak didukung dengan kultur kerja karyawan. Maklum, semua hal tadi dilakukan self service. “Bila karyawan tidak sigap, bisa jadi beberapa hak yang mestinya dia dapat akan terlewati,” katanya.

Contohnya, beberapa karyawan di lingkungan FIF saat ini digaji berdasarkan pola insentif. Itu harus diurus sendiri via komputer lewat fasilitas yang disebut dengan Employee Self Service. Bila tidak diisi, bisa jadi karyawan yang bersangkutan tidak akan mendapatkan insentif pada akhir bulan.

Nah, gambaran kemudahan proses seperti itu tak dirasakan sebelumnya. Di masa pra-HRMS, semua berkas karyawan terlebih dulu dikumpulkan di Bagian SDM lantas ditulis ulang secara manual, dan baru kemudian diproses lewat sistem aplikasi komputer yang relatif sederhana.

Sekarang, praktik seperti itu hilang sama sekali. Buktinya, FIF hanya mengandalkan 8 orang staf SDM, kendati karyawan yang ditanganinya mencapai 3.600 orang. Hampir semua proses manual bisa dihilangkan lantaran semua data karyawan sudah dimasukkan ke sistem Payroll, dan bisa digunakan untuk beragam keperluan seperti di atas. Salah satunya, setiap bulan data-data itu dikirimkan ke bank yang ditunjuk untuk mengurus penggajian karyawan, dan selanjutnya bank itulah yang akan mentransfer atau membayarkan gaji ke masing-masing karyawan.

Thaufik mengaku belum menghitung berapa besar efisiensi yang sudah dicapai FIF berkat penerapan solusi HRMS. Namun, ia bisa memberikan beberapa gambaran lainnya, betapa efisiensi kini mulai dirasakan. Contohnya, setiap terjadi penambahan karyawan, sekalipun dalam jumlah banyak, sama sekali tidak akan merepotkan perusahaan. Di sisi lain, berkat cara kerja yang makin efisien pula, karyawan makin produktif dan volume bisnis perusahaan makin terdongkrak.

Sebagai perbandingan saja, saat masih memanfaatkan sistem manual tahun 1997, rata-rata setiap karyawan FIF hanya mampu menangani 80 pelanggan/nasabah. Saat ini setiap karyawan mampu menangani 200 pelanggan sekaligus. Padahal, menurut Thaufik, rata-rata setiap karyawan di perusahaan pesaing hanya mampu menangani 75 pelanggan.

Efisiensi juga bisa terlihat di kantor-kantor cabang. Sebelumnya di setiap cabang ditempatkan tenaga accounting dan SDM, sekarang tidak. Walhasil, yang ada di kantor cabang sekarang adalah karyawan untuk proses kredit, penanganan piutang dan BPKB, selebihnya tenaga penjualan.

Jumlah karyawan di setiap kantor cabang bervariasi, antara 10 dan 100 orang. Standar produktivitas dipakai untuk mengalokasikan jumlah karyawan, yakni setiap karyawan menangani 200 pelanggan. Jadi, jika suatu cabang mengelola 2 ribu pelanggan, jumlah karyawannya cukup 10 orang.

Solusi HRMS yang dimanfaatkan FIF sebenarnya mencakup cukup banyak modul, meliputi Payroll System, Employee Self Service, Manager Self Service, Core HRMS, Career Management, Organization and Training Management, dan Business Intelligence Management. Namun, karena masih tergolong fase pertama, menurut Thaufik, yang sudah dijalankan meliputi Payroll System, Employee Self Service, Manager Self Service, dan Core HRMS. Ia menyebutkan, sisanya yang masuk fase kedua baru akan rampung penyiapannya pada akhir 2003. “Setelah itu, e-learning system juga akan diimplementasi.”

Selain untuk mengelola kebutuhan internal, FIF juga memanfaatkan solusi berbasis TI untuk menangani bisnis intinya, yakni pembiayaan kendaraan bermotor. Penjajakan sistemnya, menurut Thaufik, dilakukan sejak 1996. Selama setahun, FIF menjalankan tahapan Business Process Reengineering. Dalam tahapan ini, dilakukan evaluasi proses bisnis FIF secara menyeluruh. “Dari situ didapat hasil bahwa proses bisnis yang dijalankan sebelumnya ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha,” cerita Thaufik. Maklum, solusi TI yang dipakai saat itu sangat sederhana. Masih menggunakan solusi berbasis Foxpro dan Clipper, dan masing-masing aplikasinya berdiri sendiri.

FIF kemudian melakukan studi banding ke beberapa perusahaan (terutama satu grup) yang telah memanfaatkan TI, antara lain Bank Universal (yang punya sistem perbankan ritel) dan Astra Credit Company. Dari hasil anjangsana itu, tim internal FIF membuat blue print, yang kemudian diturunkan menjadi beberapa modul, seperti Customer Database, Collateral Management (Penanganan BPKB), Finance Modul (Cash Flow), User Management dan Reporting.

Namun, begitu modul tersebut selesai, tim FIF sempat kebingungan memilih platform yang akan dipakai. Lantas, dicarilah beberapa produk software dan akhirnya dipilih buatan vendor multinasional yang dinilai sudah punya reputasi, yakni Oracle Database.

Kebingungan tidak berhenti di situ. Perusahaan lagi-lagi kesulitan mencari SDM yang mampu mengembangkan sistem berbasis produk tersebut. Untuk menyiasatinya, FIF kemudian mengirimkan 15 karyawan untuk mengikuti pelatihan pemanfaatan sistem berbasis Oracle Database di Singapura selama satu tahun. Bersamaan dengan itu, untuk pendukung sistemnya, perusahaan juga membeli beberapa hardware seperti server Alpha series.

Sekembalinya dari pelatihan di Kota Singa, 15 karyawan tadi diminta untuk mengembangkan aplikasi bisnis sesuai dengan blue print yang telah dibuat. Namun, FIF juga menyertakan tenaga konsultan dari Astra Graphia dan Equinox (Singapura). Proses ini saja memakan waktu sekitar satu tahun. Sayangnya, ketika aplikasi selesai dibuat dan siap diimplementasi, tiba-tiba krismon melanda. Kerja sama dengan konsultan pun akhirnya dihentikan sementara.

Sembari setengah mengerem laju bisnisnya lantaran krisis, tenaga-tenaga FIF yang telah dilatih di Singapura tetap melanjutkan pekerjaan implementasi di kantor-kantor cabang. Karena perusahaan merekrut 20 fresh graduate bidang TI, mereka juga diminta ikut melatihnya. “Praktis, selama kurun 1998-99 dipakai untuk pembenahan internal,” ujar Thaufik. “Kebetulan sekali transaksi yang terjadi saat itu anjlok, sehingga waktunya sangat tepat untuk pembenahan internal.”

Langkah penyiapan itu tidak sia-sia. Memasuki tahun 2000, transaksi penjualan motor mulai bergairah kembali. Dalam dua tahun sebelumnya FIF hanya mampu membiayai kredit motor 46 ribu unit (1998) dan 55 ribu unit (1999), di tahun 2000 meningkat hingga 115 ribu unit. Sejak itu, pertumbuhannya terus meningkat. Tahun 2001 penjualan mencapai 225 ribu unit dan 2002 melesat lagi hingga angka 425 ribu unit. “Saya tidak kebayang, kalau saja sistem lama masih dipakai, tidak mungkin bisa menangani transaksi pembiayaan 425 ribu unit motor,” ujar Thaufik bangga.

Sistem yang diimplementasi di tiap cabang pada 1998-99 tidak langsung bisa terintegrasi online, karena alasan mahalnya biaya komunikasi. Baru tahun 2000, perusahaan membeli perangkat telekomunikasi dan menyewa jaringannya (leased line via VSAT), serta langsung mengintegrasikan antara satu cabang dengan cabang lain. Setelah melalui beberapa proses transisi, pada 2001 semua cabang berhasil dihubungkan dengan kantor pusat. Karena itu, seluruh database perusahaan akhirnya disimpan di kantor pusat.

Tak heran, efisiensi juga sudah bisa dirasakan dalam proses operasional bisnis. Dulu, untuk memproses kredit hingga bisa disetujui, rata-rata memakan waktu 2-4 hari. Saat ini, bila persyaratannya lengkap, prosesnya hanya butuh waktu 1-2 jam. Bila dokumen tidak lengkap, prosesnya mencapai 1 hari.

Selain itu, proses pembayaran ke para dealer dari FIF bisa dilakukan lebih cepat lagi. Tadinya, proses pembayaran itu membutuhkan waktu 6-7 hari. Sekarang, pada hari yang sama bisa dibayar langsung dari kantor pusat, mengingat sistemnya sudah tersentralisasi. “Itu bisa terjadi karena sistem cabang dan POS sudah terintegrasi dengan kantor pusat,” ujar Thaufik. Jadi, begitu pegawai FIF di kantor cabang menyetujui kredit, otomatis orang di kantor pusat FIF bisa mengetahuinya.

Ada lagi efisiensi lain yang juga terasa. Menurut Thaufik, saat sistem perusahaan masih terpisah-pisah, kerepotan di sana-sini bisa dirasakan. Setiap menjelang akhir bulan misalnya, setiap kantor cabang diharuskan mengirimkan semua data transaksinya selama satu bulan ke kantor pusat. Data-data itu selanjutnya dikonsolidasikan ke dalam jurnal keuangan secara manual satu per satu. Adapun saat ini proses itu sudah tidak ada sama sekali. Pasalnya, setiap hari, semua data harian kantor cabang dengan mudah bisa langsung dimasukkan ke sistem database di kantor pusat.

Tidak heran pula, transaksi yang berhasil dibukukan FIF saat ini per hari 2.000-2.500 nasabah. “Bila tidak didukung sistem yang bagus, betapa repotnya perusahaan menangani nasabah dalam jumlah besar,” kata Thaufik.

Namun, untuk bisa menikmati berbagai kemudahan di atas, tak sedikit yang dikeluarkan FIF. Khusus untuk kebutuhan sistem berbasis TI terpadu seperti itu, FIF telah merogoh dana sekitar US$ 12 juta. Menurut Thaufik, jumlah sebesar itu sangat sebanding dengan efisiensi yang telah didapat saat ini. Bukti yang disebutkannya, kinerja keuangan dari waktu ke waktu meningkat, dengan tren cukup bagus. Tahun 1991 misalnya, FIF mampu mencatat laba Rp 75 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp 140 miliar pada 2002. Adapun jumlah nasabah yang saat ini ditangani, 750 ribu orang.

Agaknya, memang bukan investasi yang sia-sia.

Riset: Atang Windarto.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved